PART 1
Gwen's POV
"Ya
Tuhan, kenapa tiba-tiba hujan begini!?" rutukku saat aku berada di dalam
busway. Aku baru pulang dari kerja sambilanku sebagai pelayan cafe di salah
satu pusat kota Alaska. Pukul 9 malam, setiap harinya aku memang pulang jam
segini.
Aku
pindah dari Canada ke Alaska karena mendapatkan beasiswa di salah satu
Universitas terkenal disini, beruntungnya aku karena keluargaku bisa dibilang
kekurangan dalam segi materi. Jadi.. Ya disinilah aku. Membiayai hidup dengan
uang sendiri dari upah sebagai pelayan cafe. Menyedihkan.
Namaku
Gwen Stacy. Aku lebih suka kalu dipanggil Stacy daripada Gwen. Tetapi semua
orang memanggilku Gwen, ya whatever lah. Terserah orang mau memanggilku
apa.
Umurku
20 tahun, umur dimana anak-anak lainnya bersenang-senang dengan dunia malam,
berfoya-foya, meminum alkohol dan sebagainya. Tetapi aku tidak, sayangnya aku
tidak bisa melakukan semua itu, ditambah lagi aku memang tidak mau.
Untung
saja malam ini aku masih dapat kebagian bus. Kalau tidak, mungkin aku sudah
menginap di cafe sekarang. Sekitar 30 menit kemudian, akhirnya aku turun dari
bus dan berteduh di halte. Hujan sedari tadi tidak mau berhenti. Apa aku
terobos saja? Lagipula rumahku tidak jauh dari halte ini.
"One
Two Three.." Aku pun berlari kecil menutupi kepalaku dengan tas. Wuaahhh
hujannya tambah deras!! Padahal baru berlari sedikit, seluruh pakaianku sudah
basah kuyup.
Sesampainya
dirumahku, alias rumah sewaku, aku langsung membuka pintu setelah mengeluarkan
kunci dari dalam tas.
"Guk
guk."
Aku
tersentak saat mendengar gonggongan anjing dari belakang tubuhku. Aku berbalik
dan ingin terjuntal ke belakang karena baru kali pertama, aku melihat seekor
anjing sebesar ini. Bahkan tingginya hampir setinggi tubuhku. Tubuh anjing itu
basah kuyup. Aku rasa dia juga kehujanan.
"Hush
hush.." usirku. Anjing itu malah lebih mendekatiku dan
mengendus-ngenduskan hidungnya ke tubuhku. Aku memang suka anjing tetapi kalau
anjingnya sudah sebesar ini aku juga takut. Anjing ini berbulu hitam dan putih,
tetapi warna hitamlah yang lebih dominan. Bola matanya berwarna abu-abu terang.
Sangat indah. Aku bisa melihat diriku sendiri di mata itu.
"Guk
guk." Dia kembali menggonggong. Tetapi ku rasa gonggongan anjing itu aneh,
bukan seperti anjing biasa. Seperti gonggongan yang dipaksakan.
"Hush.
Pergi. Hushh.." Aku mengibaskan tanganku ke bulu lebat anjing yang basah
itu dan mulai masuk ke dalam rumah dengan langkah mundur.
Tak
diduga, anjing besar itu malah ikut masuk ke dalam rumahku. Aku memutarkan bola
mataku jengah dan membiarkan dia masuk lalu mengunci pintu.
Sesampainya
didalam anjing itu merubah posisinya menjadi duduk dan melihatku lurus. Tatapan
matanya aneh, sungguh. Terlalu fokus.
"Sebentar,
aku ambilkan handuk untukmu." ujarku lalu masuk ke dalam kamarku dan
mengambil handuk baru buat anjing itu. Tak lupa pula handuk untukku yang ku
lilitkan di atas rambut basahku.
Aku
berjalan mendekati anjing besar itu dan duduk berjongkok, kalau posisi seperti
ini bahkan aku yang terlihat kecil. Ya Tuhan, anjing ini besar sekali !
"Kau
ini anjing jenis apa, kenapa besar sekali heh?" tanyaku seperti orang
bodoh karena sudah berbicara dengan hewan yang notabene-nya tak bisa
bicara. Anjing itu tak merespon dan terus menatap manik mataku.
Aku
mengeringkan tubuh anjing basah itu dengan handuk. Bulunya lembut dan lebat,
lalu iseng-iseng aku mencium baunya. Wangi! Kalau dia anjing liar, pasti busuk
atau bau amis, tetapi dia beda, wanginya harum.
Anjing
itu mengendus-ngenduskan hidungnya ke wajahku dan sesekali menjilatnya
">"Yuck, jangan menjilatku. Aku benci..!!" rungutku. Bukannya
berhenti anjing itu malah lebih menjilati wajah dan leherku.
Aku
mengerang kesal lalu berdiri meninggalkan dia. Serius, aku benar-benar jijik
kalau di jilat oleh anjing seperti itu. Errghh.
Aku
masuk ke dalam kamar lalu mandi kilat dan memakai baju piyama untuk tidur
berwarna orange tua. Rambutku di sengaja ku gerai karena masih basah. Aku belum
mengantuk malah sekarang aku merasakan lapar.
Saat
aku keluar dari kamar, aku melihat anjing itu masih tetap berada di posisinya.
Sebaiknya aku memberikan dia nama deh, tidak enak kalau selalu menyebut dia
dengan sebutan 'anjing itu'.
"Hey,
kemari." ujarku. Anjing itu menurut dan mendekatiku. Bulu-bulunya yang
telah kering itu membuat tubuhnya seakan lebih besar daripada yang tadi. Aku
memegang leher anjing itu dan mengelusnya.
"Bulu
mu lembut sekali, rasanya ingin ku jadikan bantal tidurku." ucapku gemas.
"GUK!"
Dia meresponku dengan menggonggong keras. Apa dia mengerti maksudku?
"Aku
beri namamu Blacky, bagus tidak?" tanyaku asal. Ku dengar dia menggeram
sampai aku terkejut dibuatnya.
"Tidak
suka ya? Jadi apa? Cutie or Sweety or apa? Aku tidak tahu." jawabku. Dia
mengendus-ngenduskan lagi hidungnya ke wajahku.
Entah
ada angin apa, seperti ada yang berbisik di telingaku sambil menyebutkan nama
'Andrew'. Suaranya pelan sekali. Aku menoleh ke belakang tetapi tidak ada
orang.
"Drew?"
"GUK!!"
Anjing itu menggonggong senang. Oh dia suka dengan nama Drew tadi.
"Baiklah
namamu Drew. Aku akan memanggilmu Drew mulai sekarang." ujarku. Dia
menggonggong lagi. Kalau anjing ini di jual pasti harganya mahal sekali kan?
Hewan sebagus ini pasti langka. Tapi sayangnya, aku suka dengan anjing ini.
"Drew,
apakah kau lapar? Aku buatkan kau makanan."
Tidak
buruk juga jika ada yang menemaniku sendirian di rumah. Walaupun dia seekor
anjing, tidak apa-apa. Dapat mengusir kesepianku juga.
Aku
berjalan lambat ke arah dapur minimalisku. Aku sudah menetap di rumah sewaku
ini dari setahun lalu. Sebelumnya, aku menumpang di rumah Bibiku, adik ibuku.
Tapi suaminya kadang melakukan pelecehan seksual padaku, seperti mencolek
pantatku atau dengan sengaja menyenggol payudaraku. Pamanku itu mesum, aku
tidak tahan! Jadi, lebih baik aku menyewa rumah sendiri saja. Walaupun kecil,
tapi ini sudah cukup bagiku.
Aku
menyiapkan dua piring omelet dengan berbagai bentuk sosis lucu di atasnya. Satu
buatku dan satu buat Drew. Walaupun aku yakin porsi ini pasti kurang untuk
ukurannya yang besar itu.
Aku
kembali ke ruang tengah dan duduk bersila didepan TV yang berlayar 21 inch ini.
Kebiasaanku kalau lagi makan pasti sambil menonton TV.
"Drew,
kemarilah!" panggilku. Tak lama kemudian, Drew menghampiriku dan duduk
disampingku. Anjing ini pintar sekali, sangat mengerti apa maksudku.
"Ini
makanlah." ucapku menaruh piring itu didepannya, tetapi dia cuma membaui
makanan itu tanpa ingin memakannya.
"Ada
apa? Kau tidak suka?" tanyaku. Drew terlihat lesu dan berguling dilantai.
Aneh, dia pasti lapar habis kehujanan tadi. Masa' dia tidak mau makan sih?
"Mau
ku suapi?" tanyaku.
"GUK!"
Drew langsung terduduk menghadap ke arahku. Aneh, benar-benar aneh. Dia sangat
mengerti apa yang aku katakan? Anjing ini pintar sekali.
Aku
memasukkan sosis goreng itu ke dalam mulutnya dan dia langsung menyambut.
Sambil menonton TV, tanganku terus menyuapi makanan ke mulutnya. Tak lupa pula
aku juga menyantap makananku. ">Sesekali aku menguap dan mengucek
mataku. Kayaknya aku mengantuk. Hoaaammm.. Ku lihat Drew merebahkan kepalanya
di atas pahaku. Kurasa dia juga mengantuk. Aku mengelus kepalanya yang penuh akan
bulu lembut nan halus itu, tetapi malah aku yang tertidur.
******
Andrew's
POV
"MATE
MATE !!!!!"
Kepalaku
berdengung karena serigala-ku, Gary, berteriak keras sampai membuat kepalaku
pusing. Aku memandangi sekitar tetapi aku tidak merasakan ada sesuatu yang
aneh.
"MATE
KITA BODOH! DI DALAM BUS!!"
Gary
kembali berteriak di dalam kepalaku, lalu dengan cepat aku mengejar bus itu.
Pantas saja tubuhku bergetar hebat dan tercium wangi harum saat bus tadi lewat.
Ternyata Gary lebih peka dariku. Aku terus berlari mengikuti bus ini dan
membiarkan Gary mengambil alih. Aku berubah menjadi serigala berbulu hitam dan
putih dan terus mengikuti bus itu sampai bus itu berhenti didepan halte.
Terlihat
Gary menggeram keras saat gadis berambut pirang turun dari bus. Wangi tubuhnya
menyeruak masuk ke dalam hidung kami. Strawberry.
"Aku
harus mengklaimnya sekarang! Mate! Our mate!!" seru Gary berbicara
melalui pikiran kami yang terhubung.
"Not
now, Man. Bersabarlah, kita tidak mungkin langsung mengklaimnya sekarang."
jawabku. Gary menggeram marah. "Ayo kita kerja sama mendekati Mate
kita, jangan gegabah." lanjutku.
Gary
terlihat tenang sekarang, mungkin dia sudah berpikir kalau apa yang ku
bicarakan benar adanya. Walaupun tak dapat di pungkiri, aku juga ingin
mengklaimnya sekarang juga.
Aku
kembali mengambil alih walaupun dalam bentuk Gary. Gary kini mengalah dan lebih
memilih diam. Tidak buang waktu, aku menyebrangi jalan dan mengejar gadis itu.
Tubuhku basah kuyup, bulu-buluku jadi lepek.
Saat
aku menggonggong, ku lihat dia sangat syok melihatku. Mungkin dia baru pertama
kali melihat sosok serigala besar sepertiku ini. Wajahnya sangat cantik,
jantungku berdetak kencang dan ku dengar Gary menggeram nafsu didalam
pikiranku.
Gadis
itu mengusirku, jujur aku merasa marah saat dia mengibas-ibaskan tangannya
untuk menyuruhku pergi. Bisa saja sekarang aku berubah menjadi manusia,
menggendongnya ke kamar lalu mengklaimnya sekarang juga. Apalagi sedari tadi
Gary terus mendesakku untuk melakukan itu.
Akhirnya
aku bisa masuk walaupun dengan cara memaksa. Dia terlihat jengah melihatku dan
meninggalkanku mandi. Setelah itu dia keluar dari kamarnya dengan menggunakan
piyama berwarna orange tua. Oh She's so amazing!
Saat
dia ingin memanggilku Blacky, aku menggeram marah. Enak saja dia mau memanggilku
Black! Dia memilih lagi, Cutie or Sweety? Aku setuju dengan sweety, seperti
panggilan sayang buat pacar. Tetapi aku menolak, dengan instingku aku
membisikkan namaku di telinganya. Andrew, ucapku pelan. Ternyata dia mendengar
dan Mate ku ini memanggilku Drew. Senangnya aku!
Kini
aku menemani dia makan sambil menonton TV. Aku sangat bahagia karena dia
menyuapiku dengan penuh kasih sayang. Rasanya aku ingin sekali memeluk tubuhnya
dan mencumbunya. Aku melihat dia mulai menguap dan mengucek matanya. Ku rasa
dia mulai mengantuk. Aku ada ide, aku pun merebahkan kepalaku di atas pahanya.
Tak disangka, dia mengelus kepalaku. Sangat nyaman!!
Terdengar
suara dengkuran halus dan teratur. Ternyata gadisku ini sudah tertidur. Sungguh
wajahnya sangat menggoda, Gary daritadi terus mendesakku agar kami mengklaimnya
sekarang juga. Tetapi aku kembali menolak. Jangan dulu, ini belum saatnya.
">Aku pun kembali merubah wujudku menjadi manusia dan menyisakan celana
boxer saja di tubuhku ini. Dengan sigap, aku menggendongnya dan membawanya
masuk ke dalam kamar. Hati-hati aku merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan
menyibakkan selimut diatasnya.
Cup
Ku
kecup bibirnya beberapa kali dan mengelus rambut halusnya.
"Good
Night, Mate. Finally, I'd found you."
PART 2
"Gwen's
POV
Hangat,
lembut, wangi, empuk...
Rasanya
aku ingin selalu memeluk apapun yang disampingku. Aku bersumpah demi apapun,
ini nyaman sekali!! Aku baru ingat kalau aku punya guling sehangat ini. Eumm!!
"Bangun, sayang.."
Apakah
aku bermimpi? Kenapa aku mendengar bisikan suara pria di depan telingaku? Please, jangan bangunkan aku. Aku
tidak pernah tidur senyaman ini sebelumnya.
Dengan
masih menutup mataku, kini aku merasakan sesuatu terus menjilati pangkal
leherku. Drew?
Aku
membuka mataku yang sungguh berat seperti ditempeli lem semalam. Aku melihat
kabur, karena mataku baru habis bangun tidur, ada pria bertelanjang dada dan
hanya memakai boxernya, sedang memelukku erat. Wajahnya tampan seperti pahatan
dewa Yunani. Oh, indahnya mimpi.
Wait a sec! Aku sudah sadar dan
sedang tidak tidur, berarti pria di depanku ini???
"KYAAAAAAAA
!!!!"
Refleks
aku menendang keras perut pria itu sampai dia meringis kesakitan. Aku sontak
berdiri dengan masih membawa selimutku. Seketika aku melihat pakaianku, fyuuh
syukurlah masih utuh.
"Ka..kau
siapa!? Kenapa kau tidur seranjang denganku?!" teriakku gusar. Walaupun
pria itu sangat tampan dan mempesona, setidaknya aku harus mempertahankan harga
diriku kan.
"Kau
tidak kenal aku, sayang?" tanya pria gila nan tampan itu berjalan
mendekatiku. Aku mundur ke belakang, Ya Tuhan, pria di depanku ini FIX gila.
Aku baru bertemu dengannya, dia sudah memanggilku sayang!?
"PERGI!!
Pergi dari rumahku!!" teriakku lagi saat dia sudah berada di depanku. Dia
tinggi, tubuhku hanya batas dadanya yang, Oh Shit, sangat menggiurkan.
Lalu
aku dengar dia menggeram marah dan dengan cepat meraih daguku untuk mendongak
ke atas.
"Kau
berani bicara seperti itu padaku, hem sayang?" tanya pria itu tajam,
menusuk mataku. Warna matanya abu-abu terang, mengingatkan aku pada.. Drew!!!
Ya, aku ingat, anjing itu. Mungkin dia bisa membantuku.
"Drew
tolong aku !!" panggilku kuat. Aku lihat pria di depanku ini tertawa
mengejek. Menyebalkan cih.
"Drew
tidak akan kemari sayang.." katanya lalu menarik pinggangku, menepis jarak
di antara kami. "Karena dia ada disini."
"Mmmppphhhh!!!"
Tiba-tiba
dia menarik leherku dan mendaratkan bibirnya tepat di bibirku. Astaga, apa yang
dia lakukan!?
"Le..Lepas!!!"
Aku memukul dadanya berkali-kali supaya dia melepaskanku. Bukannya lepas, dia
malah menambah buas saja menciumku. Sial, pria ini mencoba menggodaku.
"Enggh!!"
erangku saat bibirku di gigit kuat olehnya. Setelah itu, dia melepaskan bibirku
tetapi tak memberikan jarak di antara bibir kami.
"Siapkan
dirimu sayang, karena ini baru permulaan dariku." bisiknya tepat di
bibirku. Aku ingin membalas ucapannya tetapi bibirku kelu. Rasanya kebas dan
membengkak.
"Aku
pergi dulu. Sampai ketemu lagi sayang. Muah." katanya sambil mengecup
bibirku sekilas lalu keluar dengan cara melompat dari jendela.
Aku
masih berdiri mematung karena kesadaranku sudah melayang kemana-mana. Setelah
aku sadar, aku terkulai di lantai begitu saja. Syok, aku sangat syok. Ada pria
gila yang tiba-tiba saja menciumku!? Ya Tuhan. Buru-buru aku menutup jendelaku
dan menguncinya. Pria bahaya. Tampan tapi bar-bar.
Aku
melihat sosok diriku di depan cermin. Wow bibirku merah dan bengkak. Astaga,
ini ulah dari pria gila tadi. Apa maksudnya ini baru permulaan? Aku tak
mengerti, lalu dimana anjingku, Drew?
Aku
keluar kamar dan memanggil nama Drew berkali-kali, tetapi tidak ada respon
sedikitpun. Ya sayang sekali, padahal anjing itu cantik dan menggemaskan.
Mungkin dia kabur semalam. Huh.
Tak
sadar mataku melirik jam dinding, jam 8 pagi.
"KYAAAA,
AKU TERLAMBAT!!" jeritku masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah kaki
terbirit-birit.
Aku
sudah terlambat masuk kuliah pagi hari ini. Ya Tuhan, apa kata dosen nanti?
Mahasiswi yang kuliah dengan bantuan beasiswa terlambat masuk? Jangan salahkan
aku, ini salah pria gila tadi!! Kyaaaa!!!
Aku
mandi kilat hanya 5 menit! Hebat kan. Lalu aku membereskan buku-buku ke dalam
tas dan pergi setelah mengunci pintu rumah. Hari ini aku hanya memakai baju
kaos berwarna hitam dengan gambar tokoh Eren Jaeger, pemeran utama dalam anime
Attack On Titan dan celana Jeans berwarna biru tua. Simpel kan? Aku memang
tidak suka berpakaian ribet.
Aku
berlari menuju halte dan tak lama kemudian akhirnya bus yang ku tunggu datang
juga. Syukurlah, mungkin Tuhan berbaik hati padaku pagi ini.
Sekitar
20 menit perjalanan di dalam busway, akhirnya aku sampai juga di kampus
tercinta. Aku berlari begitu saja karena pagi ini aku ada matkul dengan Sir
Johannes, bapak dosen itu terkenal dengan kedisiplinannya yang tinggi.
Bayangkan, aku bisa di usir kalau terlambat masuk ke kelasnya.
"Oh
my god!"
Pintu
kelas sudah di tutup, yang pasti proses ngajar mengajar sudah berlangsung di
dalam sana. Apa aku permisi saja terus meminta maaf atas keterlambatanku? Tapi
aku harus punya keberanian penuh nih untuk menghadapi Sir Johannes. Yossh!
Gwen, Ganbatte!!
Satu,
dua, tiga..
Tok
Tok
Aku
mengetuk pintu itu dan membukanya. Banyak pasang mata yang melihatku dan semua
orang menatapku seakan 'Mati kau'
. Membuat nyaliku ciut seketika.
"Maaf
Sir, aku terlambat." kataku sambil menunduk. Ku lihat Sir Johannes
menghembuskan nafas kesal, mungkin dia marah proses mengajarnya terganggu dan
membuat konsentrasi siswanya pecah karena aku.
"Gwen
Stacy, kau terlambat 30 menit. Keluar dari kelasku." kata Sir itu tenang
tapi tegas. Huh... Aku menghembuskan nafas berat dan berjalan menuju pintu.
"Tunggu."
Aku
menoleh saat Sir Johannes memanggilku. Apa dia mau membatalkan perkataannya
tadi?
"Kamu
dipanggil Rektor, dia menyuruhmu ke ruangannya sekarang."
TAMPAR
AKU SEKARANG !
Untuk
apa Rektor yang notabene sekaligus
pemilik universitas ini memanggilku? Apa aku di DO? Tidak mungkin kan, aku
hanya terlambat sekali!?
"Tunggu
apa lagi Gwen, keluarlah."
"Baik,
Sir."
Aku
melangkahkan kaki dengan sangat berat, keluar dari ruangan itu dan menuju ke
ruangan Rektor yang berada di gedung yang berbeda. Aku tidak pernah bertemu
Rektor itu sebelumnya. Nama Rektor universitas ini namanya Jacob Collins. Pria
paruh baya itu kata orang-orang sih, dia tegas dan kompeten. Dia tidak suka
mahasiswa/i di Universitasnya tidak disiplin dan bermalas-malasan. Mati aku,
mungkin aku akan kehilangan beasiswaku.
Saat
aku sudah berada di gedung khusus ini, aku menaiki lift dan memencet angka 4.
Ruangan Rektor khusus di buat dilantai 4 ini. Ruangannya saja istimewa, sesuai
jabatannya. Tak lama kemudian, aku pun sudah sampai di depan ruangan besar itu.
God, save me from the Devil, please..
Aku
mengetuk pintu itu beberapa kali dan terdengar bunyi suara pria berkata
"Masuk" dari dalam. Aku pun menurut dan masuk ke dalam ruangan itu
dengan hati-hati. Aku kembali menutup pintu itu dan berbalik.
Wow,
ruangannya mewah cin. Kayak ruangan CEO yang biasa aku tonton di drama Korea.
Kayak CEO Joong Won di Master's Sun.
Aku
melihat pria gagah, tinggi dan bertubuh atletis itu dari belakang karena dia
sibuk melihat ke luar jendela besar yang menghadap langsung dengan pemandangan
kota. Wonderful.
Beliau
memasukkan kedua tangannya di saku celana dan berbalik ke arahku.
DEMI
ANACONDA DI AMAZONE, dia pria gila memciumku tadi pagi!!!!
******
Andrew's
POV
"Sudah
kau selidiki tentang gadis yang ku tunjukkan semalam?" tanyaku pada Devan,
asisten pribadiku sekaligus Beta-ku. Aku menyuruhnya menyelidiki semua seluk
beluk tentang gadis Mate-ku yang tadi pagi marah-marah karena aku cium.
"Sudah,
Alpha. Gadis itu eh Maafkan saya, Luna, bernama Gwen Stacy. Umur 20 tahun,
pindahan dari Kanada dan kuliah di Universitas Collins-
"Tunggu."
Aku memotong pembicaraanya, "Dia kuliah di Universitas punya
keluargaku?" tanyaku tak sabar.
"Ya
Alpha. Dia kuliah karena beasiswa. Dia sudah semester 5." kata Devan
sopan.
Aku
tertawa menyeringai, ini semakin mudah. Aku tak menyangka kalau dia kuliah yang
Rektornya ayahku sendiri. Menguntungkan!
"Devan,
antarkan aku ke sana sekarang juga. Aku mau bicara dengan ayahku." ujarku
tegas dan langsung di patuhi oleh Devan. Tak lama dari itu, kami melesat pergi
ke Universitas Collins dan aku langsung menuju ke ruangan ayahku.
Aku
membuka pintu ruangan ayahku dengan gembira dan ayahku, Jacob, langsung
menyambutku hangat.
"Ayah,
aku berubah pikiran. Aku mau menggantikanmu disini." kataku berterus
terang. Dulu ayahku selalu mendesak supaya aku menggantikannya sebagai Rektor
di Universitasnya, tetapi aku tak mau. Aku pikir itu menyusahkan.
"Waw,
apa yang bisa membuatmu berubah pikiran, Nak?" tanya ayahku.
"My Mate, Dad. I'd Found her."
jawabku. Ayah langsung memelukku gembira.
"Akhirnya,
selamat Son. Aku kira di umurmu yang 26 tahun ini sudah tidak bisa bertemu
dengan Mate-mu lagi. Ayah sudah putus asa." ucap Ayahku. Menyebalkan,
gini-gini aku masih muda.
"Gimana,
Yah? Mau membantuku?"
"Tentu,
Son. Silahkan."
Itulah
ucapan terakhir ayahku dan setelah itu aku resmi menjadi Rektor di sini. Aku
langsung mencari data tentang mahasiswi bernama Gwen Stacy dan menyuruh orang
untuk memanggilnya ke ruanganku.
Aku
lihat dia sangat syok dengan apa yang di tatapnya sekarang. Tangan lentiknya
menutup mulutnya dan matanya membulat besar.
"Hallo,
sayang. Kita ketemu lagi."
PART 3
Gwen's POV
"Hallo, sayang. Kita ketemu lagi." ucap pria gila itu sambil berjalan mendekatiku perlahan. Refleks aku mundur ke belakang hingga terbentur pintu ruangan ini."Jangan mendekat." kataku waspada. Dia memamerkan seringaian anehnya itu lalu berhenti berjalan. Jarak antara aku dan dia mungkin sekitar 2 meter saja.Pria gila itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan berdiri angkuh di depanku. Bola matanya yang semula berwarna abu-abu terang kini berubah menjadi hitam pekat. Apa dia memakai softlens yang bisa berubah otomatis?"Kau takut padaku hem?" tanya dia bernada lembut tetapi tidak dengan mataya yang terus menatapku seolah aku ini makanan lezat."Ti..tidak.." kataku gugup. Dia kembali memamerkan senyum smirk-nya yang menggoda itu."Kalau tidak, kemarilah. Berdiri di depanku." katanya. Aku ragu, bagaimana kalau aku di bunuh atau di cincang sampai mati di sini?"Tenang saja, sayang. Aku tidak akan menerkam-mu. Kemarilah." titahnya lagi seolah tahu apa yang barusan ku pikirkan. Sedangkan aku masih berdiri mematung di tempatku semula. "Kemana Mr. Collins?" tanyaku spontan. Pria tampan di depanku ini tertawa pelan lalu menunjuk dadanya sendiri."Disini, darl." jawabnya sok keren. Aku mencibir, maksudnya kemana Sir Jacob Collins, Rektor universitas ini. Seingatku, pria paruh baya itu tidak semuda dengan pria yang sedang di depannya sekarang."Maksudku dimana Rektor yang memanggilku?" tanyaku ulang. "Aku yang menggantikan ayahku mulai sekarang. Yang memanggilmu di sini adalah aku." jawabnya tenang.Oh, begitu..Hah? WHAT!!?"Jadi.. Jadi.. K..Kau anaknya Sir Jacob?" tanyaku gagu. Mati aku, sedari tadi aku kurang ajar sekali dengannya. Kyaaa! Bisa-bisa aku di DO lagi."Ya sayang, kemarilah." ucapnya. Kenapa dia selalu memanggilku sayang? Bikin bulu kudukku berdiri saja. Brr...Aku mendekatinya dengan langkah pelan dan berhenti sekitar sudah berjarak kurang lebih 1 meter darinya. "Mendekatlah lagi." katanya. Jujur, aku sangat takut. Bagaimana kalau dia menciumku lagi seperti tadi pagi? Aku kembali mendekat dan kini sudah berada di hadapannya. Tiba-tiba, pria itu menarik pinggangku dan memeluk tubuhku erat. Dia mengelus kepalaku dan sesekali mencium rambutku. What the hell!"A..apa yang kau lakukan?" tanyaku pelan. Tubuhku tidak berontak karena aku sendiri merasa nyaman berada di pelukannya. Aku hanya merasa aneh kenapa aku seperti ini pada orang yang baru kukenal?"Ssh.. Diam. Biarkan saja seperti ini. Aku merindukanmu." jawabnya. Merindukanku? Apa dia habis minum vodka?"Lepaskan aku, aku bahkan tidak mengenalmu Tuan!" Aku berusaha melepaskan dekapan eratnya itu tetapi tidak bisa. Dengan tubuh kecilku ini mana mungkin bisa menang dari tubuh pria kekar dan tinggi seperti dia.Aku merasakan kepalanya menyeruak masuk ke lekukan leherku dan menjilatnya lembut. Ini.. Geli. Ya Tuhan, aku bisa gila."Panggil aku Andrew, sayang." bisiknya di telingaku. Nama itu sepertinya tidak asing."Andrew?" Aku mendongakkan kepalaku agar aku bisa melihat wajahnya. "Namamu kayak anjingku kemarin. Drew." lanjutku. Aku lihat dia mengerutkan dahinya dan melihatku marah.
"Dia
bukan anjing, tapi Wolf."
tekannya sambil menggigit hidungku.
Aku meringis dan mengusap hidung berkali-kali, "Aww.. Sakit!" Bukannya
minta maaf, dia malah tertawa. Menyebalkan!
"Lalu kenapa kau tahu kalau itu wolf ? Dan kenapa pula kau tadi pagi bisa berada di kamarku?" tanyaku lagi. Ku lihat Andrew terdiam sejenak. Tak lama kemudian dia tersenyum sinis lagi dan memperkuat pelukannya di pinggangku."Itu rahasia, sayang. Akan aku kasitahu tapi kau harus jadi istriku." jawabnya acuh."Kau gila!? Lepaskan aku, Sir Andrew. Aku tidak mau terlibat affair dengan Rektor universitas-ku sendiri !" tegasku menepiskan tangannya yang berada di pinggangku. Saat terlepas, dengan cepat dia menarikku lagi."Aku tidak peduli, yang jelas kau milikku sekarang." Andrew lebih mengencangkan pelukannya di pinggangku, sedangkan aku hanya mendorong dadanya dengan kedua tanganku."Kau ini kenapa!? Lepas!!" teriakku dan terus mendorong dadanya tetapi dia langsung membungkam bibirku dengan bibir penuhnya itu. Yang benar saja, sudah dua kali dalam hari ini. Ciumannya sama seperti tadi pagi, ganas dan mendominasi."Eungh, sa..sakit Drew!" lenguhku saat Andrew dengan kasarnya menggigit bibirku. Dia terkesiap dan melepaskan bibirku spontan."Maafkan aku, sayang." Andrew menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Pandangannya lurus menatap bibirku, dia khawatir. "Bibirmu berdarah. Maafkan aku." Tersirat di bola matanya yang kini berwarna abu-abu terang itu perasaan bersalah karena menggigit bibirku tadi.Aku menepis tangannya yang berada di wajahku, "Kau aneh!! Aku benci denganmu!!" teriakku dan berlari memburu pintu. Dasar pria bar-bar!!****
Andrew's POV
"Kau aneh!! Aku benci denganmu!!" Hatiku sakit seperti habis di tusuk-tusuk ribuan jarum saat gadisku bicara seperti itu barusan. Begitu pula dengan Gary, serigala itu menyembunyikan dirinya di paling sudut pikiranku. Apakah sesakit ini di benci oleh Mate? Padahal sudah genap 10 tahun kami mencari sosok pasanganku dan aku tidak mau kalau gadis itu menjauhi kami."Gary, ini semua gara-gara kau!" tegasku. Kalau bukan atas dorongan Gary tadi, tidak mungkin aku menciumnya sampai sekasar itu."Maafkan aku, aku tidak tahan..bibirnya manis sekali. Sebaiknya kita harus minta maaf dengan Mate kita." balas Gary. Ku akui baru kali ini ucapan Gary benar, ya sepertinya kami harus meminta maaf padanya.'Tok tok'Aku terperangah saat terdengar bunyi ketukan pintu dari luar, "Masuk." Dan ternyata Beta-ku yang datang, Devan."Ada apa, Dev?" tanyaku tenang. "Maaf Alpha, saya hanya ingin memberitahukan Ketua pack dari Selatan ingin mengincar Luna Stacy." Grrrr!! Gary menggeram marah di kepalaku mendengar ucapan Devan barusan. Begitu pula denganku, aku sangat ingin membunuh siapapun yang berani melukai pasanganku! Apalagi Ketua pack selatan yang sialan itu. Berani sekali dia!"Darimana kau tahu kalau Damian mengincar Mate-ku?" Aku berusaha tenang dan tidak ingin terlalu gegabah mengambil keputusan."Tadi aku mendapat informasi dari prajurit kita kalau rumah Luna di acak-acak oleh suruhan Damian." jawab Devan dengan mimik muka datar.Aku memang menyuruh beberapa orang untuk mengawasi rumah Gwen untuk berjaga-jaga. Tapi tak kusangka akan secepat ini. Kurang ajar!! Damian sudah mulai bertindak rupanya.
"Kita harus membawa Gwen ke rumah
kita!" sahut Gary di dalam pikiranku. Serigala hitam itu mulai
gelisah jika terjadi apa-apa dengan mate kami. Sebaiknya aku bertindak cepat
kali ini.
"Baiklah Dev, kau boleh keluar." titahku dan Devan keluar setelah pamit denganku.
"Gary, apa kau siap dengan apa yang ku pikirkan?" "Grrr!! Tentu!" Aku berencana hari ini akan membawa Gwen ke rumahku, bagaimanapun caranya!
PART 4
Playlist now:
John Legend-All of Me
*****
Gwen's POV
Hari
yang melelahkan. Setelah berkutat dengan soal-soal dan dosen yang menyebalkan,
akhirnya aku keluar dari kelas pada pukul tepat jam 3 sore.
"GWEN
!!!" teriak suara seorang gadis dari kejauhan. Aku menoleh ke belakang,
ternyata itu Terry, sahabatku. Kami berbeda mata kuliah tadi, jadi kami belajar
dengan kelas terpisah.
"Kau
mau kemana?" tanya Terry saat dia berhasil menyamai langkahku dan kami
berjalan menuju keluar kampus.
"Biasa,
habis ini aku ke cafe. Kau mau kemana?" tanyaku balik. Terry tersenyum
girang, aku yakin habis ini dia pasti akan bicara tentang pacarnya.
"Farrel
mengajakku nonton. Mau ikut?"
"Dan
jadi orang ketiga? Maaf saja!" jawabku kesal. Aku pernah ikut mereka
karouke dan apa yang terjadi? Hanya aku saja yang bernyanyi tak karuan
sedangkan mereka asyik berciuman. Ewww, mentang-mentang aku jomblo.
"Oh
ya sudah, nanti ikut mobil kami saja, kan searah dengan cafe tempatmu
kerja."
"Oke
kalau begitu." jawabku. Tak salah juga dapat tumpangan gratis. Hahaha.
Tiba-tiba
aku merasakan ada seseorang menarik pergelangan tanganku kuat.
"Aww," ringisku. Lantas aku dan Terry menoleh bersamaan. "Astaga,
Oh My God. Angel.." ucap Terry. Gadis di sampingku ini mulutnya
menganga dan matanya membulat besar. Sedangkan aku menatap pria tampan di depanku
dengan wajah kesal. Apa-apaan sih!?
"Mau
kemana kau?" Andrew menatap mataku tajam, lama-lama tulangku ini bisa
remuk karenanya.
"Gwen,
dia siapa?" bisik Terry di telingaku. "Kenapa kau tidak tanya
sendiri? Aku juga tidak kenal." bisikku bohong. Lalu aku mendengar Andrew
menggeram. Tangannya belum lepas dari pergelangan tanganku.
"Maaf
Sir, tanganku bisa remuk kalau digenggam terlalu kuat begitu. Tolong lepaskan
tanganmu." ujarku.
"Jawab dulu, kau mau kemana!?" balas Andrew setengah teriak.
Jujur,
aku sangat malu sekarang. Kami seperti artis dadakan, semua orang melihat ke
arah kami bertiga. Ralat hanya ke arah Andrew. Pesona lelaki satu ini bukan
main. Semua gadis-gadis di kampus menatapnya dengan tatapan kaget, kagum,
terpesona dan err... Lapar?
"Aku
mau ke Cafe, kenapa sih!? Lepas dulu, tanganku sakit!" keluhku sambil
melepaskan tangannya dengan tanganku yang satu lagi. Terry pula, kenapa gadis
bodoh ini tak membantuku!? Dia malah memandangi Andrew takjub tanpa henti.
"Ikut
denganku," Andrew menarik tanganku dan mulai berjalan berlawanan arah
dengan Terry.
"KYAAA
Terry! Tolong aku, aku di culik!" teriakku tetapi Terry malah melambaikan
kedua tangannya dengan raut wajah pasrah. Huh Terry, pertemananmu sungguh
tipis. Aku benci padamu.
Aku
mengikuti langkah kaki Andrew yang besar-besar membuatku sedikit kesusahan
berjalan. Belum lagi dia terus menarik tanganku kuat. Maunya apa sih!?
Tak
terasa kami berjalan menuju parkiran khusus pegawai, dosen dan para petinggi
kampus lainnya. Andrew membukakan pintunya untukku, tapi aku tidak mau masuk.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan menahan tubuhku di sandaran pintu.
"Masuklah
sayang. Aku memaksa." Andrew sedikit mendorong tubuhku agar masuk ke dalam
mobil.
"Tidak
mau!" protesku dan terus menahan tubuhku di pintu mobil. Aku memegang
kemeja Andrew kuat supaya aku tak bisa masuk ke dalam mobil.
"Masuk
atau kucium kau sampai pingsan!" Andrew mengancam dengan kedua matanya
yang tajam bak elang itu, bola matanya berubah menjadi warna hitam pekat. He's
so CRAZY !!!!
"Aku tidak
mau.."
"Satu.."
Andrew mulai menghitung, ku rasa dia hanya menggertak.
"Dua,
jangan salahkan aku kalau pada hitungan ke-3 kau belum masuk." Andrew
mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kyaa!! Sebenarnya aku takut lagipula aku tidak
bisa kabur. Kedua kakiku di kunci oleh kaki Andrew. Belum lagi, tangannya yang
memegang salah satu pergelangan tanganku.
"Dua
setengah.." Andrew mulai menciumi dan menggigit pipi kananku.
"Ti.."
"OKE
OKE, aku masuk!!" Aku menepis tangannya dan masuk ke dalam mobil sport
berwarna merah ini dengan cepat. Satu kata buat mobil ini, WOW.
Andrew
langsung menutup pintu mobilnya lalu memutari kap mobil dan duduk di kursi
kemudi. Dia mulai menghidupkan mesin dan melesat pergi dari kawasan kampus.
Aku
benci Andrew Collins!
"Sayang.."
panggil Andrew lembut. Aku tak peduli dan terus memalingkan wajahku ke arah
jalanan kota yang padat. Dasar aneh, kenapa sih dia terus memanggilku sayang?
"Kau
marah padaku hmm?" tanya Andrew. Setelah itu aku merasakan jika tangan
kananku di genggam erat oleh tangan yang kekar dan hangat.
Aku
menoleh ke samping kananku dan mendapati wajah pria yang amat sangat tampan.
Pantas saja dia menjadi pusat perhatian para gadis-gadis tadi. Tapi yang
membuatku bingung, siapa pria ini? Kenapa dia selalu mencari masalah denganku?
Padahal kami baru 'bertemu' pagi tadi. Aneh kan?
"Sebenarnya
kau ini siapa? Dan kenapa kau bisa kenal denganku?" tanyaku spontan. Dia
tersenyum tulus padaku lalu mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya.
"Itu
masih rahasia, lambat laun kau pasti tahu sayang." jawabnya dengan masih
senyum di wajahnya yang bisa buat hatiku adem.
"Tidurlah,
perjalanan kita masih jauh." lanjut Andrew melepaskan tautan tangan kami
dan menghidupkan musik. Terdengar suara dari John Legend dan lagu yang tak
terlalu aku suka, All of me.
"Memangnya
kita mau kemana?" tanyaku lagi.
"Ke
'rumah'."
Oh
rumah, ya iyalah tidak mungkin kan dia membawaku ke hotel. Hell-O
pikiranku Gwen!!
Lama
kelamaan mataku mengantuk. Benar saja semalam aku tidur malam, belum lagi
kuliah seharian bikin tubuhku pegal-pegal. Ditambah suasana nyaman dari
genggaman tangan hangat dari pria tampan di sampingku ini. Rasanya hmm..
*****
Andrew's POV
"Auuuuuuuu...."
"Astaga Mate-ku cantik sekali.."
"Oh
bidadari, Iloveyou.."
"Drew,
stop mobilnya dan klaim dia sekarang!!"
"Tolong
kecup bibirnya untukku Drew. Please.. Auuuuuuu grgrrr..Mate Mate
tercinta."
"Stop
Gary!! Kau tidak tahu aku sedang bawa mobil hah!!"
Sedari
tadi Gary tidak berhenti mengoceh di dalam pikiranku. Ocehannya bertambah
banyak saat aku melihat Gwen tertidur. Gadis ini bahkan tidak tahu kalau aku
sedang membawanya ke rumahku saat ini. Ternyata ini tidak begitu sulit.
Aku
menoleh ke samping dan mendapati wajah seorang gadis yang amat teramat sangat
cantiknya. Benar kata Gary, dia seperti bidadari. Walaupun sejatinya aku belum
pernah melihat sosok bidadari asli bagaimana, aku tidak peduli. Yang penting
menurutku, wajah Mate-ku ini tidak kalah cantiknya dengan bidadari itu.
Sekitar
3 jam perjalanan menuju rumahku alias istanaku, yang berada jauh di dalam White
Spruce taiga, Denali Highway, Alaska, akhirnya kami berdua sampai. Orang-orang
biasa tidak bisa menemukan tempat ini, karena setiap perbatasan wilayah di jaga
oleh sekitar 10 werewolf.
"MATE-KU
BODOH!!" teriak Gary dari dalam tubuhku. Hya serigala satu ini tidak
mau kalah rupanya.
"Andrew?
Dimana aku?"
Aku
dan Sophie menoleh bersamaan saat kami melihat Gwen keluar dari kamar.
"MATE
!!"
"Alpha,
Tuan Andrew membawa mate-nya ke Istana."
"Bagus,
dan kurasa aku harus menemui teman lamaku."
PART 5
Playlist now:
One Direction - Story of My Life
"And
I've been waiting for this time to come around.. But baby running after you is
like chasing the clouds"
*****
Full of
Andrew's POV
"Andrew?
Dimana aku?"
Aku
dan Sophie dikejutkan oleh suara gadis yang kini sudah berada di depan pintu
kamar. Wajah bantalnya itu sangat cantik dimataku.
"Hey,
mate-ku memang cantik bukan?" celoteh Gary karena ketahuan aku memuji
wajah bantal Gwen.
Aku
kesal dengannya karena dia selalu meng-hak Gwen, "MATE-KU JUGA,
BODOH!!" teriakku. Gary terdengar marah sesaat lalu dia kembali diam.
Rasakan!
"Hai
Luna, namaku Sophie."
Tanpa
ku sadari, kini Sophie sudah berdiri di depan Gwen dan mengulurkan tangannya ke
depan gadisku. Gwen terlihat bingung tetapi dia cepat-cepat membalas uluran
tangan Sophie.
"Namaku
Gwen Stacy, bukan Luna." kata Gwen. Sophie tersenyum padanya lalu memeluk
Gwen erat. Tinggi badan mereka tidak terlalu jauh. Sudah ku katakan kalau
gadisku memang mungil bukan?
"Aku
adik Andrew, Luna Stacy. Selamat datang di rumah kami." ucap Sophie ria
seraya mengelus-elus punggung Gwen. Hey aku cemburu Soph!!
Mata
Gwen terlihat bingung dan takut, lalu mata cantiknya mulai menerawang jauh
langit-langit ruangan ini. Dia mulai sadar kalau ini bukan rumahnya. Bahkan aku
yakin dia bukan sebut ini rumah, mungkin dia akan sebut ini kastil atau istana?
"Just
call me Gwen or Stacy, aku tidak suka di panggil Luna. Itu nama temanku
saat SD yang menyebalkan. Jadi aku benci." jawab Gwen sedikit kesal saat
mereka berdua sudah melepaskan posisi mereka yang berpelukan itu.
Hatiku
sedikit mencelos saat dia tidak suka dipanggil Luna, apa dia menolakku? Tapi
alasannya karena Luna adalah nama salah satu teman SD yang menyebalkan. Masuk
akal. Hahah, ada-ada saja.
"Andrew,
jawab aku. Ini dimana? Katanya kita akan ke rumah?" tanya Gwen berkilat
marah lalu mendekatiku yang sedang duduk di sofa berbentuk L ini.
Aku
hanya tersenyum simpul lalu menarik kedua tangan Gwen hingga dia duduk di atas
pangkuanku.
"Kyaa! Andrew kau ini apa-apaan huh?!" protes Gwen dan berniat untuk
berdiri. Tak kalah cepat dengannya, aku semakin kuat mendekap pinggangnya,
memenjarakan tubuh kecilnya itu ke dalam pelukanku.
"Sebaiknya
aku pergi saja, daaa Alpha, daa Luna." pamit Sophie seraya melambaikan
tangannya dan berlari seperti anak kecil yang bahagia.
"Alpha?"
tanya Gwen dengan raut wajahnya yang bingung.
"Ya
Luna, ada apa hm?" jawabku lembut lalu tanpa sadar, sedikit dorongan dari
Gary, serigala sialan itu, aku mencium bibir Gwen sekilas. Anehnya dia tidak
sadar dengan apa yang barusan ku perbuat.
"Sebentar,
apa itu Alpha? Bukankah itu salah satu lambang fisika seperti huruf 'a'
kecil yang miring?" tanya dia lagi sampai membuatku terkekeh pelan.
"Ya
begitulah sayang.." Aku menjawabnya dengan cengingisan. Memang tidak
menyalahkannya, dia manusia biasa. Tidak tahu perihal sejarah werewolf.
"Kalau
begitu, ada Beta dan Omega juga ya?" tanya Gwen. Aku tak dapat menahan
tawaku lagi, bahkan Gary di dalam sana sudah tertawa terbahak-bahak mendengar
pertanyaan polos dari Mate kami ini.
"Andrew,
jangan tertawa! Ini tidak lucu tau!" gerutunya membuatku gemas dua kali
lipat.
"Ya
tentu saja ada sayang. Dan kau, adalah Luna-ku." balasku lalu mengecup
bibirnya lagi.
Dia
mengerjapkan matanya lucu lalu memukul dadaku keras, "Aku bukan Luna, aku
Gwen!"
"Aww,"
Ini
bukan ringisanku, tetapi Gwen yang malah menahan sakit di tangannya saat
memukul dadaku tadi.
"Kau
ini terbuat dari besi kali ya? Aduhh tanganku.." Gwen kembali meringis
kesakitan sambil memegang tangannya. Berinisiatif sendiri aku meraih kepalan
tangannya lalu mengusapnya seakan ingin menghilangkan kesakitan di tangannya.
"Ini
waktu yang tepat, Drew. Klaim dia sekarang!" teriak Gary dalam tubuhku
dan hendak ingin keluar. Dia ingin mengambil alih tubuhku dan akan meng-klaim
Gwen. Demi Tuhan! Dia serigala, tidak akan ku biarkan dia bertindak kasar pada
Gwen.
"Belum
saatnya, Gary. Maaf."
Dengan
sekuat tenaga, aku mengunci Gary lagi hingga ia tidak bisa berontak. Aku dan
Gary memang saling bertolak belakang. Terkadang aku benci kenapa aku punya
serigala seperti dirinya dalam tubuhku.
"Kau
pasti lapar, ayo makan." Aku menggendong tubuh Gwen yang tepat di atas
pangkuanku dengan mudah.
"Aku
bisa jalan sendiri, Drew. Turunkan aku." katanya kesal dan berontak ingin
dilepaskan.
"Tidak
mau." jawabku singkat. Gwen membuang nafas kesal lalu akhirnya dia diam
juga dalam gendonganku.
"Apakah
aku lagi di dalam cerita fairy tale? Kenapa aku seperti berada di
istana?" katanya terus memperhatikan setiap sudut rumahku. Benar apa
kataku tadi kan?
"Ini
bukan istana, ini rumahmu sayang." jawabku lembut. Dia memandangiku kaget.
"Hah?
Maksudmu? Ini bukan rumahku. Aku kan tadi.."
"Malam
Alpha, malam Luna.."
Perkataan
Gwen terpotong karena salah satu omega di rumahku menyapa kami sopan. Aku
mengulum senyum saat melihat Gwen marah dan hendak berteriak.
"AKU
BUKAN LUNA !!!!" teriaknya keras hingga bisa membuat telingaku berdengung.
Begitu pula dengan omega itu, dia sangat terkejut dan meminta maaf lalu pergi
meninggalkan kami.
"Sayang,
sudahlah jangan marah begitu."
"TURUNKAN
AKU!!!" teriaknya lagi.
"Oke
oke."
Kini
aku menurut padanya lalu menurunkan tubuh mungilnya dengan sedikit tak rela.
Tetapi mau bagaimana lagi toh kami sudah sampai di ruang makan. Hehehe.
"Hai-
"Jangan
panggil dia Luna, Soph. Dia akan marah." ucapku pada Sophie yang sudah
duduk rapi di kursi meja makan. Aku berbicara dengannya melalui mindlink
yang saling terhubung antar werewolf suatu pack.
"Oh
oke." jawab Sophie.
"Duduklah
sayang, kita makan." Aku menarik kursi untuknya tetapi dia menolak.
"Aku
mau pulang!" ucapnya lantang. Aku menggeram marah lalu menarik lengannya
supaya duduk. Seluruh pelayan dan Sophie terkejut mendengar geramanku barusan
karena mereka tahu itu bukan aku, melainkan Gary.
"Andrew,
kau menyakitiku.." ucapnya sendu lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Seketika hatiku terbesit rasa bersalah.
"Drew,
jangan terlalu kasar padanya. Aku mohon."
Sophie
berbicara lagi melalui pikiranku, aku hanya mengangguk dan melepaskan tanganku
dari lengannya.
Aku
menghela dan menghembuskan nafas supaya emosiku turun, aku sangat kesal jika
mendengar ucapannya yang seolah ingin pergi dariku. Aku tidak mau mendengar hal
semacam itu.
"Makanlah
sayang, jangan membantah." titahku pada Gwen yang masih belum memegang
sendok makannya.
"Sayang," panggilku. Dia mendongak, wajahnya seperti ingin menangis.
"Astaga,
Mate-ku, ku mohon jangan menangis sayang, hatiku sakit melihatmu begini." Gary
berbicara kembali di dalam pikiranku, dia berhasil rupanya membuka kunci
tubuhku tadi.
"Mau
ku suapi? Ini aaaaa.." Aku menyuapkan sesendok makananku ke mulutnya.
Awalnya dia menjauhi wajahnya tetapi aku terus menyodorkan sendokku sehingga
dia terpaksa memakan makanan itu.
"Lagi,
ini.."
"Aku
bisa sendiri Drew." Gwen mulai melahap makanan di depannya walaupun
sedikit mengernyit enggan.
Sophie
melihat tingkah kami dengan senyum riangnya yang khas lalu dia juga melahap
makanan itu. Setelah beberapa saat hening, Gwen mulai mengajak Sophie mengobrol
dan kini mereka sedang berbicara hebat tentang film-film animasi. Aku tidak mau
mengganggu moment ini karena aku sangat puas saat melihat wajah Gwen yang
sedang tertawa itu.
"Alpha,"
Tiba-tiba
terdengar suara Devan berbicara padaku melalui mindlink.
"Ada
apa, Dev? Sudah beres?"
"Sudah
Alpha. Dan yang mengejutkan, ini tidak ada hubungannya dengan Damian. Dia
bersih dari penyerangan ini." jawab Devan dengan suara datarnya yang
tegas itu.
"Sungguh
mengejutkan, jadi ada apa kau memanggilku?"
"Saya
diberitahu oleh Beta-nya Tuan Damian, kata dia, mereka akan mengunjungi Alpha
besok." Aku tercenung sebentar, teman lama huh?
"Kabarkan
pada mereka, kita akan menyambutnya dengan senang hati."
"Baik
Alpha."
Percakapan
kami pun berakhir. Ada apa lagi Damian? Tidak cukupkah kau membunuh Kakak
perempuanku dua tahun lalu?
Setiap
mengingat Clair, aku pasti merasa sedih dan gelisah. Memang bukan Damian yang
membunuhnya secara langsung, tapi dia menyuruh sekumpulan Rogues untuk
menyerang Clair saat dia lengah, Clair sendirian saat itu. Dan bodohnya aku
tidak menyadari panggilan darinya karena aku sedang mabuk berat. Aku frustasi
karena 8 tahun lamanya aku mencari sosok Mate-ku tetapi belum ku temukan.
Maafkan
aku, Clair. Maafkan aku.
Sudah
lama, pack-ku dengan pack Damian mengalami perang dingin. Padahal waktu itu
Damian dan aku bisa dikatakan sangat dekat. Orang tua kami pun dekat dan saling
berkunjung satu sama lain agar lebih mendekatkan diri antar pack. Saat pack
kami bersatu, pack kami lah yang terkuat. Tidak ada yang bisa mengalahkan kami.
Tapi
semuanya berubah hanya karena satu masalah.
Wanita.
Memang
benar ungkapan kata kalau Wanita adalah racun dunia. Itu benar. Karena satu
wanita, persahabatanku dengan Damian pudar.
Wanita
sialan itu mengaku sebagai Mate-ku pada moment pesta ulang tahun Damian ke- 19
tahun. Padahal nyatanya wanita itu adalah Mate Damian. Berkali-kali dia me-reject
Damian sebagai Mate-nya, karena dia ingin menjadi Mate-ku. Bahkan dia
pernah menelanjangi dirinya sendiri di depanku dengan menyeret tubuhku ke salah
satu kamar di rumah Damian. Menggerayangi tubuhku persis seperti pelacur ulung.
Menjijikkan!
Sialan.
Sungguh aku sangat kesal dan marah waktu itu. Jadi ku biarkan Gary yang
mengambil alih dan keesokan harinya, wanita sialan itu tidak ada lagi di Bumi
ini.
Ya aku tidak
menyesal membunuh wanita itu, tetapi yang aku sesali pada saat itu ialah Damian
membenciku setengah mati. Dia bersumpah akan membunuh Mate-ku suatu hari nanti.
Itulah
yang membuatku sedikit ketar ketir sekarang. Apalagi Damian sudah tahu mengenai
Gwen. Aku dan Gary tidak akan membiarkan dia membunuh Gwen. Tidak akan! Bahkan
aku berani mempertaruhkan nyawaku untuk melindungi gadisku. Mate-ku. MINE !!!
Mungkin
ini bakal menjadi pertarungan sengit antar kedua pack tapi aku tak peduli, aku
harus melindungi gadisku. Harus.
"My
Mate, My Soul."
PART 6
Playlist now:
Yoon Mi Rae - Touch Love (Ost.Master's Sun)
*****
Gwen's POV
"Andrew?"
Aku
melambaikan tanganku beberapa kali ke depan wajah Andrew yang sedang melamun.
Terlihat dari sorot mata Andrew yang menerawang jauh, sepertinya dia sedang
berpikir serius atau malah seperti mengingat sesuatu.
Andrew
menggelengkan kepalanya berulang kali dan akhirnya tatapan matanya fokus
padaku, "Eh kenapa sayang?"
"Aku
sudah selesai makan dan Sophie tadi sudah kembali ke kamarnya." jawabku.
Dia mengangguk dan tersenyum bersamaan lalu meminum segelas air di depannya.
"Aku
juga sudah, ayo." Andrew kembali meraih tanganku dan kami pun berjalan
menjauh dari ruang makan.
Waw,
aku akui, baru pertama kali ini aku masuk ke dalam rumah sebesar ini. Seperti
berada di dalam Gedung Hogwarts di film berseries Harry Potter. Tetapi lainnya,
ini kastil lebih modern dari Hogwarts. Arsitektur dan dekorasinya seperti
gedung-gedung mewah berbintang 5.
"Kita
mau kemana? Bisa antarkan aku pulang?" tanyaku lagi saat kami berjalan di
salah satu koridor istana ini.
Banyak
wanita-wanita paruh baya yang berpakaian sama seperti pelayan berseliweran
dimana-mana. Mereka menunduk dan memberi hormat saat kami lewat. Ada apa sih?
Aneh sekali.
"Pulang
kemana sayang? Ini rumahmu. Masuklah." katanya saat kami tepat berada di
depan pintu kamar. Kamar ini adalah tempat pertama yang aku lihat saat aku
terbangun dari tidur tadi.
Andrew
membuka pintu kamar itu dan sedikit mendorong tubuhku untuk masuk. Tak lama
kemudian, Andrew juga masuk dan mengunci pintu itu dari dalam.
"Eh,
kenapa dikunci?!" Aku panik dan segera memburu pintu tetapi tubuhku
langsung ditangkap oleh badan Andrew yang besar itu.
"Tidak
apa-apa, Gwen. Tidurlah ini sudah malam, sebelum itu kau harus mandi dulu.
Pasti tubuhmu gerah kan." ucapnya seraya mengelus pipi kananku dengan
jari-jarinya
Aku
menelan ludah dengan susah payah, ini bahaya! Alarm di otakku berbunyi keras
pertanda kondisi ini DANGER ! Aku pun melepaskan tangan Andrew yang berada di
pinggangku, "Drew, sebaiknya aku-
"Jangan
membantah, sayang. Aku tidak suka penolakan."
Belum
sempat aku selesai bicara, Andrew kembali memotong. Aku baru tahu kalau dia
pemaksa juga orangnya.
"Aku
tidak bawa baju ganti, Drew. Jadi sebaiknya aku pulang saja malam ini."
Andrew
menarik tanganku tanpa bicara apapun, sepertinya kami sedang menuju walk in
closet di kamarnya.
"Lihat."
ucap Andrew saat membuka salah satu pintu lemari baju di dalamnya.
Wow!
Semua
pakaian lengkap untuk wanita, dimulai dari pakaian dalam, baju kaos oblong,
gaun, dress rumahan, sepan jeans, dan lain sebagainya. Semuanya ada. Mataku
hanya tercengang melihat isi di dalam lemari itu.
"Kata
siapa tidak ada baju ganti?" Andrew menaikkan kedua alisnya padaku.
Aku
mendengus, "Ini punya siapa?"
"Punyamu
sayang, semua ini punyamu. Nah ambil ini, lalu pergilah ke kamar mandi."
jawabnya sembari menyerahkan satu set pakaian tidur berwarna biru muda tak lupa
dengan pakaian dalamnya.
"KYAAA
! Kau ini kenapa tidak ada malunya saat memegang itu!?" teriakku langsung
merebut satu set pakaian itu dari kedua tangannya. Andrew hanya tertawa tak
jelas.
Pria ini
semakin ditolak semakin bertindak. Kurasa aku tidak bisa melawan sikap
otoriternya yang mengerikan itu. Huh. Dengan cepat, aku pun pergi ke dalam
kamar mandi yang masih berada di dalam kamar super mewah ini.
Astaga
Tuhan! Besar kamar mandi ini saja lebih besar daripada kamarku di rumah.
Rasanya sangat disayangkan kalau kamar mandi ini di gunakan untuk mandi.
Enaknya buat tidur nih.
Tak
lupa untuk mengunci pintu kamar mandi, buat antisipasi kalau saja Andrew berani
masuk saat aku telanjang, bagaimana? Jadi lebih baik aku awas diri saja kan.
Haha.
Setelah
menanggalkan semua pakaianku, aku pun berendam di dalam bath tub dengan
air hangat yang sudah di siapkan entah oleh siapa. Wah kapan lagi coba aku
begini?
Nyamannya~~
Ditambah wangi aroma terapi membuat pikiranku tenang dan segar. Otot-otot di
dalam tubuhku rileks dan...
Tok
Tok
"Sayang,
kenapa lama sekali!? Kau sudah 30 menit di dalam sana! Keluarlah sebelum pintu
ini ku dobrak!"
Terdengar
teriakan Andrew dari luar. Hah? Tidak mungkin aku sudah setengah jam berendam!?
Wew tak terasa.
"Iyaiya,
tunggu sebentar!" jawabku lalu membasuh seluruh tubuhku di bawah shower.
Cepat-cepat aku mengeringkan tubuhku dengan handuk lalu memakai baju tidur biru
muda ini.
Setelah
selesai, aku pun keluar dari kamar mandi dan Andrew tepat berada di depan
pintu. Tubuhnya bertumpu pada dinding kamar, menatapku marah.
"Kenapa
lama sekali!? Kau tahu, aku cemas padamu!" bentaknya. Aku menunduk, aku
paling takut kalau sudah dibentak oleh laki-laki. Serius. Lagipula kenapa
dengan Andrew, padahal aku cuma mandi.
Tiba-tiba
dia memeluk tubuhku erat, sangat erat. Seperti takut kalau aku menghilang.
Aneh, dia sangat aneh.
"Andrew?"
panggilku.
"Jangan
tinggalkan aku, kumohon.." Andrew lebih mengencangkan pelukannya, seakan
dia ingin meremukkan tulang-tulangku. Bahkan sekarang kaki-ku tidak lagi
menginjak lantai. Tubuhku terangkat.
"Drew,
aku tidak bisa bernafas.." keluhku sesak. Andrew merenggangkan pelukannya
tetapi tidak melepaskan tubuhku.
"Berjanjilah
Gwen Collins, berjanjilah jangan tinggalkan aku.." ucapnya seraya mencium
rambutku.
Eh,
Gwen Collins? NO! My name's Gwen Stacy, not Gwen Collins!!
"Hey
jangan sembarangan mengubah marga keluarga! Arghh!!!"
Mendadak
aku merasakan sakit dan panas bersamaan saat Andrew menggigit leherku. Aku
merasa akibat gigitan Andrew tadi, ada darah yang keluar. Andrew pun segera
membersihkan darah itu. Setelah dia menjilatnya, tak lama kemudian, dia
menurunkan tubuhku hingga aku berpijak lagi di lantai.
"Kau
ini kenapa menggigit leherku?! Apa kau kanibal huh?" tanyaku garang sambil
mengusap bagian leherku yang digigit oleh Andrew tadi. Ughh nyeri..
"Tidak
apa-apa sayang, sudah aku mandi dulu. Tidurlah duluan." ucap Andrew
lembut.
Good!
Bahkan dia tidak meminta maaf atas perlakuannya tadi. Setelah Andrew mengecup
pipi kananku, dia masuk ke dalam kamar mandi seraya bersenandung ria.
Sepertinya dia sangat senang setelah menggigitku tadi. Dasar kanibal!
Bukannya
naik ke atas tempat tidur, aku berjalan menuju pintu keluar. Ya Tuhan, aku lupa
kalau pintu kamar di kunci. Terus tidak ada kunci yang menggantung di sana. Apa
Andrew yang menyembunyikannya? Tetapi dimana!? Ini juga sudah pukul 10 malam,
terlalu malam kalau aku harus kabur. Yasudah aku menyerah. Hanya untuk malam
ini!
Aku pun
berbaring di atas sofa empuk berwarna coklat tua yang berada di dekat ranjang
tidur Andrew. Tidak mungkin aku tidur bersamanya, sama saja aku menyerahkan
diri secara sukarela kan!? Lagipula sofa ini enak juga untuk dibuat tidur.
Tidak butuh waktu lama, aku pun tertidur.
******
Andrew's POV
Rasanya
aku ingin meledak. Senangnya bukan main, apalagi Gary. Serigala hitam itu
tengah terlonjak kegirangan dan mengaum tak karuan. Ya, aku berhasil mengklaim
Gwen menjadi Mate kami. Semua werewolf tahu kalau tanda dilehernya itu ada
tanda dariku. Setidaknya aku sudah menjauhkan dia dari un-mated
wolf yang berkeliaran diluar sana.
Walaupun
satu sesi lagi untuk menjadikan Gwen seutuhnya milikku tetapi yang itu nanti
saja, tunggu dia siap. Jika tiba masanya, Gwen pasti akan jadi milikku.
Sepenuhnya.
Setelah
mandi, aku pun keluar dari kamar dan mendapati gadis mungilku itu sedang
meringkuk seperti janin di atas sofa. Emosiku naik ke ubun-ubun, kenapa dia
tidur di sofa!! Kenapa tidak di atas tempat tidur saja!?
Segera
aku mengangkat tubuh ringan ini ke atas tempat tidur dengan hati-hati supaya
dia tidak terbangun. Ku sibakkan selimutku di atas tubuhnya agar dia merasa
hangat. Ya walaupun itu tidak perlu jika aku memeluknya, pasti dia juga cukup
merasa hangat dengan tubuhku.
Aku
hanya memakai boxer yang tak terlalu ketat tanpa kaos ataupun baju untuk
menutupi dadaku. Aku memang tidur selalu bertelanjang dada karena menurutku itu
nyaman dan tak gerah. Lalu aku pun ikut masuk ke dalam selimut dan memeluk
tubuh Gwen erat. Tak di duga, dia juga merespon tubuhku dan memeluk perutku.
Mungkin di kiranya aku ini bantal guling kali ya.
Gadis
kecilku, kau begitu cantik. Beruntungnya aku bisa mendapatkan Mate sepertimu.
Terimakasih Moon Goddes.
"Drew,
ucapkan selamat tidur pada Mate kita dan kecup bibirnya untukku." suruh
Gary padaku.
Tanpa
kau perintahkan pun aku pasti melakukan itu Gary.
"Selamat
tidur sayang, semoga mimpimu indah. Iloveyou." bisikku pelan tepat
di depan telinganya. Setelah itu aku mengecup dahinya, kedua matanya, kedua
pipi gembulnya, hidung dan terakhir bibir ranumnya yang berwarna peach itu.
"Eungh.."
Dia melenguh tetapi tak terbangun. Malah lebih memeluk perutku kuat,
membenamkan wajahnya ke depan dadaku. Ternyata kalau lagi tidur, gadisku manja
juga. Senangnya aku.
~~~~~~
"KYAAAAA!!!!"
Aku
terbangun dari tidurku setelah mendengar teriakan dari seorang gadis cantik di
sampingku. Aku membuka mataku berat dan dengan cepat menarik tubuh gadis mungil
itu kembali ke dalan pelukanku.
"A..Andrew..
Kenapa kau tidur denganku!? Bukannya aku tidur di sofa semalam?!"
rengutnya sembari berusaha melepaskan diri dari pelukanku.
Tak
semudah itu sayang, kekuatanmu tidak ada apa-apanya dibanding denganku. Aku pun
kembali menguatkan pelukanku, mengunci kedua kakinya yang berontak dengan
kaki-ku. Sehingga dia benar-benar terkunci di dalam tubuhku. Tak bisa bergerak.
"Lepaskan
aku.." katanya pelan karena suaranya teredam oleh dadaku. Dia tidak
berontak lagi dan tubuhnya sudah lemas sekarang.
"Akan
kulepaskan tetapi ada syaratnya sayang." jawabku. Dia menjauhkan kepalanya
lalu mendongak ke atas.
"KISS
HER, DREW!! KISS HER!!"
Gary
berteriak riang saat aku menatap lurus manik matanya yang berwarna coklat terang
itu. She's so beautiful. Aku menahan gejolak nafsu untuk mencium,
melumat dan menghabiskan bibirnya itu. Mungkin nanti dia akan lebih mengamuk.
"Apa
syaratnya?" tanya Gwen polos. Aku tersenyum menggoda dan dia langsung
mengerutkan dahinya lucu.
"Sebuah
kecupan morning kiss yang romantis untukku."
Gwen terkesiap mendengar kata 'morning kiss' tadi dan hendak protes, tetapi bibir sexy itu ku tutup pakai jariku.
"Kalau
menolak, tidak akan ku biarkan kabur." Aku pun mendekap tubuhnya lebih
erat lagi.
"Andrew,
aku sesak nafas, lepas!!" berontaknya dan kakinya berusaha menendang
tubuhku. Tak kalah cepat aku mengunci lagi kakinya sehingga tak bisa bergerak.
"Tidak
apa-apa kalau kita seperti ini seharian, tidak masalah malahan aku
senang." ucapku sambil cengingisan.
"Oke
oke baiklah, lepas dulu baru morning kiss kuberikan." kata Gwen
pasrah. Aku sedikit merenggangkan pelukanku sehingga dia bisa sedikit mundur ke
belakang.
Chup
Gwen
mengecup bibirku sekilas saat aku tak sadar. Tunggu, kapan dia menciumku!?
"Ulangi,
aku tidak sadar." kataku. Gwen merengut dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak
mau, tadi sudah.. Mmphh!"
Aku
tak tahan lagi, lantas aku meraup bibir mungilnya itu dengan cepat. Melumat dan
menggigit pelan bibir manisnya itu. Sebelum dia mengamuk, aku melepaskan
bibirnya lalu berlari menuju kamar mandi.
"ANDREEEEEWWWWWWW!!!"
Hahahaha,
apa kubilang? Gadisku marah.
~~~~
"Alpha,
Damian sudah datang." ujar Devan, Beta-ku saat aku menemani Sophie dan
Gwen bermain di taman belakang.
"Oke,
Dev. Sebaiknya kau juga memanggilnya Alpha kalau lagi di depannya. Kita tidak
mau ada perkelahian disini bukan?"
"Baik,
Alpha." jawab Devan sopan lalu meninggalkan kami bertiga. Jangan sampai
Damian melihat wajah Gwen sekarang.
"Andrew,
memangnya siapa yang datang?" tanya gadis cantikku ini. Dia sudah memetik
beberapa buah strawberry di keranjangnya. Aku membuka mulutku seolah
ingin minta disuapi. Ternyata gadisku mengerti dan dengan senang hati menyuapi strawberry
ke dalam mulutku. Ughhh jarinya manis sekali...
"Kerabat
dekat sayang, sebaiknya kau disini saja bermain dengan Sophie hemm?" Aku
mencium pipi kanan dan kiri Gwen bergantian. Tersirat semburat merah langsung
merekah di pipi indahnya itu.
"Wah
manis sekali, Drew. Seandainya aku punya Mate sekarang."
'GGGOURRRRRRR'
Gary
meraung keras saat aku mendengar suara berat yang tak asing bagiku, Damian.
"Damian."
"Lama
tak jumpa, Drew."
PART 7
Terdengar
bunyi decitan mobil range rover putih milik Damian di depan pagar raksasa
SilverMoonPack, pack saingannya selama 7 tahun. Perang dingin antar pack itu
dimulai dengan terbunuhnya Mate-nya, belahan jiwa Damian karena ulah sahabatnya
sendiri.
Ya
Andrew, begitu kejamnya dia merobek-robek tubuh telanjang Sheila pada hari
ulang tahunnya ke-19 tahun. Sampai detik ini pun, dendam dan sakit hati masih
ada di hati Damian. Secara tidak langsung, Andrew-lah yang membuat dia menjadi unmated
wolf sekarang. Dan sampai detik ini juga, Damian tidak tahu alasan Andrew
kenapa tega membunuh Mate-nya. Yang dia tahu hanyalah satu, Andrew membunuh
Sheila. Hanya itu.
"Selamat
datang, Alpha Damian." sapa salah satu penjaga gerbang istana besar itu
dengan sopan membukakan pintu mobil Damian.
Ya
walaupun antara SilverMoonPack dan BlackMoonPack terjadi perang dingin tetapi
di antara keduanya masih terjalin hubungan cukup erat. Hanya pemimpin mereka
saja yang tidak saling menyapa selama 7 tahun ini.
Damian
tersenyum miring dan melepaskan rayban hitam miliknya lalu turun dari
mobil. Baru menginjakkan satu kakinya, tiba-tiba dia merasa aneh. Tubuhnya
bergetar hebat, detak jantungnya berdegup kencang, semerbak wangi Strawberry
menusuk indra penciumannya, dan dia merasa Sam, wolf di dalam
dirinya ingin berteriak kencang.
"Aaaaauuuuuuuuuuuuu.."
Terdengar
Sam mengaum kencang membuat kepala Damian berdenyut nyeri. Setelah itu, wolf putih miliknya kembali diam, tak berbicara
apapun. Setelah kematian Sheila, Sam terlihat murung dan pendiam. Bahkan antara
Sam dan Damian jarang berkomunikasi. Mereka seperti berada di dunia berbeda
tetapi berada dalam satu tubuh yang sama.
Kini,
Sam kembali mengaum kencang, mau tak mau Damian mengeluh karena kepalanya
merasa nyeri yang lebih hebat.
"Ada
apa, Sam? Sudah lama sekali kau tidak begini." tanya Damian pada
wolf-nya. Kembali terdengar Sam menggeram.
"Tidak
apa, aku hanya merasa aneh. Aku merasa ada kekasihku disini." jawab
Sam sedih.
Damian
tidak menjawab dan hanya berfikir keras. Tak dipungkiri, Damian juga merasa
aneh. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, reaksi tubuhnya seperti reaksi
seorang werewolf bertemu dengan belahan jiwanya, Mate-nya. Tetapi ini tidak
mungkin, sekian lama dia ditinggal mati oleh Mate sejatinya, Sheila, tidak
mungkin kan dia mempunyai dua Mate. Impossible, batin Damian.
"Ada
apa, Alpha?" tegur Lucas, Beta si Damian. Dia merasa ada yang berbeda dari
sosok Damian.
"Tidak
ada, Luc." jawabnya tenang seperti biasa. Mereka berdua berjalan menuju
pintu utama dan sudah terlihat Devan, Beta dari SilverMoonPack, sudah menyambut
kedatangan beliau di depan pintu istana besar itu.
"Selamat
datang, Alpha Damian." sapaan yang sama kembali didengar. Damian mengangguk
dan tersenyum sarkatis.
"Dimana
Alpha-mu, Dev? Aku ingin menyapanya." tanya Damian.
Devan
mengernyitkan dahinya, tersirat rasa tersinggung jika Alpha Pack-nya di ejek
seperti ini. Tetapi rasa itu di pendamnya dalam-dalam, mengingat kata Andrew,
jangan memancing perkelahian disini.
Ketahuilah,
Damian sangat berbeda saat bertarung. Sisi wolf nya yang ganas dan brutal tidak
bisa dikalahkan, sama kuatnya dengan wolf Andrew, Gary. Jika Gary dan Sam
bertarung, tidak akan berhenti kalau salah satu mereka tidak ada yang mati.
Mengingat
kembali perkelahian antara Gary dan Sam waktu 7 tahun lalu, saat Damian
menyaksikan dengan kedua matanya sendiri, Gary tengah merobek-robek tubuh
Sheila seakan daging itu tak berharga sama sekali. Detik itu juga, Sam
mengambil alih tubuh Damian.
Awalnya,
Gary mundur dan berbicara melalu mindlink pada Sam, apa yang terjadi
sebenarnya waktu itu. Tetapi Sam sudah lupa diri, menggigit badan Gary dan
menggoreskan kuku tajamnya itu ke dalam tubuhnya, hingga tubuhnya mengeluarkan
darah segar yang banyak. Jika Gary tak melawan saat itu, mungkin SilverMoonPack
tidak ada Alpha sekarang.
Ya,
mereka bertarung. Sangat brutal dan ganas. Tak peduli dengan darah mereka yang
bercucuran, tulang-tulang yang patah dan sebagainya. Mereka pun akhirnya berhenti
saat keduanya sekarat, sama-sama tidak bisa bergerak lagi. Berdiri saja tidak
bisa.
Sejak
saat itu, mereka berdua tidak saling menyapa, tidak saling berkomunikasi,
memutuskan mindlink mereka dan tidak pernah bertemu. Jika ada pertemuan
atau kerja sama antar pack, pasti Devan dan Lucas yang menggantikan.
Ingat
satu hal, jangan memancing amarah Wolf. Karena jika dia sudah marah, tiada
ampun bagimu.
"Saya
panggilkan Alpha Andrew sekarang,"
"Tidak,
Dev. Aku tahu dimana dia."
"Ba..baiklah,
Alpha."
Damian
menahan tubuh Devan yang ingin pergi memanggil Andrew lalu dia berjalan
mengikuti aroma tubuh Strawberry menyengat ini.
"Kau
mencium itu? Strawberry.. Sangat manis.."
Damian
kembali dikejutkan oleh suara Sam. Ya, dia juga tahu. Tetapi dia ingin memastikan
sendiri, ada apa gerangan dengan tanda-tanda ini.
Langkah
kakinya berhenti tepat di depan pintu keluar dan menghadap langsung ke taman
belakang Andrew yang luas. Terdapat beberapa bunga-bunga dan lebih jauh lagi,
terdapat kebun Strawberry yang lagi berbuah lebat.
DEG!
Detakan
jantung Damian kembali berpacu kencang. Tubuhnya bergetar hebat dan matanya
kini membulat besar tak percaya saat melihat seorang gadis cantik tengah asyik
memetik Strawberry. Cantik sekali seperti bidadari, batinnya.
"MATE
!!!!! Kekasihku !!!!! MATE MATE !!!" seru Sam.
"Mate?
Tidak mungkin, Sam!" tolak Damian tegas. Dia masih merasa aneh, tidak
mungkin seorang wolf mempunyai dua Mate. Apa maksud Moon Goddes?
"Aku
tidak tahu maksudnya apa, tetapi gadis itu benar-benar Mate kita, Damian. Aku
bisa merasakannya!" sahut Sam menimpali. Damian menggelengkan
kepalanya berulang kali, berencana menolak pikiran Sam.
"Klaim
dia sekarang, kumohon. Dia kekasihku, Damian! Dia mate-ku."
Sial!
Umpat Damian dalam hati saat dia melihat gadis itu menyuapi Andrew dengan buah Strawberry
di tangannya. Warna matanya kini berubah menjadi orange tua, warna
Wolf-nya. Rasanya saat ini dia ingin mencabik-cabik tubuh Andrew yang berani
menyentuh bahkan mencium pipi gadisnya itu.
"Jika
dia memang bukan Mate kita, kenapa kau cemburu melihatnya dengan Andrew?
Akuilah, kau juga merasakan itu kan?" ucap Sam meyakinkan Damian kalau
benar-benar gadia itu adalah Mate-nya.
Damian
akhirnya tersenyum, "Baiklah, Sam.
Mari kita sapa Mate kita."
Damian
berjalan mendekati ketiga orang yang berada di kebun itu, satunya dia tahu
kalau itu Sophie, adik kecil Andrew.
"Wah
manis sekali, Drew. Seandainya aku punya Mate sekarang." ucap Damian
membuat ketiga orang itu menoleh bersamaan ke arahnya.
Terlihat
Andrew menggeram keras dan iris matanya berubah warna. Dia tahu kalau Gary
tengah marah saat ini.
Damian
menyapukan pandangannya ke wajah gadis cantik yang lagi memegang keranjang buah
ditangannya. Gadis itu tidak tersenyum dan tidak pula cemberut melihatnya.
Hanya muka polos.
"KEKASIHKU!
DIA MATE-KU!!!" seru Sam kembali mengaum di pikirannya. Damian
tersenyum, bukan licik ataupun mengejek, dia tersenyum tulus pada gadis itu,
Gwen.
"Damian."
panggil Andrew lirih.
"Lama
tak jumpa, Drew." balas Damian. Lalu tanpa izin Andrew, Damian meraih
tangan kanan Gwen dan mencium punggung tangan Gwen. Gwen tercengang, tubuhnya
menegang.
"Kau
cantik sekali. Sangat." ucap Damian lembut. Gwen yang merasa dipuji
seperti itu hanya tersenyum hambar.
"Terima
kasih." ucap Gwen. Andrew yang melihatnya terbakar cemburu. Matanya
berkilat marah dan rahangnya mengatup rapat. Dia merebut tangan Gwen yang masih
setia digenggam oleh Damian.
"Ada
apa kau kesini?!" gertak Andrew marah. Dia menatap mata Damian tajam
seakan ingin mengatakan, 'JANGAN SENTUH MATE-KU'.
"Aku
hanya ingin bertemu seseorang." jawab Damian tenang tetapi tatapannya
tidak lepas dari Gwen. Gwen hanya menatapnya bingung, kenapa pria ini
memandangiku seperti aku makanan lezat? Batinnya.
Andrew
melihatnya bertambah gusar dan dia mencium pipi kanan Gwen, membuat Damian
menggeram marah apalagi Sam, wolf-nya kini ingin mengambil alih tubuhnya.
Tetapi Damian menahan sekuat tenaga agar Sam tidak keluar.
"Sayang,
bisakah kau kembali ke dalam bersama Sophie? Aku ada urusan." ucap Andrew
lembut sambil mengelus pipi Gwen. Damian kembali menahan Sam yang ingin keluar
sekarang juga, Wolf itu tidak mau kalau Mate-nya di sentuh oleh orang lain.
"Bolehkah
aku pulang saja? Aku mau kuliah, Drew." jawab Gwen ketus.
"Tidak.
Sekarang masuk dulu, cepat!" tegas Andrew. Dia memanggil Sophie yang tak
jauh dari mereka untuk mendekat.
"Soph,
tolong kau bawa Gwen ke dalam kamar." perintah Andrew tegas.
Belum
Sophie menjawab perintah kakaknya itu, Gwen menghentakkan kakinya berulang kali
ke tanah dan berjalan duluan ke dalam tanpa Sophie. Bahkan dia tidak sadar saat
dia melewati Damian, Damian membisikkan sesuatu padanya. Damian mengatakan 'Mine'
dengan suara pelan.
Sophie
menggelengkan kepalanya melihat tingkah Gwen seperti anak kecil, bahkan kalau
di bandingkan Sophie-lah yang terlihat lebih dewasa dari Gwen. Pada akhirnya,
Sophie berjalan menyusul ke dalam rumahnya. Sebelum itu, gadis berumur 10 tahun
ini berhenti saat melewati Andrew dan Damian.
"Kalian
tahu? Aroma kalian bertiga sama dihidungku. Kau, Gwen dan Andrew." tunjuk
Sophie ke arah Damian, Gwen yang sudah masuk ke dalam rumah, dan yang terakhir
ke arah Andrew.
Pria
itu bingung dengan perkataan adiknya barusan. Maksudnya apa?
Sebaliknya,
Damian malah tersenyum lebar mendengar ucapan Sophie barusan. Berarti benar
adanya kalau Gwen adalah Mate-nya. Apa maksud Moon Goddes mengatur semua ini??
Setelah
Sophie menghilang, Andrew kembali emosi mengingat Damian yang berani mencium
tangan Gwen tadi. Dia merengkuh kerah baju Damian, menantangnya dengan tatapan
tajam.
"Apa
maksudmu tadi hah!? Jangan sentuh Mate-ku!!" bentak Andrew menarik kerah
baju Damian lebih kuat. Damian mendorong tubuh Andrew hingga terlepas.
"Jangan
egois, Drew. Aku hanya mencium tangannya, bukan kau yang-"
"CUKUP!"
potong Andrew. Dia sudah tahu apa kelanjutan ucapan Damian barusan. "Aku
tidak mau membahas itu lagi, Damian!" lanjutnya.
Damian
terkekeh, tidak disangka jika Andrew masih mengingat masa kelam itu.
"Kau
membunuh Mate-ku, Drew." balas Damian sarkatis. Andrew mulai marah, dia
menggeram keras dengan tone khas Alpha-nya. Siapapun yang berada disana pasti
tahu kalau Alpha mereka sedang marah sekarang.
"Dan
kau membunuh Clair!" tegas Andrew. Dia menahan Gary yang ingin keluar
sekarang.
"Bukan
aku, tapi rogue." jawab Damian tenang. Tenang tetapi licik. Ya, dia memang
menyuruh Rogue untuk membunuh Clair. Dan Andrew tahu jika Rogue itu adalah
tahanan penjara di Pack Damian selama beberapa tahun.
"Sialan
kau!" Andrew menghantam tangannya ke wajah mulus Damian. Kena telak!
Damian meringis sembari memegang rahangnya.
"Dan
kau tahu, aku akan merebut Gwen darimu. DIA MATE-KU !" bentak Damian dan
membalas pukulan Andrew.
"BRENGSEK
KAU, DAMIAN!!!"
~~~
"GGGGOORROUURRRRRR!!"
Sedetik
kemudian, mereka berdua berganti menjadi wujud asli mereka. Serigala. Bukan
serigala biasa, karena postur tubuh mereka 3x lipat dari itu. Ditambah lagi,
Andrew dan Damian adalah seorang Alpha sebuah Pack.
Serigala
berbulu hitam abu-abu milik Gary dan serigala berbulu putih bersih milik Sam.
Mereka berjalan memutar seakan ingin memulai pertarungan.
"GGRRRRR.."
Gary menggeram marah, gigi tajamnya kelihatan. Tak kalah dari Gary, Sam pun
begitu. Mereka terlihat tidak mau menahan diri lagi.
"ALPHAAA!!"
PART 8
"GGRRRRR.."
Gary menggeram marah, gigi tajamnya kelihatan. Tak kalah dari Gary, Sam pun
begitu. Mereka terlihat tidak mau menahan diri lagi.
"ALPHAAA!!"
Terdengar
teriakan Lucas dan Devan bersamaan tak membuat Alpha mereka berhenti bertarung.
Gary menggigit tubuh Sam dan Sam mencakar tubuh Gary. Keduanya berdarah.
Lucas dan
Devan, Beta mereka terlihat panik Keduanya memberanikan diri untuk mendekat
karena mereka tidak mau kalau kejadian 7 tahun lalu terulang kedua kalinya.
Tiba-tiba,
Sophie berlari ke arah Sam dan Gary yang tengah bertarung, di ikuti oleh
beberapa omega di belakangnya. Wajah Sophie pusat pasi dan dia menangis.
"ANDREW!!
GWEN JATUH DARI TANGGA, KEPALANYA PECAH!!" teriak Sophie kencang. Gadis
kecil ini menangis sejadi-jadinya. Dia bingung, panik dan sedih.
Sam dan Gary
berhenti mendadak. Keduanya mengaum sangat keras hingga terdengar beberapa
kilometers jauhnya. Pantas saja tadi mereka merasakan kepalanya sakit luar
biasa. Pikir mereka, itu hanya efek atas luka-luka bekas pertengkaran mereka.
Ternyata..
Kejadian begitu
cepat, saat Gwen berlari-lari menaiki tangga karena kesal dengan Andrew yang
tak memperbolehkan dia pulang ke rumahnya. Kakinya terpelintir dan terpeleset.
Tubuhnya hilang keseimbangan dan terjatuh begitu saja ke bawah. Sekitar 7 anak
tangga terlewati saat Gwen jatuh ke lantai, kepalanya terbentur dan berdarah.
Gadis itu pingsan seketika.
Sam dan Gary
tak peduli lagi dengan keadaan sekitar, mereka berdua masuk ke dalam rumah
besar itu dengan berlari cepat. Devan, Lucas, Sophie beserta omega-omega
menyusul ke belakangnya.
Seakan tak
peduli dengan luka-luka di tubuh mereka, Gary dan Sam terus berlari mencari
keberadaan Gwen di dalam rumah, menyusuri koridor-koridor sepi dan akhirnya
tiba di sebuah kamar. Kamar Andrew.
Gwen sudah
dibawa oleh beberapa dokter spesial SilverMoonPack yang dipanggil oleh Sophie
sebelum dia memanggil kakaknya. Kepalanya sudah di obati dan dibalut perban.
Tetapi Gwen masih belum sadar, wajahnya pucat pasi dan bibirnya kelu.
"Ggrrr..."
Gary menggeram pertanda menyuruh semua orang yang berada di dalam sana keluar.
Semua orang menurut dan keluar dari kamar tersebut kecuali Sophie dan Sam. Gary
kembali menggeram keras yang dibalas oleh geraman Sam pula.
"Cukup!
Tidakkah kalian berdua diam? Gwen sedang sekarat dan kalian masih sempat saja
bertengkar!" tegur Sophie. Gary akhirnya diam dan berjalan mendekati
ranjang yang ditempati Gwen. Serigala besar itu menjilati wajah Gwen dengan
sayang seakan ingin meminta maaf.
Sam ingin
mendekati Gwen tetapi tubuhnya ditahan oleh tangan mungil si Sophie, "Kamu
diluar saja, aku tidak mau lagi ada perkelahian disini," ucapnya.
Mau tak mau,
demi Mate-nya, Sam pun keluar dari kamar itu. Saat keluar, Lucas sudah
menyambutnya dan dia sudah membawa sepasang pakaian ganti untuk Damian. Tidak
mungkin kan, dia hanya memakai boxer saja nanti.
Berbeda dengan
keadaan di dalam, Andrew sudah berubah dalam wujud manusianya dan sudah memakai
pakaian baju kaos oblong dam sepan hitam pendek. Tubuhnya luka-luka dan darah
masih menetes dari sana, tetapi itu tidak penting. Yang dia pedulikan hanya
keadaan Gwen sekarang.
"Sayangku,
kumohon bukalah matamu.." ucap Gary sedih. Wolf hitam itu tak
disangka sudah menangis, melihat betapa perihnya keadaan belahan jiwanya.
"Sayang,
maafkan aku.. Kumohon sadarlah.." Andrew mencium punggung tangan Gwen
berkali-kali, menumpahkan rasa bersalahnya. Sophie yang melihatnya pun ikut
sedih, tidak pernah dia melihat sosok kakaknya begitu sedih seperti ini.
"Drew,
obati lukamu dulu." sahut Sophie seraya memegang pundak kokoh Andrew.
Andrew hanya menggeleng lemah.
"Itu
tidak penting, Soph. Nanti juga sembuh sendiri. Yang penting sekarang keadaan
Gwen!" jawab Andrew gusar.
"Aku menyesal sudah memarahinya tadi, aku menyesal Sophie."
lanjut Andrew dengan wajah sedih. Secara tidak langsung, penyebab terjatuhnya
Gwen karena Andrew yang melarangnya pulang.
"Itu
kecelakaan, Drew. Jangan salahkan dirimu. Lebih baik kita pikirkan Gwen,"
balas Sophie menenangkan hati kakaknya.
"Alpha,
Damian ingin melihat Luna."
Tiba-tiba,
Devan me-mindlink Andrew. Andrew kembali merasakan amarahnya. Untuk apa
pula Damian sialan itu ingin bertemu Mate-ku, batin Andrew.
"Dev,
suruh dia pulang saja. Aku muak melihat wajahnya." balas Andrew. Tidak
ada lagi wibawa dan bijaksana seorang Andrew jika sudah menyangkut Mate-nya.
Tiba-tiba
pintu kamar terbuka paksa, ternyata Damian yang mendobrak pintu itu. Devan yang
ingin menahan Damian, ditahan oleh Lucas dibelakangnya.
"Aku
tidak perlu izin darimu, Drew. Jangan kekanak-kanakan." ucap Damian sinis.
Dia berjalan cepat menuju ranjang tidur Gwen, tetapi kalah cepat saat Andrew
mendorong tubuhnya menjauh.
"Jangan
sentuh Mate-ku, Damian!!" tegas Andrew. "Gggrrrr!!!!" Gary
kembali ingin keluar dari tubuh Andrew, warna bola matanya sudah hitam pekat.
"Cih,
Mate-mu? Dia Mate-ku, Drew!" Damian mendorong tubuh Andrew hingga
terbentur keras ke dinding kamar.
"Dasar
kau gila! Tidak lihat tanda dilehernya?! Dia milikku!!" ujar Andrew seraya
menendang perut Damian kuat.
"HEY,
KALIAN BODOH! DIAM!! Tidak melihat Gwen huh!?" teriak Sophie menengahi
perkelahian yang baru akan terjadi. Andrew dan Damian persis seperti remaja
labil yang memperebutkan seorang gadis.
Andrew
mendengus kesal dan kembali duduk dikursi sebelah kanan ranjang itu. Sedangkan
Damian duduk di atas ranjang sebelah kirinya.
"Pergi
kau, Sam!!" teriak Gary dalam hati. "Kau yang pergi!!!" balas
Sam. Entah sejak kapan, mereka bisa berkomunikasi lagi di dalam pikiran masing-masing.
Andrew
menggeram marah saat Damian memegang tangan Gwen. Damian pura-pura tidak
mendengar geraman Andrew dan terus mengelus tangan Gwen lembut.
"Jangan
sentuh!!" Andrew menepis tangan Damian kasar dan merebut tangan Gwen dari
tangan Damian. Andrew menggenggam kedua tangan Gwen erat seakan tidak ingin
membaginya untuk Damian.
"Jika
tangannya tidak boleh ku sentuh, baiklah yang ini saja." ucap Damian tak
acuh lalu mengelus pipi Gwen. Andrew kembali menepis tangan Damian di pipi Gwen
dengan kasar.
Sophie
yang melihat mereka hanya memutar bola matanya jengah. Mereka seperti anak
kecil yang berebut mainan.
"Apa kalian tidak malu dengan umur? Berhentilah seperti anak kecil." ucap
Sophie tenang.
Andrew dan Damian terkesiap dan kembali ke posisi mereka semula tetapi tangan
mereka masih terus menggenggam tangan Gwen.
"Maaf
boleh aku bertanya padamu, Alpha Damian?" tanya Sophie tiba-tiba. Damian
menoleh dan mengangguk.
"Kenapa kau bisa beranggapan kalau Gwen Mate-mu? Padahal kau jelas sudah
tahu kalau dia adalah Mate-nya Andrew?" tanya Sophie serius. Walaupun
gadis kecil ini baru berusia 10 tahun tetapi pikirannya seperti orang dewasa.
Terlalu realistis.
"Aku
juga merasa aneh, tetapi ya beginilah. Aku yakin kalau Gwen, Mate-ku. Pengganti
Sheila yang mati dibunuh oleh orang yang tak berprasaan." jawab Damian
sarkatis.
Andrew melirik
dan merasa tersinggung. Jika tidak ada Gwen disini, pasti Damian sudah
diterkamnya.
"Jangan
mencari alasan! Bilang saja kau ingin mengambil Mate-ku, karena dulu aku
membunuh Sheila, ya kan!?" tegas Andrew. Untuk apa lagi ditutupi masalah
itu toh semua orang juga sudah tahu.
Damian
terkekeh, "Aku tidak munafik, memang itu tujuanku kesini awalnya. Tetapi
tidak disangka, Gwen memang Mate-ku. Aku berhak mengambilnya darimu,
Drew."
"JANGAN
MIMPI!! PERGI KAU DARI RUMAHKU!!" teriak Andrew kencang. Sophie yang
mendengarnya pun ikut terkejut.
Damian
tersentak, bukan karena teriakan Andrew tadi melainkan pergerakan tangan Gwen
yang berada digenggaman Damian.
"Sayang?"
panggil Damian seraya menggenggam tangan Gwen. Kembali Andrew menepis tangan
Damian kasar.
"Jangan
panggil Mate-ku dengan panggilan sayang, brengsek!!"
"Aku
tidak perlu izin darimu, Drew. Ini mulutku! Bukan mulutmu!" jawab Damian
ketus.
"Kalian
seperti bocah, Oh astaga Gwen!" seru Sophie saat melihat Gwen mengerjapkan
matanya pelan-pelan. Dia melenguh kesakitan, spontan mengeluarkan air matanya.
"Sayang?"
ucap Damian dan Andrew bersamaan.
"Kepalaku
sakit.." Gwen memegang kepalanya pelan.
PART 9
".... I
will not let anything take away
What's
standing in front of me
Every breath
Every hour
has come to this ...
*****
Gwen's POV
Dimana
aku? Apakah sekarang sudah malam? Aku tidak pernah ke tempat ini sebelumnya.
Kini aku sedang berada di bibir pantai yang indah dan langsung menghadap ke
lautan luas. Bulan bersinar terang-menderang. Indah sekali.
"Hai
Gwen."
Aku
menoleh ke belakang saat terdengar panggilan suara wanita yang sangat lembut.
Astaga..
Apakah dia bidadari? She's so beautiful woman. Wanita itu memakai baju
terusan panjang sampai melebihi mata kaki yang berwarna putih gading. Rambutnya
yang panjang sampai ke punggungnya pun berwarna serupa dan di dahinya ada
kalung liontin berwarna putih. Cantik. Sangat.
Tunggu
dulu, jangan-jangan dia hantu? Oh My, iya hantu kan bisa menjelma jadi apa
saja.
"Aku
bukan hantu, Gwen. Panggil aku Moon." jawabnya sembari tersenyum.
Apakah aku sedang bermimpi? Aku bertaruh kalau semua pria melihat wanita di
depanku ini, pasti mereka akan langsung jatuh cinta dengannya.
"Moon?
Apakah kau jelmaan Bulan?" tanyaku sambil menunjuk Bulan yang tengah
bersinar indah di atas sana.
Dia
tertawa pelan, "Bisa dibilang begitu, bisa juga tidak." Dia
tertawa saja cantik, aku jadi minder begini. Hadeeehh.
Tapi
jujur saja aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Wake up, Gwen!
"Aku
kesini hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu, Gwen. Dengarkan
baik-baik."
Aku
tidak menjawab ucapannya, aku sibuk mengagumi wajahnya yang kelewat cantik itu.
Benar-benar, aku masih tidak percaya ada ciptaan Tuhan secantik ini. Astaga..
"Pilihlah
seseorang yang bisa membuatmu nyaman, Gwen. Pilihlah dengan bijak. Aku sangat
berharap padamu, semoga kamu bisa menyatukan dua hati yang dingin menjadi
hangat kembali, Gwen. Bersabarlah, ini hanya sementara waktu.." ujar
wanita cantik itu panjang lebar.
"Maksudnya
apa?" tanyaku bingung. Lalu wanita itu pergi perlahan dari hadapanku.
"Bangunlah,
kau sudah membuat dua pria menunggu.."
Setelah
itu, dia menghilang dan digantikan dengan sakit luar biasa dari kepalaku. Ya
Tuhan, kepalaku berdenyut nyeri tak tertahankan. Kenapa aku??
"Aku
tidak perlu izin darimu, Drew. Ini mulutku! Bukan mulutmu!"
Suara
siapa itu? Aku pernah mendengar suara itu sebelumnya. Aku ingin melihat
darimana asal suara itu tetapi mataku sangat berat. Ayo, Gwen. Kau pasti bisa!!
"Kalian
seperti bocah, Oh astaga Gwen!"
Hhmm
aku tahu suara anak kecil ini pasti suara Sophie. Lantas aku mengerjapkan
mataku berulang-ulang kali. Kepalaku masih saja sakit, aku tidak tahan. Tak
terasa air mataku mengalir keluar.
"Sayang?"
ucap dua orang pria sekaligus. Mereka mengusap air mataku bersamaan.
Penglihatanku belum kembali sempurna, aku masih menebak-nebak. Dua orang pria
itu mungkin Andrew dan temannya yang tadi datang. Siapa ya namanya? Err aku
lupa, Damian mungkin? Iya Damian.
"Kepalaku
sakit.." ucapku lemah sambil memegang kepalaku.
"Jangan
dipegang, Sayang. Kepalamu terluka." ucap Damian menahan tanganku. Dengan
cepat, Andrew menampar tangan Damian hingga terlepas dari tanganku. Ouch, itu
pasti sakit.. "Jangan sentuh dia!" ujar Andrew dengan tatapan tajam
padanya. Kenapa Andrew begitu?
Tapi wajah Damian seperti pura-pura tidak tahu dan mengambil tanganku kembali.
"Sayang,
maafkan aku ya. Karena aku kau jadi begini." kata Andrew dengan tatapan
sendu lalu hendak mencium pipiku. Tetapi belum juga bibirnya sampai, wajah
Andrew disingkirkan oleh tangan Damian. "Aww!!"
"Sial!
Jangan cium dia!!" tegas Damian. Mereka berdua kenapa sih? Kulihat Andrew
menggeram marah tetapi hanya dibalas cibiran oleh Damian.
Oh
aku baru ingat, aku terjatuh ditangga lalu.. Aku tidak tahu apa lagi yang
terjadi setelah itu. Benar, ini gara-gara Andrew. Aku kesal dengannya yang tak
perbolehkan aku tuk pulang. Tapi salahku juga sih tidak hati-hati.
"Sophie,
tolong panggilkan Dokter diluar. Bilang kalau LUNA mereka sudah sadar."
ujar Andrew bernada sarkatis sambil menekankan kata LUNA.
Maksudnya
apa ya? Aku lihat Damian mengerang kesal tetapi setelah itu dia kembali
tersenyum tulus melihatku. Kenapa pula pria ini seperto mesam mesem melihatku?!
Aneh.
"Drew,
kau tidak tertolong." sahut Sophie menggelengkan kepalanya lalu berjalan
keluar kamar. Sedangkan Andrew masih setia menciumi punggung tanganku.
"Sayang,
kau mau minum?" Damian ingin menaikkan punggung tubuhku tetapi Andrew
kembali mendorong tubuhnya.
"Aku saja. Kau, pergilah dari rumahku!" ketus Andrew. Ampun, mereka
berdua bertingkah seperti bocah.
"Aku
bisa sendiri," ucapku serak lalu merubah posisiku ingin duduk.
"Aduh.."
"Kenapa, sayang?" tanya mereka bersamaan sambil menahan tubuhku
supaya duduk dengan bertumpu pada bantal. Astaga.. Punggungku sakit.
"Alpha,
saya ingin memeriksa Luna Gwen."
Tiba-tiba
sudah ada dua Dokter berjubah putih, pakaian Dokter seperti biasa, dari
belakang tubuh Andrew. Andrew dan Damian menoleh tetapi belum beranjak dari
posisi mereka. Masih saja duduk disebelah kanan dan kiriku.
"Bisa
tidak kalian minggir sih? Dokter mau memeriksa Gwen!!" teriak Sophie.
Damian dan Andrew hanya ber'Oh' ria saja lalu sedikit menggeser tempat duduknya
menjadi dekat dengan kakiku. Astaga, mereka persis seperti anak kecil.
"Zzz!"
Sophie terlihat kesal lalu menarik baju Andrew dan Damian hingga jauh dari
ranjang.
"Bisakah
kalian memeriksa tanpa menyentuh tubuhnya?" Tiba-tiba, Damian bertanya
sesuatu yang tak masuk di akal. Andrew menggeram marah tetapi dia tetap tak
peduli.
"Dokter, jangan terlalu banyak menyentuh tubuh MATE-ku." tambah
Andrew.
"Dokter,
jangan pedulikan mereka. Lakukan saja apa yang perlu kalian lakukan."
Sophie menarik lengan Andrew dan Damian supaya keluar dari kamar. Awalnya
mereka protes tetapi akhirnya menurut setelah aku ikut melototi mereka.
"Sebaiknya
Luna beristirahat maksimal dan jangan berjalan dulu. Kaki Luna terpelintir dan
punggung Luna keseleo." ujar salah satu Dokter pria itu setelah memeriksa
kakiku.
"Kepala
saya, Dok? Apa ada yang parah?" tanyaku seraya memegang perban di
kepalaku.
"Tenang
saja, Luna-
"Jangan
panggil, Luna please. Panggil saja Gwen, Dok." potongku. Kedua
Dokter itu menggeleng pelan.
"Maaf, itu tidak bisa Luna. Tidak sopan." jawabnya. Aku tidak
mengerti apa maksud panggilan Luna itu. Sungguh.
"Jadi
bagaimana kepala saya, Dok?"
BRRRAAAAKKK!!!
Aku
tercengang saat dinding kamar roboh karena terbantur sesuatu yang amat keras.
"GGGRRRRROOOOOUURRRRR!!"
"KYAAAAA!!"
teriakku keras saat aku melihat pemandangan menakjubkan di depanku.
Aku
membelalakan mataku saat di depanku terbanting hewan berbulu lebat berwarna
hitam putih yang terbanting karena terdorong seekor serigala besar berwarna
putih bersih itu.
Astaga!! Mereka serigala raksasa!! Dan sepertinya mereka berkelahi.
"ANDREW!
DAMIAN!! STOP!!" teriak Sophie dari luar. Tunggu, apa yang dia panggil
tadi Damian dan Andrew??
Grrr...
Serigala
hitam itu kembali menggeram lalu meloncat sampai ke atas tubuh serigala putih
itu. Aku takut... Ya Tuhan..
"Andrew?
Damian?" panggilku. Mereka berhenti mendadak dan menoleh padaku. Apakah
mereka....?
PART 10
STILL GWEN'S POV
"Andrew,
Damian?" panggilku. Dua serigala hitam dan putih menoleh bersamaan ke
arahku. Apa mereka berdua memang Andrew dan Damian?
Serigala
berwarna putih bersih itu berjalan menghampiriku tetapi tubuhnya didorong keras
hingga terpelanting ke belakang oleh serigala berwarna hitam-putih. Mirip
anjingku dulu, si Drew. Tapi ini lebih besar dan.. Ganas?
Saat
kedua serigala itu kembali bertarung, Dokter yang memakai baju putih-putih itu
malah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar yang dindingnya roboh begini.
Wajah mereka ketakutan saat melihat serigala-serigala itu yang saling mencakar
dan menggigit.
Aku
pun takut, sangat takut. Baru kali ini aku melihat serigala sebesar ini. Tetapi
siapa yang akan buat mereka berhenti? Aku melihat Sophie dan beberapa orang di
depan kamar hanya melihat mereka berdua dengan raut wajah takut dan khawatir.
Tidak ada satupun yang berani mendekati mereka. Ya Tuhan, kedua wolf itu
bisa mati kalau tidak ada yang memisahkan mereka.
"Ugh.."Aku
berusaha beranjak dari tempat tidur walaupun punggungku sakit dan kakiku
terpelintir. Kepalaku masih berdenyut-denyut tak karuan, tetapi kalau bukan aku
yang menenangkan dua serigala yang bertengkar ini, siapa lagi?
"Gwen,
jangan.." panggil Sophie lirih. Dia melambaikan tangannya padaku supaya
aku berhenti. Aku menggeleng, aku sudah terlanjur berjalan seperti ini, masa'
mau berhenti. Aku mah bukan gitu orangnya.
Aku
berjalan pelan, mengingat kaki kananku yang terkilir ini lalu mendekati dua
serigala yang berbeda kontras warnanya itu. Mereka saling menggeram satu sama
lain. Bahkan tidak sadar saat aku berjalan menghampiri mereka. Walaupun aku
masih bingung sedang apa yang terjadi di dalam istana ini, tapi itu bisa
dijelaskan nanti. Yang penting, mereka harus berhenti sekarang.
Saat
aku sudah berada di depan mereka, aku mengusap bulu-bulu serigala itu hingga
mereka berdua serentak menoleh.
"Drew?"
panggilku pelan. Serigala berwarna hitam putih itu menoleh ke arahku. Raut
wajahnya yang semula marah dan brutal, melembut padaku.
"Damian?"
panggilku pada serigala yang berwarna putih bersih itu. Warnanya cantik sekali.
Aku mengelus-ngelus bulu-bulu lebat diwajahnya hingga dia merasa nyaman dan
mengenduskan hidungnya ke wajahku.
"Ggrrr.."
erang serigala hitam itu. Sepertinya dia marah kalau aku mengusap bulu serigala
putih ini.
Aku
tertawa pelan, "Iya, kau juga sayang." ucapku lembut
seraya mengelus-elus wajah wolf hitan itu.
"Ggrrr.."
Gantian,
sekarang malah wolf putih itu yang menggeram. Yang benar saja, mereka berdua
sangat pencemburu! Aku sangat gemas melihatnya lalu aku rangkul kepala mereka
dengan kedua tanganku. Seperti sedang memeluk ya walaupun tak bisa merangkul
seluruh wajahnya tetapi ini cukup.
Aku
ingin membisikkan sesuatu ditelinga mereka, karena sekarang aku berada
ditengah-tengah dan posisiku cukup strategis untuk itu. Keduanya menjilati pipi
kanan dan kiriku. Membuatku geli. Tetapi aku harus serius, fokus Gwen!!
"Jangan
berkelahi lagi ya kalian berdua. Kalau kalian bergulat seperti tadi, aku
langsung bunuh diri," bisikku pelan. Hanya aku dan mereka yang mendengar.
"Grrr.."
Mereka berdua menggeram bersamaan, melihat ke arahku dengan tatapan tajam
seperti ingin berkata, "Jangan lakukan itu! Atau aku yang bakalan bunuh
diri duluan!!" Aku kembali tertawa, sungguh walaupun wajah mereka berdua
serigala tetapi raut wajah mereka terlihat manusiawi. Aku kembali teringat
ucapan wanita cantik di dalam mimpiku,
...
semoga kamu bisa menyatukan dua hati yang dingin menjadi hangat kembali,
Gwen ...
Apakah
ini maksudnya? Kalau benar, pasti berat tugasku. Mungkin saat ini aku bisa
menenangkan kedua wolf nakal ini, tetapi tidak lain kali. Kita lihat
saja nanti.
Tawaku
tak tertahankan lagi saat kedua wolf hitam dan putih itu kembali menjilati
wajahku. Geli, ampun..
"Sudah,
sudah.. Geli. Hahaha. Cukup..hahaa.." ujarku terengah-engah karena
kegelian. Aku rasa mereka tidak menakutkan, malah sebaliknya. Aku melihat ke
arah depan kamar yang dindingnya roboh itu, semua orang berwajah lega. Bahkan
Sophie mengacungkan kedua jempolnya untukku. Apakah aku sehebat itu?
*****
"Sophie,
jelaskan ini semua!" tegasku saat aku sedang berada di kamar Sophie. Kamar
Sophie terlihat lebih girly dan bernuansa pink putih. Kamarnya berada
dua pintu setelah kamar Andrew yang sudah tak terbentuk itu.
Aku
memaksa kedua wolf besar itu supaya tidak mengikuti aku dan menyuruh
mereka untuk mengobati luka-luka parah akibat perkelahian sengit mereka.
Walaupun agak susah, tetapi akhirnya mereka menurut setelah aku bilang aku
tidak akan makan selama seminggu penuh.
"Hmmm,
bagaimana ya.. Kurasa kau sudah tahu kalau kami.. Emm.. Ya begitu." jawab
Sophie malu-malu. Kalau begini, aku tidak mengerti.
"Jelaskan,
Sophie. Kenapa mereka bisa bertengkar hebat seperti itu? Lalu apa benar kedua wolf
itu Andrew dan Damian??" tanyaku penasaran. Sophie seperti ragu-ragu
menjawab. Tetapi akhirnya dia menatap lurus mataku dan mulai bercerita.
"Janji
jangan berteriak atau beritahukan hal ini pada orang lain, oke?" tegasnya.
Aku mengangguk pelan, karena kalau terlalu kuat, kepalaku bisa sakit.
"Oke,
hemm kami bukan manusia, Gwen. Kami werewolf." kata Sophie.
Astaga!
Yang benar? Bukannya itu hanya mitos saja? Atau legenda merakyat yang turun
menurun dari nenek moyang zaman dahulu. Tapi kalau di ingat kejadian tadi,
memang Sophie benar.
"Aku
tahu kau pasti terkejut, Gwen. Tapi ini memang nyata. Kami makhluk nyata, bukan
mitologi atau legenda rakyat. Kami bisa berbaur dengan manusia tetapi kami
hidup terpisah dengan berpack-pack atau bisa dibilang kelompok besar. Dan
pemimpin sebuah Pack dinamakan Alpha. Pasangan Alpha, Luna. Dan kau Luna,
Gwen." jelas Sophie panjang lebar.
Sebentar,
otakku masih konslet. Aku masih belum nyambung. Alpha? Luna? Pantas saja aku
selalu dipanggil Luna. Tapi apa tidak ada panggilan lain selain Luna, kalau
pemimpinnya disebut Alpha. Aku mau disebut Teta saja. Kan keren. Kekeke.
"Kalian
memanggil Andrew dengan sebutan Alpha, berarti dia pemimpin pack kalian?"
tanyaku. Sophie mengangguk polos. "Lalu kenapa Damian dipanggil Alpha
juga? Apa suatu pack ada dua Alpha?"
Sophie
menggeleng, "Tidak, Damian memang Alpha tapi bukan disini. Dia Alpha dari
BlackMoonPack, kalau pack kami SilverMoonPack." jawabnya.
Wow
nama Pack-nya saja keren. Apa ada YellowMoonPack atau PinkMoonPack? Hahahaha
kok aku geli membayangkannya ya. Tak sadar aku pun tertawa sendiri.
"Jangan
berpikiran macam-macam, Gwen. Apa kau tidak mau tahu kenapa mereka bertengkar
tadi?" tanya Sophie tiba-tiba. Ah iya, aku kan penasaran dengan itu.
"Ah
iyaiya! Kenapa mereka bisa bertengkar hebat seperti tadi, Soph?" "Itu
yang kedua, Gwen. Kau tahu, yang pertama bahkan lebih hebat dari yang
tadi." jawab Sophie enteng. Hah? Yang kedua? Kenapa aku tidak tahu?
"Sebelum
kau terjatuh, mereka bertengkar di taman belakang. Mereka bertengkar karenamu,
Gwen!" ujar Sophie.
WHAT!?
Karena aku? Kenapa? Apa mereka ingin memakanku? No, jangan. Aku kurus dan tak
ada daging. Lagipula dagingku tak enak dimakan. Pahit rasanya. Habis pahit lalu
asam dan asin.
"Hmm
bagaimana ya menjelaskannya susah sih. Aku juga tidak mengerti kenapa, karena
aku baru bertemu hal semacam ini." kata Sophie.
Aku mengerutkan
dahiku kencang, otakku mulai panas. Aku tak mengerti. Sungguh.
"Apanya,
Soph. Jelaskan pelan-pelan." jawabku.
Sophie
menghela nafasnya, "Kau tahu Mate? Soulmate?" tanya Sophie.
Oh
Soulmate. Aku tahu!
"Someone
who does the same weird things you do"
Tapi
secara harfiah, arti soulmate kan pasangan jiwa.
"Pasangan?"
tanyaku. Sophie kembali mengangguk.
"Pasangan
sejati seorang Werewolf dinamakan Mate. Dan kau Mate-nya Andrew, Gwen. Tetapi
saat Damian berkunjung disini, dia bilang kau juga Mate-nya. Aku bingung.
Serius. Entah apa maksud Moon Goddess." ucap Sophie panjang lebar.
Astaga,
ini semacam teka-teki silang. Moon Goddes, aku teringat wanita cantik di dalam
mimpiku. Dia bilang, panggil aku Moon.
..Bersabarlah
ini hanya sementara..
Katanya?
Eh aku kembali bingung. Please, aku hanya manusia biasa!!
Sekitar
2 jam bercerita di kamar Sophie, aku dikagetkan oleh pintu yang dibuka dari
luar.
"Sayang?"
Ternyata si Andrew, dia sudah memakai baju ganti. Sepertinya dia sehabis mandi.
Soalnya dia wangi sekali. Dia menghampiriku di atas ranjang Sophie dan memeluk
tubuhku erat.
"Andrew,
dimana Alpha Damian?" tanya Sophie.
Andrew
mengendikkan bahunya lalu mencium pipi kananku lama sekali. Sampai aku harus
menjauhkan wajahnya supaya bibirnya lepas dari wajahku. Dasar modus!
"Sayang,
apa kepalamu masih sakit?" tanya Andrew. Wajahnya sangat dekat membuat
jantungku berdetak tak karuan.
"Sedikit,
dimana Damian?" tanyaku. Kulihat dia menggeram lalu menggigit pipiku
pelan.
"Aku
tidak suka kau menyebut nama itu, jangan lagi. Oke." tegasnya.
"Bisakah kau memanggiku 'sayang'? Tidak adil kalau hanya Gary saja yang
kau panggil 'sayang'." rengutnya.
"Gary?"
"Ya,
Gary. Nama serigalaku. Kau tahu bahkan dia berlonjak kegirangan saat kau
panggil 'sayang' tadi." ujarnya. Aku tidak sadar kalau Sophie sudah keluar
dari kamar ini.
"Aku
suka dengan Gary, jadi tidak apa-apa kalau ku panggil dengan sebutan 'sayang'."
ucapku. Andrew merengut, wajahnya ditekuk tetapi warna bola matanya sudah hitam
pekat. Yang aku tahu dari Sophie, kalau Andrew sudah berubah warna seperti itu
berarti wolf nya.
Dia
seperti anak kecil yang mengambek. Ampun kalau begini.
Tidak
disangka, mungkin refleks dari tubuhku sendiri, aku mencium pipi kiri Andrew.
"Sayang.." ucapku pelan. Andrew menganga dan tubuhnya menegang.
Wajahnya sangat senang. Dia tidak bisa berbicara apa-apa. Sedetik kemudian, dia
mencium dan melumat bibirku.
Bagus
Gwen, kau sudah membangunkan Wolf!
PART 11
Andrew's POV
"Cantiknya
kekasihkuu, astaga sayang, kau membuatku gila. Auuuuuuu..." racau Gary
sedari tadi tak berhenti melihat makhluk yang paling cantik di depanku ini.
Lihatlah
wajah melasnya yang super imut itu. Cantik dan menggemaskan. Ya ampun, sekuat
tenaga aku menahan hasrat ingin mencium bibir tipisnya dan melumatnya hingga
aku puas.
"Ya
ya, Andrew. Please.." ucap Gwen masih terus merayuku.
"Tidak
sayang, sudah kubilang tidak. Dan tidak akan pernah berubah menjadi 'Ya'.
Sekarang tidurlah." jawabku seraya mengelus pipi halusnya lembut.
"Please,
aku mohon sekali saja. Aku janji bakal pulang kesini kok." katanya
lagi dan terus menahan lenganku.
Jujur
saja, aku tidak akan mengizinkannya pergi sejengkal pun dari rumah ini. Memang
kedengarannya sangat egois tetapi aku tidak peduli. Yang jelas, aku tidak mau
memberi kesempatan untuk Damian sialan itu mengambil Mate-ku sedetik saja.
"Jangan
biarkan dia pergi dari rumah kita, Drew. Aku tidak mau kalau Sam mengambilnya
dariku." ancam Gary dalam tubuhku. Tanpa dia suruh pun aku sudah tahu.
"Tidak,
sayang. Tidak boleh. Tidak. Titik." tegasku. Gwen langsung mengerucutkan
bibirnya dan tidur membelakangiku.
"Ahh
sudahlah, aku benci!!" ucapnya ketus. Aku memainkan rambut ikalnya itu
dari belakang. Gadisku marah rupanya. Tiba-tiba, Gwen beranjak dari tempat
tidur tanpa memperdulikan aku yang menatapnya bingung.
"Mau
kemana, sayang?" cekalku ditangannya. Dia menepisnya kasar lalu kembali
berjalan.
"Ke kamar mandi," jawabnya singkat. Oh, aku kira mau pergi kemana.
Walaupun dia ingin pergi keluar kamar, itu tidak bisa. Soalnya aku sudah
mengunci kamar ini dan menyimpan kunci itu disaku celanaku.
"Hati-hati, nanti terpeleset." ujarku. Dia mencibir lalu menutup
pintu kamar mandi itu dengan keras. Aku hanya cengingisan saja melihatnya.
Sejak
dua jam lalu, tepatnya setelah makan malam, Gwen terus mendesakku agar
mengizinkan dia tuk kuliah besok. Tentu saja jawabannya BIG NO. Ketahuilah, itu
hanya akal-akalan dia saja untuk kabur dariku. Rencana melarikan diri sangat
terlihat jelas dari raut wajahnya yang bisa dibaca seperti lembaran buku
terbuka itu. Mungkin pikirnya, gadisku ini bisa mengelabuiku tapi aku tidak
semudah itu untuk ditipu.
Belum
lagi, si Damian kurang ajar itu yang selalu ingin menyuapi Gwen saat makan
tadi. Membuatku sangat kesal dan ingin sekali mencabik-cabik tubuh yang tak
seberapa itu. Baru saja kami menggeram satu sama lain, Gwen malah menusuk-nusuk
pisau di atas meja. Entah dapat darimana dia pisau itu. Ya walaupun tindakan
dia hanya untuk menggertak kami saja, tetapi sungguh kami berdua takut kalau
pisau itu akan mengenai tangan mulusnya.
Awalnya
Damian tidak mau pulang ke Pack-nya jika dia tidak membawa Gwen bersamanya, HEH
enak saja dia mau mengambil Mate-ku seenaknya. Lalu akhirnya dia setuju pulang
dengan janji manis Gwen kalau besok dia boleh membawa gadis itu pergi seharian.
Tentu saja aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Lihat saja besok, seluruh
gerbang Pack dari utara sampai selatan akan tertutup rapat tanpa cela.
20
menit kemudian..
Kenapa
Gwen belum keluar juga dari kamar mandi? Memangnya dia sedang apa sih!? Kalau
cuma ingin buang air kecil, ini sudah terlalu lama!? Berpikiran positif saja.
Mungkin sebentar lagi dia bakal keluar.
55
menit kemudian... Oke, ini sudah terlalu lama Gwen ! Tidak mungkin satu jam
lebih lamanya kau di dalam kamar mandi. Segera aku beranjak dari tempat tidurku
dan berjalan ke arah kamar mandi. Ini sudah pukul 11 malam dan tidak mungkin
aku membiarkannya di dalam sana lebih lama lagi.
Aku lalu mengetuk pintu kamar mandi itu, awalnya pelan tetapi lama-lama ku
ketuk kuat.
"Sayang,
buka pintunya!!" teriakku. Tidak ada sahutan dari dalam. Aku mulai cemas,
aku takut dia berbuat nekat di dalam. Belum lagi pintu kamar mandinya dikunci.
Dengan
sekali tendangan, akhirnya pintu kamar mandi ini terbuka paksa. Aku langsung
menghambur masuk dan sangat kaget apa yang kulihat di dalam sana. Gadis
mungilku itu tidur di dalam bath tub dengan beralaskan beberapa buah
handuk putih yang ditumpuk menjadi satu. Tak lupa pula handuk berukuran besar
untuk dijadikannya selimut.
Astaga,
apa-apaan tingkahnya yang kekanak-kanakan itu!? Pasti gara-gara tidak ku
izinkan kuliah, jd dia mengambek seperti ini. Ck ck ck.
"Ya
ampun, sayang. Kenapa kau begini!? Drew, angkat dia sekarang!!"
"Tidak
usah menyuruhku juga, aku pasti melakukannya, Gary!!"
Dengan
mudah, ku gendong tubuh mungilnya itu keluar kamar mandi. Gwen tidak terbangun
padahal aku menendang pintu itu cukup kuat tadi. Mungkin efek dari rasa sakit
akibat luka dikepalanya ini. Kasihan, setidaknya saat aku memegangmu begini
kesakitan itu terbagi dua, sayang. Ingin sekali ku marahi dia saat ketahuan
olehku tidur di kamar mandi. Tapi saat melihat wajahnya yang begitu letih dan
sakit ini, aku jadi tidak tega.
Tak
lama kemudian, aku meletakkan tubuh digendonganku ini ke atas ranjang empuk
berukuran king size milikku. Lalu menutupi tubuh indah itu dengan
selimut tebalku. Setelah itu, aku duduk di samping tubuhnya dan menyingkirkan
rambut-rambut yang ingin menutupi wajah cantiknya itu. Disekeliling kepalanya
masih terbalut perban. Kata Dokter yang memeriksanya tadi, kepalanya kena
pinggiran tangga yang paling bawah. Membayangkannya saja bisa membuatku kalut
apalagi aku melihatnya langsung. Tapi yang tak kusangka, dia masih bisa
bertahan. Gadisku sangat kuat. Ya, benar dia Gwen Stacy, gadis ini memang benar
Mate-ku.
"Drew,
aku ingin tidur dengannya. Biarkan aku keluar.."
Mendadak
Gary bergumam dikepalaku. Yang benar saja, mana mungkin kubiarkan dia tidur
dengan Gwen. Bisa-bisa tulang-tulang gadisku bisa remuk nantinya.
"Ranjang
ini terlalu kecil untukmu, Gary. Maaf aku menolak." jawabku. Gary
menggeram marah. Dia mendesak tubuhnya biar keluar. Kuku tangan dan kaki-ku
mulai memanjang.
"Ini
tidak adil, kau sudah dua kali tidur dengannya, aku tidak pernah!!"
racaunya. Gary semakin mendorong tubuhnya keluar. Sekuat tenaga aku menahan
Gary, Demi Moon Goddess, dia bisa menyakiti gadisku kalau begini.
"Tahan
dulu, Gary. Baiklah. Sebelum itu berjanjilah kau tidak akan menyakitinya."
"Aku
tidak mungkin menyakiti Mate-ku sendiri, Drew. Menyakitinya adalah pilihan
terakhir dalam hidupku." jawab Gary bersungguh-sungguh.
Akhirnya,
serigala hitam itu tenang dan tak berontak lagi. Tidak mungkin aku membiarkan
tubuh besar Gary untuk tidur diranjang ini. Bahkan untuk dirinya sendiri,
ranjang ini tidak muat. Apalagi ditambah tubuh Gwen.
"Letakkan
saja tubuhnya di depan televisi itu, di atas ambal." titah Gary. Ya
benar, disana cukup luas. Kami tidak tidur di dalam kamarku yang dindingnya
roboh karena ulah Damian bodoh itu. Sekarang kami berada di dalam kamar utama
rumah ini, luasnya dua kali lipat dari kamarku yang kemarin.
"Oke."
Aku pun menggendong kembali tubuh Gwen dan membawanya ke arah televisi.
Anehnya, dia tidak bangun saat aku menggendong tubuhnya untuk yang kedua
kalinya. Dia tidur nyenyak sekali. Seperti bayi.
Dengan hati-hati, kurebahkan tubuhnya di atas ambal lembut ini. Sebelum itu,
kuletakkan bantal kecil untuk menopang kepalanya. Dia kembali tidur seperti
janin. "Menurutmu, Drew, apakah nanti akan ada wolf di dalam
tubuhnya?"
tanya
Gary saat jemariku menyelurusi pipi halusnya itu.
"Aku
tidak tahu, Gary. Itu terserah Moon Goddes mau merubahnya atau tidak. Kita
lihat saja nanti." jawabku.
"Aku
tidak sabar menanti hal itu. Ayo, Drew. Kita berganti shift dengan diam tanpa
membangunkan Mate-ku."
"Mate-ku
juga, Gary. Mate kita. Ingatlah hal itu."
Dan
setelah itu, tubuhku sepenuhnya di ambil alih oleh serigala berbadan besar yang
berwarna hitam & putih. Gary.
*****
Gwen's
POV
Woaaaahhhhhhh...
Kenapa
rasanya tubuhku senyaman ini? Hangat, lembut, halus, wangi, empuk dan besar.
Seperti boneka Teddy bear dalam ukuran raksasa. Enaknya kalau tidur dengan
bantal guling empuk seperti ini. Saking enaknya tidur, aku bahkan tidak mau membuka
mataku.
"Ggrr..."
Aku mendengar geraman pelan yang berasal dari bantal di sampingku ini. Ehh,
tidak mungkin bantal bisa menggeram. Lantas aku membuka mataku perlahan dan
betapa kagetnya aku saat melihat sesuatu yang sedang ku peluk erat ini.
Aku
mundur spontan saat kusadari yang sedang kupeluk bukan bantal guling ataupun
sebuah boneka teddy bear besar. Melainkan seekor wolf hitam putih
raksasa. Kalau aku belum tahu kalau Andrew ialah seorang werewolf, pasti
sekarang aku akan menjerit kuat.
"Gary?"
panggilku.
Aku
ingat saat Andrew bilang kalau nama serigalanya itu Gary. Wolf itu sedang tidur
dengan posisi kepalanya terkulai ke bawah, seperti anjing tidur. Aku baru
sadar, kenapa aku bisa tidur di atas ambal ini? Padahal semalam kan aku tidur
di dalam kamar mandi. Tidak mungkin Gary yang mengangkatku. Ini pasti ulah
Andrew. Tapi ada untungnya juga saat aku terbangun pagi ini, aku tidak melihat
wajah menyebalkan si Andrew Collins itu.
"Ggrr.."
Gary kembali menggeram seakan ingin bilang, 'Selamat pagi, sweetheart.'
Entah darimana aku mendapat insting kalau Gary seperti bicara seperti itu. Aku
melihat lurus matanya yang berwarna abu-abu terang itu. Sangat indah. Jernih
dan bening.
"Selamat
pagi juga, Gary. Apakah kau yang mengangkatku semalam?" tanyaku. Kepala
Gary tegak dan menggeleng. Lalu dia mengenduskan hidungnya ke wajahku. Ini..
Geli.
"Hihihi,
iya sudah jangan seperti itu, aku geli." ucapku mendorong wajahnya pelan
agar dia berhenti. Mata Gary menyipit pertanda kalau dia lagi tersenyum. Dia
lucu.
"Gary,
apa kau menyukaiku?" tanyaku tiba-tiba. Aku juga heran kenapa aku langsung
bertanya seperti itu. Kulihat, Gary langsung bangun dari posisi rebahannya dan
mengaum pelan. Dia mengangguk cepat dan menjilati wajahku. Aku anggap itu
jawaban Ya.
"Aku
juga menyukaimu, Gary. Mulai sekarang kita berteman ya." jawabku seraya
memeluk tubuh besarnya yang berbulu lembut ini. Sudah kubilang kan aku suka
hewan berbulu lebat.
Aku
melihat Gary menggeleng kuat dan mengaum lagi, lalu dihembuskannya rambutku
hingga terbang ke belakang punggungku. Aku juga heran apa yang akan
dilakukannya tapi tiba-tiba Gary menjilat bekas gigitan Andrew dua hari lalu.
"Maksudnya
apa, Gary?" tanyaku bingung. Gary berjalan menjauhiku dan berjalan menuju walk
in closet. Sedetik kemudian, serigala besar itu berubah menjadi seorang
pria dewasa yang OH NO !! HE'S NAKED "KYAA ANDREW!!"
teriakku spontan dan langsung menutup kedua mataku dengan telapak tangan. Aku
mendengar Andrew tertawa di ujung sana. Isshhh, menyebalkan!! Dia pasti
sengaja!! Beuhh mataku sudah tak suci lagi, Tuhan. Bagaimana ini? Maafkan aku
sudah menodai ciptaan-Mu yang indah ini, jangan salahkan aku. Salahkan pria itu
yang punya tubuh sebegitu menggoda imanku. Punggung kekarnya dan tubuh
atletisnya itu mampu meneteskan air liurku dan mematikan kelima indera
ditubuhku.
Aku
terperanjat saat telapak tanganku di angkat oleh Andrew, baru sedetik aku
memejamkan mataku lagi. "Astaga, Andrew. Pakai bajumu!" teriakku.
Andrew
kembali terkekeh, memang dia tidak full naked seperti tadi, tapi dia half
naked! Walaupun Andrew sudah memakai celana santainya tetapi dia tidak
memakai baju untuk menutup dadanya yang hot plus sexy itu.
"Bukannya
sudah biasa kau melihatku seperti ini, sayang. Hmm?"
Aku
masih memejamkan mataku, ya aku memang sering melihatnya bertelanjang dada sih.
Tapi entah kenapa setiap melihatnya seperti itu, jantungku berdetak secara tak
normal. Sepertinya aku harus menjauhinya jika ingin menjaga kesehatan
jantungku.
"Wuaaa!"
Aku tersentak saat Andrew menarik pinggangku dan memeluk tubuhku tepat di depan
dada hangatnya itu. Aku malu. Astaga, aku bahkan masih belum membuka pejaman
mataku.
"Buka matamu, sayang." suruhnya. Aku tidak mau, kalau aku membuka
mataku pasti langsung disuguhkan pemandangan indah di depanku ini.
"Kalau
tidak mau, aku akan.." Andrew meniup-niup mataku membuat perutku seperti
banyak kupu-kupu berterbangan.
Aku
menyerah. Akhirnya aku sedikit membuka mataku dan langsung menatap mata
teduhnya itu. Andrew tersenyum melihatku dan menggesekkan hidungnya ke hidungku
beberapa kali.
"Oh
aku ada pesan dari Gary. Katanya dia tidak mau berteman denganmu-"
"Apa,
kenapa?" potongku. Andrew mencium bibirku sekilas dan melanjutkan
omongannya tadi.
Zzzzzzzz....
Dasar!
"Kau
tahu, kita tidak akan jadi teman, sayang." ucapnya. "Karena kau
Mate-ku, Luna-ku, dan akan menjadi pendamping hidupku hingga akhir waktu."
lanjutnya.
Aku
termenung. Apakah dia sedang menyatakan cinta? Kenapa jantungku merespon
begini? Belum lagi pipiku panas dan perutku rasanya tergelitik. Pikiranku
meracau kemana-mana sampai aku tak sadar jika ada sesuatu benda kenyal, lembut
dan panas sedang mengemut bibirku.
"Mmllm.."
Andrew mengemut bibirku lebih intens dari sebelumnya. Ciuman ini tidak seperti
ciuman Andrew sebelumnya, yang selalu kasar dan dominan. Ciuman ini lebih
lembut dan sabar, seakan menungguku segera membalas.
Dimana
akal sehatku!? Bagaimana rasanya hati dan otak bekerja secara bertolak
belakang? Ya begini rasanya, di saat otak menyuruhku menyingkirkan kepala
Andrew malah aku melakukan sebaliknya. Kedua tanganku mengalung sendiri
dilehernya dan bibirku pelan-pelan membalas lumatan bibirnya itu. Terdengar
geraman dalam Andrew saat aku membalasnya. Dia lebih mengeratkan lagi
pelukannya itu hingga rasanya kaki-ku tidak menapak dilantai. Ciuman yang semula
lembut berubah menjadi lumatan-lumatan kasar. Andrew menciumku seperti tidak
ada lagi hari esok.
"An..Drew..hmmph!"
ucapku terengah-engah karena rasanya pasokan udara diparu-paruku kini mulai
menipis. Tetapi tidak ada tanda-tanda Andrew akan berhenti, dia bahkan lebih
menarik tengkukku dan melumat bibirku sampai habis.
"Drew..
Cu..kup.." Aku mendorong wajahnya supaya lepas tapi tenagaku hanya sia-sia
saja. Tak beberapa lama, akhirnya Andrew melepaskan bibirku. Tetapi bukanlah
mata teduh dan lembut yang kudapatkan melainkan tatapan tajam matanya yang
berwarna hitam pekat. Rahangnya mengatup rapat dan dahinya mengkerut.
"Beraninya
kau, Damian.." desisnya pelan.
Andrew
kenapa?
PART 12
Alpha,
seluruh gerbang SilverMoonPack dibrikade para penjaga," tutur Lucas saat
ia masuk ke dalam kamar Damian. Pria tinggi tegap itu mendapat kabar dari
mata-mata suruhannya yang berjaga di dalam Pack Andrew selama 24 jam sebagai
pelayan istana.
Damian
berdecak, sepertinya Andrew memang sengaja membuat dia tidak bisa bertemu
dengan Mate-nya, Gwen. Padahal kemarin, Gwen dan Damian sempat berjanji kalau
hari ini mereka akan pergi bersama. Ya walaupun janji manis itu hanyalah alasan
buat Damian pulang ke Pack-nya.
"Kalau
begitu, dia mengajak kita perang Luc. Siapkan seluruh warrior barisan
depan." ucap Damian tegas. Lucas mengangguk patuh dan keluar setelah
memberi hormat.
"Aku
tak sabar bertemu kekasihku.." racau Sam di dalam pikiran Damian.
Serigala berbulu putih itu melonjak kesenangan tidak sabar menanti untuk
bertemu Mate-nya.
"Aku
juga, Sam."
Rencana
awalnya memang Damian ingin membalas dendam dengan cara membunuh Mate musuh
bebuyutannya selama 7 tahun itu. Tapi ternyata Moon Goddess berkata lain, bukannya
membunuh malah Damian sangat menyayangi gadis itu. Sekali lagi Damian berpikir
keras, kenapa bisa dia dan Andrew mempunyai Mate yang sama? Apa Gwen pengganti
Sheila yang mati terbunuh karena ulah Andrew? Jika memang benar, alangkah
baiknya Moon Goddess, pikir Damian.
"Damian,
apa-apaan kamu!!"
Damian
terkesiap saat mendengar teriakan dari seorang pria paruh baya yang masuk ke
dalam kamarnya dengan raut wajah sangar. Mantan Alpha BlackMoon, ayahnya.
Damian
menghela nafas, "Ada apa, ayah?"
"Tarik
kembali warrior kita, ayah tidak mau kalau kamu menyerang Pack keluarga
Collins! Demi Tuhan, Jacob itu sahabat ayah, Damian!!" bentak Joseph, ayah
Damian dengan geraman khas bariton seorang Alpha. Ya walaupun dia sudah tidak
menjabat lagi sebagai pemimpin BlackMoonPack, tetapi siapapun yang mendengar
suara itu, pasti tubuhnya bergetar ketakutan. Tak terkecuali Damian.
"Ayah,
tetapi Papa Jacob dan Mama Nessi sudah tidak tinggal di Pack itu! Salah siapa
pula Andrew mengurung Mate-ku disana," balas Damian tak acuh. Damian
memang menanggil orang tua Andrew dengan sebutan Papa Mama.
Joseph
menaikkan satu alisnya tidak percaya, "Mate-mu?"
"Ya
Mate-ku, ayah. Namanya Gwen."
"Tidak
mungkin, Damian. Mate-mu sudah lama tiada dan tidak mungkin kamu mempunyai dua
Mate." tukas ayahnya. Tak dipungkiri, Joseph juga senang mendengar kabar
kalau Damian berhasil menemukan pengganti Sheila. Dia tidak tega melihat
Damian, anak semata wayangnya hidup tanpa seorang kekasih di sampingnya.
"Aku
juga masih tidak percaya, ayah. Tapi aku jujur padamu. Gwen Mate-ku
sekarang."
"Iya,
ayah tahu kamu tidak berbohong. Tetapi ayah tetap tidak setuju kalau kamu
berperang dengan SilverMoonPack, kamu bisa merusak hubungan saudara selama
ratusan tahun, Damian." jelas Joseph.
Memang
hubungan antar kedua pack sudah lama terjalin dari kakek nenek moyang mereka.
Dan Joseph sama sekali tidak bisa membiarkan kedua pack terpisah karena tingkah
anaknya, walaupun pria paruh baya itu sangat tahu antara Damian dan Andrew
sudah perang dingin selama 7 tahun. Kejadian masa lalu yang menggegerkan dunia
werewolf. Semua pack-pack tahu kalau Andrew membunuh Sheila waktu itu tetapi
mereka tidak tahu alasannya apa. Mereka pikir Andrew menyimpan rasa iri pada
Damian karena menjadi Alpha terlebih dahulu darinya belum lagi Damian sudah
menemukan Mate-nya. Padahal semua itu salah. Semuanya salah paham. Damian
menaikkan kedua bahunya, "Aku tidak tahu, ayah dan maafkan aku. Dengan
atau tanpa izin darimu, aku tetap akan menyerang Pack Andrew kalau dia masih
melarangku bertemu Gwen." ucapnya sinis lalu hengkang dari kamarnya dengan
langkah tergesa-gesa.
"DAMIAN
!!!" teriak Joseph tetapi terlambat karena Damian sudah pergi. Akhirnya
pria itu menghembuskan nafas pasrah. Semoga saja Andrew bisa berpikir
diplomatis dan tidak akan menimbulkan perang hebat nantinya.
*****
"Beraninya
kau, Damian.." desis Andrew pelan. Gwen yang melihatnya pun bingung.
Bukankah Andrew selalu tersenyum saat mereka habis berciuman? Kenapa sekarang
Andrew malah berkilat marah dan tatapannya pun menyeramkan?
"Andrew?"
panggil Gwen lemah. Andrew menatap Gwen tajam seakan ingin memakan gadis itu
hidup-hidup. Gwen bertambah takut dan hendak berjalan menjauhi Andrew. Tetapi
gadis itu kalah cepat. Andrew memegang pundak Gwen dengan kedua tangannya dan tanpa
sadar mencengkramnya kuat.
"Agh,"
ringis Gwen kesakitan. Takut-takut Gwen mendongakkan wajahnya ke atas, melihat
manik mata Andrew yang berwarna hitam pekat.
"Andrew,
pundakku sakit. Lepas!!" protes gadis berambut pirang itu berusaha
melepaskan cengkraman tangan Andrew dipundaknya. Apa daya kasih tak sampai,
tenaga Gwen tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tenaga Andrew, seorang
Alpha.
"Kapan?"
tanya Andrew singkat. Gwen mengerutkan dahinya bingung. Maksudnya apa Andrew
bertanya 'Kapan' tadi?
"KAPAN
DAMIAN SIALAN ITU MENGGIGIT LEHERMU, GWEN?!!"
Gwen
terlonjak kaget saat Andrew berteriak bahkan membentaknya dengan suara amat
keras. Baru pertama kali Andrew membentaknya seperti ini. Gwen menggigit bibir
bawahnya, menandakan gadis itu takut dan bingung. Dia tidak mengerti maksud
arti pertanyaan Andrew barusan. Memangnya kapan Damian menggigit lehernya?
Perasaan tidak pernah.
Dilain
pihak, Andrew baru menyadari hal itu. Bekas gigitannya beberapa hari lalu
ditindih dengan tanda bekas gigitan Damian. Gary, serigala hitamnya itu pun
tidak sadar padahal semalaman dia tidur dengan gadis itu. Apalagi tadi Gary
menjilat bekas luka itu, sekali lagi pertanyaan terlintas di otak sexy Andrew,
mengapa Gary sampai tidak tahu?
"JAWAB
AKU!!" bentak Andrew dengan suara khas baritonnya. Terdengar lolongan
serigala di dalam hutan mengaum ketakutan saat mendengar suara Alpha mereka.
Gwen
berusaha untuk tidak meneteskan air matanya, jujur saja di dalam hatinya baru
kali ini dia melihat pria marah sebegitu menyeramkannya! Demi Tuhan.
"Maksudmu
apa, Drew?" tanya Gwen lirih. Dia mengalihkan pandangan matanya.
Andrew
menghela dan menghembuskan nafasnya kesal, Gary memang marah seperti Andrew
tetapi dia berusaha membujuk Andrew supaya tidak terlalu memarahi Gwen. Gary
tahu kalau Damian menggigit leher Gwen saat Andrew collapse kemarin. Andrew
sempat collapse karena dua urat nadi dipunggungnya putus hasil cakaran kuku
tajam Sam. Untung saja dokter ahli segera bertindak dan dibantu dengan waktu
penyembuhan seorang Alpha memang cukup cepat.
"Sayang,
kapan Damian menggigit lehermu hem?" ucap Andrew pelan tetapi tidak
mengubah tatapan matanya yang tajam. Bahkan nada pelannya ini terdengar semakin
menyeramkan.
Gwen
menggeleng, "Aku tidak tahu..." cicitnya. Gwen memang jujur. Gadis
ini tidak tahu kapan Damian menggigit lehernya. Satu kelebihan Damian, dia bisa
melupakan ingatan seseorang. Dibandingkan dengan Andrew, kekuatannya hanya
teleportasi saja. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam hitungan
detik. Luapan marah Andrew kembali naik. Dia tidak tahan melihat bekas klaim-an
Damian dileher jenjang gadisnya itu. Bahkan ucapan dan teriakan Gary tidak
digubrisnya.
Tiba-tiba
Andrew mengangkat tubuh Gwen ke atas pundaknya hingga membuat Gwen menjerit
kaget. Dengan cepat, dia membanting tubuh mungil itu ke atas tempat tidurnya
yang empuk dan memenjarakan tubuhnya dengan kedua tangan Andrew yang kekar.
"Andrew!!
Apa yang kau lakukan!??" teriak Gwen ketakutan. Tangan gadis itu tidak
tinggal diam, dia mendorong dada Andrew dan memukul-mukulnya sekuat tenaga.
Hasilnya? Nothing. Bukan dada Andrew yang sakit melainkan tangannya
sendiri. Dengan sigap, Andrew menangkap kedua tangan Gwen dan menahannya di
atas kepala gadis itu.
"Mmpphh!!"
Mata Gwen membulat besar saat bibir Andrew menciumnya, melumatnya tanpa ampun
bahkan terkadang menggigit kecil bibir Gwen hingga bibirnya bengkak.
Gwen
tidak tahan untuk tidak menangis. Andrew sangat kasar dan buas melumat
bibirnya. Seakan amarah dan kesalnya tersalurkan dengan ciuman itu.
"Alpha,
pasukan Damian menyerang Pack kita melalui gerbang utara."
Saat
mendengar kabar dari Devan melalui mindlink Pack mereka, bibir Andrew
berhenti bergerak. Tetapi kontak dengan bibir Gwen belum terlepas. Dibukanya
kedua matanya dan menatap gadisnya yang sedang menangis sendu itu. Rasa iba dan
bersalah langsung mengaliri tubuh Andrew. Tetapi rasa amarah dan kesalnya belum
hilang dan malah menjadi-jadi tahu pasukan Damian sudah memasuki area Pack
mereka.
"Shit!"
umpat Andrew beranjak dari tubuh Gwen dan berjalan cepat keluar kamar
meninggalkan gadis cantik itu menangis sendirian. Kedua pergelangan tangannya
membiru dan bibirnya terasa kebas. Ulah Andrew, menciumnya tanpa ampun.
"Dia
menginginkan perang, akan kuberikan. Devan kerahkan seluruh warrior!"
"Ba..baik
Alpha."
Seakan
menemukan santapan lezat, Andrew berlari dan tanpa melihat ke belakang, saat
dia keluar dari istana itu langsung berubah ke wujud Gary. Mengaum dan melolong
kencang seakan memanggil pasukan warriornya untuk berkumpul. Tidak sampai 10
detik, ratusan wolf dengan warna yang beraneka ragam menunduk patuh
padanya. Gary terlihat paling besar mengingat dia Alpha disini. Gary ditemani
dengan wolf Beta Pack-nya Devan yang berwarna abu-abu itu berbicara
dengan para warrior-nya lewat pikiran.
Gary
mengaum lagi saat serigala putih dengan ratusan wolf di belakangnya
tengah berlari menuju mereka. Tanpa menunggu lama, Gary menggeram keras dan
berlari menuju barisan Sam di depannya.
Semua
orang di dalam rumah megah Andrew bersembunyi ketakutan. Bahkan pelayan-pelayan
ada yang menangis histeris. Jika tidak ada yang bisa menghentikan mereka,
perang ini tidak akan berhenti kalau salah satu antar Alpha mereka ada yang
mati.
*****
"Gwen!!"
panggil Sophie panik dan menghambus masuk ke dalam kamar utama rumah itu. Gwen menghapus
air matanya cepat-cepat takut ketahuan oleh Sophie.
"Ada
apa, Soph?" tanya Gwen dengan suara serak. Tidak diduga, Sophie memeluk
erat tubuh Gwen. Tubuhnya bergetar dan tangisannya meledak.
"Aku..
Hikss.. Ta..takut.." ujarnya seanggukan. Gwen tahu kalau ada perang hebat
di depan rumah Andrew yang luasnya bahkan melebihi lapangan sepak bola itu. Dua
kali? Tiga kali? Tidak empat kali lipat luasnya.
Gwen
memeluk tubuh kecil Sophie dan memejamkan mata dan telinganya rapat-rapat.
Seakan ia ingin buta dan tuli tuk sementara daripada harus mendengar
geraman-geraman wolf, tubuh-tubuh yang terjatuh keras dilantai dan sebagainya.
semoga kamu bisa menyatukan dua hati yang dingin menjadi hangat kembali...
....
Aku sangat berharap padamu, Gwen...
Tiba-tiba
suara wanita cantik yang dulu pernah hadir dimimpinya, yang mengaku namanya
Moon itu terngiang ditelinganya. Seketika Gwen terkesiap dan memfokuskan
kembali pandangan matanya.
Kenapa
harus Andrew dan Damian berperang demi dirinya? Bodoh, dasar duo bodoh!!
Kalau
bukan aku, siapa lagi yang berani membuat mereka berhenti? Pikir Gwen. Gwen
melepaskan pelukan Sophie pelan. Dia menangkup wajah imut Sophie dan berucap
lembut.
"Tunggu
disini. Jangan pergi kemanapun."
"Gwen,
jangan.." cegah Sophie. Gwen kembali tersenyum menenangkan.
"Tenang
saja," jawabnya lalu dia berjalan keluar kamar.
"Tolong
aku, Moon. Aku butuh kekuatan lebih tuk membuat mereka berhenti." doa
Gwen dalam hati.
"Akan
kuberikan."
Entah
darimana asal suara itu, membuat niat Gwen semakin kuat untuk memberhentikan
perang sengit yang terjadi. Pelayan-pelayan rumah megah itu menatap Gwen
khawatir. Mereka tahu jika Luna mereka akan bertindak sesuatu, tetapi apa daya
mereka untuk mencegah Gwen?
Dibukanya
pelan pintu raksasa dua pintu itu dan pemandangan kejam langsung terpampang di
depan mata. Perkelahian yang amat-amat hebat.
Gwen
berjalan lambat tanpa alas, baju tidur yang berupa dress selutut tanpa lengan
berwarna peach itu membuat tubuh mungilnya terlihat rapuh. Belum lagi ditambah
perban yang melilit sekeliling kepalanya. Tubuh kecilnya tidak sebanding dengan
ukuran wolf diluar sana. Tetapi dia tidak gentar dan terus melangkah maju.
Untuk
wolf yang berasal dari SilverMoonPack tahu kalau gadis yang sedang berjalan di
tengah-tengah perang tersebut adalah Luna mereka. Jadi, mereka mundur teratur
dan menunduk hormat. Tetapi tidak untuk wolf yang berasal dari pasukan Damian.
Mereka tidak tahu kalau secara tidak langsung Gwen adalah Luna mereka, tetapi
pikiran mereka cukup kalut dan ingin menyerang tubuh mungil itu.
Gwen
tidak takut, wajahnya datar dan bola warna matanya biru menyala. Seperti ada
seseroang yang merasuki tubuhnya. Satu wolf besar berwarna oranget tua berlari
kencang ke arahnya dan berniat menumbur tubuh gadis itu hingga jika kena, tubuh
Gwen dipastikan melayang. Tetapi..
"BBRRRUUUUUKKKK!!!"
bunyi dentuman keras saat Wolf berwarna orange tua itu terjatuh ke atas tanah.
Gwen melayangkan tangan kirinya ke atas saat Wolf itu mendekat dan akhirnya
terkulai tak berdaya. Gwen sendiri tidak percaya dengan kekuatannya. Ini
mustahil... Dia bisa memukul Wolf sebesar itu hanya dengan melayangkan tangan
kirinya? Bahkan dia tadi tidak mengeluarkan tenaga sedikit pun.
Wolf-wolf
pasukan Damian kembali ingin menyerang Gwen tetapi selalu ditepis dengan kedua
tangannya hingga nasib seluruh wolf itu sama. Terkulai tak berdaya di atas
tanah. Seiring dia berjalan, banyak juga wolf-wolf BlackMoonPack menjadi korban
pukulan Gwen yang super duper kuat. Dan hingga pada akhirnya, Gwen berhenti
saat melihat dua serigala yang besarnya tiga kali lipat dari serigala biasa itu
sedang adu kekuatan itu. Serigala hitam putih milik Andrew dan serigala putih
milik Damian.
Tepat
5 meter di depannya, dua serigala itu tidak tahu kalau Mate mereka
memperhatikan perkelahian sengit itu. Yang ada dipikiran mereka, hanyalah satu.
Saling membunuh.
Gwen
kembali berjalan lambat dan sekitar dua meter dekatnya dengan tubuh Gary, Gwen
berlari. Telapak tangannya sudah mengempal dan siap untuk meninju rahang kokoh
Gary hingga wolf itu melayang jauh dan akhirnya terjatuh ke tanah
berangsur-angsur. Sam menoleh cepat saat dia tahu Gary terjerembab ke tanah
dengan kerasnya. "Mate?"
Satu
lagi. Pikir Gwen. Tangan kanannya sudah mengempal kuat dan dalam hitungan
detik, tubuh Sam jatuh sama kerasnya dengan Gary tadi. Gary dan Sam beringsut
dari posisinya dengan susah payah. Seakan tubuh mereka remuk efek pukulan Gwen
tadi.
Sakit.
Ini sakit sekali. Kekuatan Gwen seperti kekuatan 1000 Wolf yang disatukan.
Entah darimana dia mendapatkan kekuatan itu.
"HENTIKAN
PERANG INI!!!!!! HENTIKAN!!!AKU TIDAK MAU SEPERTI INI!!" teriak Gwen
kencang. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menangis!
Jeritan Gwen seakan jarum yang menusuk-nusuk hati para Wolf yang mendengarnya.
Gary
dan Sam mengaum bersamaan semacam kode untuk membuat mundur pasukannya. Kedua
wolf itu mendekati Gwen dengan langkah pasti. Setelah mereka tepat berada di
depan gadis itu, Gary mengenduskan hidungnya ke wajah Gwen dan Sam menjilati
tangan Gwen yang menutupi wajah cantiknya itu.
"Jangan
seperti ini lagi, kumohon.." pinta Gwen pelan. Kedua wolf itu mengangguk
patuh dan mengenduskan-ngenduskan hidungnya di tubuh Gwen.
"Ayo,
obati luka kalian. Suruh mereka juga." suruh Gwen dan entah cara apa,
semua Wolf di lapangan luas itu mulai menghilang satu persatu. Tinggallah
mereka bertiga disana.
"Damian, aku mau naik punggungmu." pinta Gwen pada Sam, karena Gwen
belum tahu nama serigala putih itu. Di dalam hatinya, dia marah pada Damian
karena pria itu belum memberitahukan namanya pada Gwen.
Dengan
cepat, Sam menunduk dan Gwen duduk di atas punggungnya membuat Gary menggeram
marah. Sedangkan Sam mengerang lembut seakan menikmati tubuh Gwen di atasnya.
"Sebentar
saja Gary, bukannya kita semalaman sudah tidur berdua?" balas Gwen, dan
kali ini Sam-lah yang menggeram. Mereka berdua cemburu dan senang di waktu
bersamaan.
Tidak
lama dari itu, mereka bertiga sudah kembali ke dalam rumah Andrew. Disana sudah
ada Sophie, Devan dan Lucas yang menunggu mereka. Sophie tersenyum puas dan
langsung memeluk erat tubuh Gwen saat dia turun dari punggung Sam.
"Kau
hebat sekali, Gwen. Bagaimana caramu memukul kedua wolf bengal itu sampai jatuh
tersungkur seperti itu!?" seru Sophie. Damian dan Andrew sedang berganti
shift mereka di kamar yang berbeda.
"Aku
juga tidak tahu pasti, Soph. Yang jelas kekuatan itu langsung ada saat aku
memintanya."
"Meminta
dengan siapa?"
"Dengan
Moon." jawab Gwen polos. Sophie mengerutkan dahinya bingung.
"Moon?
Ahh! Moon.."
"Sayang?"
Ucapan
Sophie menggantung di udara karena terpotong oleh kehadiran Damian yang
tiba-tiba. Pria itu sudah berganti pakaian menggunakan kaos polo berwarna hitam
dan celana dasar berwarna sama. Luka-luka disekujur tubuhnya seakan menghilang
saat memeluk Gwen dari belakang seperti ini.
Sophie
menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan lebih memilih duduk diam melihat
kemesraan Damian memeluk Gwen di depannya.
"Sayang,
kita pergi hari ini ya?" ujar Damian lembut. Pria itu memeluk tubuh mungil
Gwen dari belakang, kepalanya berada dilekukan leher gadis itu. Mencium aroma
khas Mate-nya yang berbau Strawberry.
"Iya,
Damian. Lepas dulu, kau kan banyak luka begitu. Obati sampai sembuh.."
ujar Gwen membalikkan tubuhnya hingga kini tubuh mereka berhadapan. Damian
semakin memgencangkan pelukannya dipinggang gadis itu dan mengecupi bibir Gwen
dengan gemas.
"Damian!"
protes Gwen. Damian hanya cengigisan tidak jelas. Tiba-tiba tubuh mereka
terpisah dengan paksa saat Andrew datang dan memisahkan mereka dengan satu
hentakan kasar. Lalu direngkuhnya tubuh Gwen ke dalam pelukannya.
"Jangan
sentuh milikku!" tegas Andrew. Damian tidak tinggal diam lalu menarik
tubuh Andrew hingga melepas pelukannya dengan paksa. Cepat-cepat dia kembali
memeluk Gwen tanpa menghiraukan Andrew yang sedang marah besar itu.
"Jangan
sentuh milikku!" tiru Damian. Gwen tertawa tidak tahan melihat kedua
makhluk tampan ini berebutan dirinya seperti ini. Setidaknya mereka lebih
terlihat manusiawi.
"Hari
ini aku mau sama Damian, Drew. Jangan ganggu." ucap Gwen tegas.
JLEB!
Satu panah menusuk jantung Andrew. Dia menatap wajah Gwen dengan sendu.
"Sayang, Apa kau marah karena tadi pagi? Maafkan aku.."
Terjadilah
perdebatan antara mereka bertiga tetapi diselingi canda tawa oleh Gwen. Andrew
memohon padanya supaya tidak kemana-mana, sedangkan Damian ngotot mengajak Gwen
pergi. Entah sampai kapan, mereka berhenti berdebat seperti itu.
"Aku
tidak tahan melihat mereka, pergi saja deh." ucap Sophie dalam hati
dan pergi melesat ke dalam kamarnya. Syukurlah, Gwen bisa membuat perang ini
berakhir jika tidak, mungkin kedua Pack tidak ada Alpha lagi.
PART 13
"Aku
ikut!"
"Tidak!"
"Aku
ikut atau Gwen tidak boleh pergi!" ancam Andrew. Damian menghembuskan
nafas kasarnya dan mengumpat pelan. Dua pria dewasa berumur 26 tahun itu tidak
henti-hentinya berdebat saat Gwen tengah berganti pakaian di kamarnya.
"Baiklah.
Kalau ini bukan permintaan Gwen, aku tidak sudi mengajakmu!"
Andrew
mencibir, "Cih, aku tidak perlu izin darimu untuk pergi bersama MATE-KU!
Pergi ke laut sana!" ujar Andrew dengan menekankan kata 'Mate' dengan
suara lantang.
Baru
saja Damian ingin membalas ucapan Andrew yang menurutnya kurang ajar itu, Gwen
datang dengan penampilan anggunnya membuat dua pria tampan dan tinggi itu
menganga lebar. Dia memakai dress berlengan pendek berwarna turquoise yang
panjangnya 10 centi di atas lutut. Belum lagi wajahnya yang dipoles make up
tipis dan bibirnya dilapisi lipgloss berwarna pink. Rambut ikalnya yang
semula berwarna pirang sudah dicat menjadi warna coklat tua, digerai sampai ke
punggungnya. Walaupun kepalanya masih diperban tetapi kecantikannya tidak
pernah pudar.
"Astaga,
Mate-ku. Kau sangat cantik. Auuuuuu.." Gary ikut-ikutan terpana
melihat Gwen.
"Kekasihku!!
Cantik sekali seperti bidadari.." ucap Sam pelan diikuti dengan
anggukan kepala setuju dari Damian.
"Sayang,
kau cantik sekali!" seru Damian mendekati gadis itu dengan langkah
besar-besar hingga tepat berada di depan Gwen dan hendak memeluknya, tubuh
Damian terjatuh keras ke lantai. Andrew mendorongnya dengan satu tangan.
Gwen
melotot melihat perlakuannya barusan, tetapi lain dengan Andrew yang
menampilkan ekspresi sebaliknya. Pria itu tersenyum puas lalu merengkuh tubuh
Gwen ke dalam pelukannya.
"Aku sangat beruntung memiliki Mate secantik dirimu sayang," ucap
Andrew lembut, menempelkan dahinya dengan dahi Gwen. Gadis itu menahan
senyumnya saat melihat Damian sudah berdiri di belakang Andrew, raut wajahnya
masam dan marah.
"Terima
kasih Drew, tapi lepaskan aku sekarang." pinta Gwen lembut. Andrew
menggeleng dan mendekatkan wajahnya ingin mencium bibir gadis itu, tetapi
tubuhnya terlepas paksa karena ditarik kuat oleh Damian dari belakang.
"Sial,
apa-apaan kau!" bentak Andrew. Damian bertingkah tidak peduli dan menarik
tangan Gwen lalu berjalan ke luar. Mereka berdua sudah berjanji pada Gwen tidak
akan saling menyakiti fisik masing-masing seperti perang sebelumnya. Jadi kalau
hanya perang mulut, ya tidak apa-apa lah. Gwen maklum.
"Ayo
sayang, kita pergi." ucap Damian tak acuh. Saat mereka berdua keluar,
sudah ada Lucas menunggu mereka dengan mobil Range rover putih miliknya.
"WOY,
DAMIAN!!" teriak Andrew saat Damian mengajak Gwen pergi keluar dari
rumahnya.
"Gwen,
aku sudah siap!"
"Loh
Sophie, kamu juga ikut?" tanya Andrew terkejut ketika Sophie sudah
berdandan rapi memakai dress anak kecil untuk serumuran dengannya.
Sophie
mengangguk senang, "Iya, Gwen mengajakku. Lagipula aku kangen dengan Uncle
Jo dan Auntie Dei."
"Bagus,
ayo. Nanti kamu semobil dengan Damian ya, Gwen semobil dengan kakak."
modus Andrew menggandeng tangan kecil Sophie.
"Aih
alasan, sejak kapan seorang Andrew menyebut dirinya 'Kakak' padaku?" cibir
Sophie yang hanya dibalas dengan cengigisan Andrew.
"Please,
sugar. Adikku yang tersayang yang paling cantik, tidak sedih melihat
kakaknya merana huh? Lebih senang melihat Damian bahagia?" Andrew
berbicara sok sedih dan terlalu didramatisir membuat Sophie ingin muntah.
"Oke oke, apapun untuk KAKAK tersayang," jawab Sophie kesal dan
langsung dihadiahi ciuman Andrew lembut dipipi gembulnya.
Andrew
tersenyum puas, "Terima kasih cantik."
****
Gwen's POV
Tanganku
terus ditarik pelan oleh Damian, bukan ditarik sih tapi digenggamnya. Dan
jujur, tangan besar Damian terasa hangat dan nyaman. Tetapi saat digenggamnya
begini, aku tidak merasa apapun. Beda halnya jika sedang bersama Andrew.
Jantungku pasti dag dig dug der dan selalu berdetak di atas kenormalan. Aneh kan?
Ya walaupun mereka sama-sama tampan sih.
Damian
terus mengoceh tentang bagaimana keadaan dan suasana di Pack-nya dan aku hanya
menanggapi dengan kata 'Ya' atau 'Benarkah' saja. Sebenarnya, aku mengajak
Damian pergi bukan tuk ke Pack-nya tetapi untuk kembali ke rumahku. Huh, nanti
saja deh aku bicara dengannya.
"Tunggu,
Damian. Aku mengajak Sophie, tidak apa kan?" tanyaku tiba-tiba saat Damian
menyuruhku masuk ke dalam mobilnya.
Damian
mengernyitkan dahinya, "Ya tidak apa-apa sayang, mungkin Sophie ingin
bertemu orang tuaku, tapi kau yakin ingin mengajak Andrew bersama kita?"
tanya Damian ragu.
"Ya,
kurasa kita harus mengajaknya, Damian. Bukannya dia sudah lama tidak ke
Pack-mu?"
"Hem
ya, mungkin sekitar 7 tahun. Oke baiklah, buatmu apa yang tidak sayang,"
jawab Damian sangat lembut menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan hendak
mencium bibirku. Oh God, yang benar saja?
"GWEN!!"
Refleks
aku menghindar dari Damian dengan cara mendorong wajahnya menjauh. Damian
mengaduh membuatku jadi merasa bersalah. Upss, sorry Damian. Andrew
hampir saja ketawa melihat reaksiku tadi, dia menutup mulutnya dengan punggung
tangannya. Dia suka sekali melihat Damian menderita ya.
Sophie
yang memanggilku tadi pun menjadi salah tingkah dan merasa bersalah saat
menatap Damian yang wajahnya sudah merasa masam. Heh, maafkan aku..
"Sayang,
kau semobil denganku saja ya. Ayo." Andrew spontan menarik tanganku dan
hendak memasuki mobil BMW M3-nya, tetapi Damian mendekap tubuhku dari belakang.
Aku
tercengang, "Damian?"
"Hari
ini dia milikku, Drew." ucap Damian sinis. Andrew menggeram marah, menatap
mata Damian tajam. Jika ada laser dari matanya, dijamin Damian pasti sudah tak
bernyawa.
"Apa
hakmu hah! Dia Mate-ku Damian! Jangan sok memilikinya! Dia milikku!!"
Andrew mendorong bahu Damian kuat hingga pelukannya ditubuhku lepas seketika.
Hey!
Aku bukan barang tau!
"Andrew!!"
protesku. Sungguh, kalau didiamkan saja, mereka pasti akan berkelahi lagi.
Sophie sudah masuk ke dalam mobil Damian dan aku yakin dia ketakutan melihat
adegan ini.
Aku
melihat Damian dan Andrew bergantian, mereka pasti sangat menahan hasrat untuk
membunuh satu sama lain. Ya Tuhan, bagaimana ini? Kenapa aku harus begini sih,
padahal dulu hidupku tenang-tenang saja deh.
"Bagaimana
kalau kita semobil saja? Dev, kamu pergi duluan saja ke Pack Damian ya?"
pintaku pada Devan yang setia menunggu kami di samping pintu kemudi. Wajah
Devan khawatir melihat Andrew dan Damian yang masih perang mata ini.
"Tidak
usah, Dev! Tetap disini. Gwen! Ikut denganku atau kau tidak boleh pergi!"
ancam Andrew. Aku menggigit bibir bawahku, aku bingung. Aku menatap Damian, dia
seolah tidak ikhlas. Aku kasihan dengannya, memang bukan salah Damian kalau aku
ternyata Mate-nya. Tapi mau bagaimana lagi? "Damian?" panggilku tak
enak. Damian mengangguk, dia melepaskan tanganku pelan.
"Pergilah dengannya, kita bertemu di Pack-ku nanti." Damian mengecup
pipi kananku dan masuk ke dalam mobilnya. Tak beberapa lama, mobil yang
ditumpangi Damian melesat pergi.
"Kau
egois, Drew!" bentakku. Jujur, dia pria ter-egois yang pernah aku temui.
Kasihan kan Damian!
Andrew
menarik pinggangku kuat, "Kau milikku, akan kujaga sampai aku mati sayang.
Dan tidak akan kubiarkan siapapun mengambilnya dariku. Mengerti?" Andrew
mencium pipi kananku beberapa kali seolah ingin menghilangkan bekas kecupan
Damian tadi.
Aku
melepaskan tangannya yang berada dipinggangku lalu masuk ke dalam mobil dengan
cepat. Tak lama kemudian, Andrew pun ikut masuk dan duduk di sampingku.
Sedangkan Devan, dia yang mengemudikan mobilnya.
Aku
tahu kalau Andrew selalu menoleh ke arahku. Tapi aku masih marah dengannya. Aku
tidak mau bicara dengannya sepanjang perjalanan ini. Lihat saja.
"Devan,
berapa jam perjalanan kita ke Pack Damian?" tanyaku pada Devan yang duduk
di depan.
"Eh,
sekitar 3 jam-an Luna." jawab Devam gugup.
"Oh,
apakah disana indah? Jangan panggil Luna, Dev. Aku bukan LUNA siapapun."
Aku mendengar geraman marah Andrew di sampingku. Biar saja.
"Maaf
Luna, aku tidak bisa."
Aku
menoleh ke Andrew, dia tersenyum menyeringai. Serem sih tapi tetep tampan.
"Pack
Damian dikenal dengan penghasil buah-buahan, Luna. Disana ada anggur, semangka,
melon, apel, dll. Tanah disana lebih subur," jawab Devan. Oh membayangkan
buah-buahan segar itu saja membuatku menelan ludah.
"Anggur,
Dev? Itu buah kesukaanku! Apa sedang berbuah ya?" tanyaku lagi. Devan
menggaruk kepalanya.
"Mungkin iya, Luna."
"Terus
ada apa lagi, Dev?"
"EHEEEM!!!"
Andrew berdeham kuat. Aku seolah tidak mendengarnya. Rasakan! Aku masih marah
padamu, kau tahu!
"Apa
disana ada danau buatan terus ada perahu untuk menyebrangnya, Dev? Aku tidak
sabar.."
"EHEEEMMMMMMMM!!!"
Andrew berdeham panjang. Aku menoleh ke samping dan mencibir. Siapa ya? Hantu
kali.
Aku
melihat jalanan yang menurutku lebih menarik daripada sosok tampan di sampingku
ini. Menyebalkan!
"Sayang?"
panggilnya lembut. Aku tidak mau menoleh, anggap saja yang bicara tadi
jangkrik.
"Darling?"
"Sweetheart?"
"Sugar?"
"Honey?"
"Beautiful?"
"Sweety?"
Aku
mendengar desahan Andrew yang sepertinya putus asa itu. Memangnya memanggilku
dengan panggilan-panggilan sok sweet itu bisa mengembalikan mood-ku hah!?
"My
wife.."
"Kyaa!"
Aku terlonjak kaget saat Andrew berbisik tepat di depan telingaku.
"Apa-apaan, Andrew Collins!" bentakku. Andrew merengut, wajahnya
ditekuk.
"Kau
mengacuhkanku. Aku benci," jawabnya seperti anak kecil. Ampun.. Ini pria
umur berapa sih?
"Aku masih marah padamu!" ucapku sambil bersilang tangan di depan
dada lalu melihat jalanan kembali.
"Sayang, look at me." ujarnya. Aku tetap tidak menoleh. Tapi,
tiba-tiba daguku ditarik olehnya dan kini tangannya itu dengan kurang ajar
mengangkat tubuhku menjadi duduk di pangkuannya.
"Andrew!" Aku berusaha turun dari pangkuannya karena tidak nyaman,
sekaligus malu pada Devan. Belum lagi degupan jantungku yang seketika berdetak
seperti berlari marathon. Sebaiknya aku harus menjauhi Andrew untuk menjaga
kesehatan jantungku. "Andrew, aku tidak nyaman begini.." ucapku
pelan. Andrew tersenyum lalu menurunkanku hingga aku duduk di antara paha
Andrew. Astaga, ini malah lebih bahaya.
"Kalau
begini, jangan protes lagi. Ini hukumanmu karena mengacuhkanku, sayang."
ujar Andrew berbicara di antara lekukan leherku. Nafasnya membuatku geli, Ya
Tuhan.
"Maafkan
aku, mungkin tadi memang aku sedikit keterlaluan pada Damian. Tapi ketahuilah
sayang, itu kulakukan supaya aku tidak kehilanganmu. Aku tidak mau kau di ambil
olehnya, kau milikku. Milikku." ucapnya pelan hampir berbisik. Suaranya
yang khas itu ditambah dengan kata-katanya barusan membuat jantungku lebih
berdetak dua kali lipat dari sebelumnya.
Aku
bahkan tidak bisa membalas perkataan Andrew. Sungguh. Seakan stock di otakku
ini habis.
"Dengarkan
aku baik-baik Gwen Collins--
"Andrew,
jangan mengubah nama keluargaku!!"
"Kenapa?
Bukannya kau istriku hmm?"
"Dari
Hongkong!!"
Andrew
tertawa mendengar jawabanku barusan. Kenapa memangnya?
"I
love you, sayang."
Tunggu?
Itu suara siapa? Aku melihat Andrew yang kini tersenyum tulus ke arahku. Apakah
Andrew barusan menyatakan cintanya padaku? Yang benar saja.
"Apa
tadi kau bilang?" tanyaku untuk meyakinkan. Andrew menggeleng dan mengecup
bibirku sekilas.
"Tidak ada siaran ulang, tidurlah. Perjalanan kita masih cukup jauh
sayang." Andrew membenamkan kepalaku di depan dadanya. Satu tangannya
mengusap punggungku dan satu tangannya lagi mengusap pelan kepalaku.
Nyaman~~
Wangi harum Andrew menyeruak masuk ke dalam hidungku. Aroma inilah yang menjadi
favoritku sekarang. Lama-lama aku pun mengantuk dan memejamkan mataku perlahan.
*****
Tubuhku
pegal. Uhh, apa sudah sampai? Lantas aku membuka perlahan mataku dan melihat
pemandangan di luar mobil. Hamparan taman bunga yang sangat cantik, beraneka
macam bunga, dan Oh! Tulip! Kenapa bunga yang berasal dari Negeri Kincir Angin
itu disini? Wow, Daebak.
Tapi
aku merasa aneh, mobil ini sudah berhenti dan Devan sudah tidak ada lagi di
depan stir mobil. Aku mendongak, wajah Andrew yang tertidur pun masih
sangat damai begini. Kemana Devan?
'Tok
tok'
Aku
menoleh berlawanan arah saat mendengar ketukan di kaca mobil. Terlihat wajah
imut Sophie, aku tersenyum lalu melepaskan tangan Andrew yang berada di
pinggangku lalu keluar dari mobil. Walaupun awalnya kesusahan karena tubuhku di
apit oleh tubuh Andrew.
"Sophie,
Andrew masih tidur. Apa kita harus membangunkannya?" tanyaku. Sophie
mengerlingkan matanya dan menggeleng cepat.
"Tidak
usah, Gwen. Biar saja dia tidur. Tapi pintu ini dibuka saja, kalau ditutup lagi
nanti dia mati kehabisan nafas. Ayo!" Sophie menarik tanganku dan kami
berjalan pelan melewati taman bunga yang indah ini.
"Apa
kita sudah di Pack-nya Damian?"
Sophie
mengangguk lalu menunjuk seseorang yang sedang menunggu di depan pintu rumah
besar itu. Bukan, bukan rumah. Tapi istana kali ya? Besar banget.
"Aku
terkadang iri dengan Pack ini Gwen, lihat. Taman bunganya saja indah bukan?
Namanya saja yang 'BlackMoonPack'." ujar Sophie sedih. Ya mau bagaimana
lagi sih ya, Pack Andrew berada diwilayah yang dingin, bahkan kadang aku
memakai mantel beberapa lapis kalau Andrew tidak memelukku. Ck.
"Tapi
tempatmu juga indah Sophie, seperti film di Frozen. Bagus." ucapku
menghibur. Sophie tertawa.
"Bisa
saja kau ini. Sudah aku mau bertemu Uncle Jo dan Auntie Dei. Aku masuk duluan
yah." Sophie berlari-lari kecil lalu masuk ke dalam rumah besar itu
setelah melewati Damian dan bertos ria. Seperti mereka sekongkol deh. Zzzz.
"Selamat datang di Pack-ku, sayang." Damian menjulurkan tangannya ke
arahku. Aku tersenyum simpul lalu menyambut tangannya. Dia mengajakku masuk ke
dalam istananya, tapi sebelum itu aku melihat mobil Andrew yang pintunya
terbuka itu. Masih belum ada tanda-tanda kehidupan dari sana. Ah biarkan saja
kali ya. Chesisisisisisisiisss.
"Mau
panen anggur? Sedang berbuah lebat," ucap Damian seraya menggenggam
tanganku erat.
"Anggur?! Oh ayo ayo! Aku suka sekali dengan anggur!!" balasku
bersemangat. Oh anggur, love you so much.
"Tapi sebelum itu, aku ingin memperkenalkanmu dengan kedua orangtuaku
sayang. Kemari sebentar." Damian menarik tanganku lalu kami berjalan
menuju ke suatu tempat. Aku tidak tahu mau kemana. Desain rumah ini tidak
terlalu jauh berbeda dengan rumah Andrew. Sama-sama mewah.
Terdengar
suara candaan dan tawa dari ruangan luas yang ku duga ini ruang keluarga.
Dengan TV yang layar LCD 70 inch yang super slim dan jernih itu. Wew.
Seandainya dirumahku ada TV sebesar itu. Belum lagi sofa berbentuk melingkar
tetapi di depannya ada ambal besar terkulai dilantai marmer itu. Ruang keluarga
yang hangat.
Aku
melihat Sophie sedang tertawa bersama dua orang pria wanita paruh baya yang
tampan dan cantik, walaupun usia mereka sudah tidak muda lagi.
"Ayah,
ibu." panggil Damian. Seketika 3 orang itu menoleh ke arah kami. Terkejut,
ya ekspresi kedua orangtua Damian saat melihatku.
Damian
mengajakku mendekat lalu duduk di sofa itu
"Ayah
Ibu, ini yang namanya Gwen Stacy." kata Damian menunjukku. Aku bingung,
seperti sedang berada di depan mertua saja.
"Oh,
astaga Damian. Dia cantik sekali, beruntungnya anakku bisa bertemu denganmu
sayang." ucap ibu Damian memelukku erat. Ah aku jadi rindu dengan ibuku
dirumah. Apa kabar mereka ya?
"Damian,
apa benar yang kau katakan tadi pagi?"
"Benar
ayah, dia Mate-ku."
Aku
mendengar dalam diam saat ayah dan anak itu bicara. Sebenarnya aku muak
mendengar kata 'Mate' itu. Aku benar-benar tidak mengerti dan aku mau kembali
ke kehidupanku yang normal itu!!
"Ehm.
Halo? Halo Gwen?"
Eh?
Siapa yang bicara padaku? Suara wanita?
"Wuaaaaa!!!
Akhirnya aku bisa bersuara!!"
Loh?
Siapa yang bicara sih? Astaga, aku takut!! Suara wanita itu seperti berasal
dari dalam tubuh dan pikiranku.
"Sayang?"
panggil Damian. Dia melambaikan tangannya ke arahku. Apa aku melamun?
"ASTAGA,
MATE MATE!?"
Degupan
jantungku berdetak amat kencang dan tubuhku bergetar hebat. Aku bisa mencium
aroma perpaduan coklat dan kayu-kayuan menjadi satu. Aku menatap Damian, apa
ini baunya? Lalu aku mengenduskan hidungku ke arah tubuhnya. Damian hanya
menatapku bingung. Bukan, Damian tidak mempunyai bau seperti itu.
"MATE
!!! AAAUUUUUUUUU!!"
Aku
memegang kepalaku kuat-kuat. Terdengar auman serigala betina dikepalaku,
membuat telingaku berdenging kuat.
"GWEN
COLLINS, KAU MENINGGALKANKU!?"
Tiba-tiba
aku melihat Andrew datang dengan raut wajah marah, dia sedang berkacak pinggang
melihatku. Mataku berkunang-kunang, pandanganku kabur. Andrew mendekat ke
arahku dan hendak memeluk tubuhku tetapi Damian mencegahnya. Dia sedang berbicara
sesuatu dengan Andrew.
"Astaga,
Gwen. Matamu berubah warna!!"
PART 14
"Astaga,
Gwen. Matamu berubah warna!!" teriak Sophie sambil menunjuk mataku.
Kepalaku masih pusing, sedangkan wajah Andrew dan Damian terlihat seperti habis
menang lotere. Tersenyum lebar. Mereka berdua serempak menggenggam kedua
tanganku.
"Matamu
sangat indah, sayang. Berwarna biru cerah." seru Andrew sambil mengelus
pipiku. Biru? Perasaan warna mataku hitam deh. Salah lihat kali Sophie dan
Andrew ini.
"Bagaimana rasanya sayang?" Nah sekarang Damian yang bertanya. Aku
masih bingung maksud arti pertanyaan Damian apa sih?
"Kepalaku
sedikit pusing," ucapku melepaskan tautan tangan mereka dan mengucek mata
beberapa kali.
"Apa
mataku masih berwarna biru?" tanyaku lagi. Andrew dan Damian mengangguk.
Ya Tuhan, kembalikan mataku menjadi normal kembali.
"Wuaaahhhhhhhhh
Mate-ku tampan sekali.." Entah refleks darimana, mataku beralih ke
Andrew. Wajahnya kok berubah ya? Tampan, sexy dan sangat menggoda iman. Astaga,
bibirnya itu pasti nikmat dan menggiurkan. Belum lagi tubuh kekar dan six-pack-nya
itu, pasti sangat nyaman dan hot. Eh?
WAIT,
GWEN !! STOP THAT DIRTY MIND ! Kau bukan wanita mesum seperti ini. No
no no, It's not like me.
"Eh,
Mate??" ucapku tak sadar saat mendengar kembali suara lembut wanita yang
berada di dalam tubuhku.
"Iya
sayang?" jawab Andrew dan Damian bersamaan. Memangnya aku memanggil mereka
berdua apa?!
"Kenapa
pria baju abu-abu ini memanggil kita sayang, Gwen? Padahal kan dia bukan
Mate-ku. Tapi aku suka dengannya, dia tampan. Jadi aku suka. Eh?" oceh
wanita itu panjang lebar. By the way, Dia membicarakan Damian. Sophie
dan kedua orang tua Damian hanya memandangi kami bertiga dengan raut wajah yang
sulit ku artikan.
"Damian,
ayah ingin bicara denganmu." kata pria paruh baya itu langsung berdiri
dari tempatnya. Damian menoleh sebentar lalu beranjak mengikuti kemana ayahnya
itu pergi.
"Sebentar
sayang, habis ini kita panen anggur, Oke." ujar Damian seperti hendak
mencium pipiku tetapi Andrew langsung mendorong pelan wajah Damian agar
menjauh. Damian hanya mendengus kesal lalu meninggalkan kami. Tak lama dari
itu, ibu Damian pun pergi menyusul mereka. Mau membicarakan apa ya mereka?
"Andrew,
apa yang terjadi denganku?" tanyaku bingung. Andrew segera memeluk tubuhku
erat. Sophie sudah duduk manis di sampingku. Gadis kecil berumur 10 tahun ini
memegang tanganku lembut.
"Kau
tahu sayang? Gary sangat senang, dia ingin menggantikanku sekarang. Terima
kasih katanya," ucap Andrew disela-sela rambutku.
"Gwen,
mau kau beri nama apa Wolf-mu?" tanya Sophie. Aku melepaskan
pelukan Andrew walaupun sedikit tak rela dan membelalakkan mataku spontan.
"HAH?
WOLF? Maksudmu aku wolf?!" teriakku.
"Hahahaha
kau lucu sekali, Gwen. Wolf itu aku."
Bukannya
Sophie tapi suara wanita di dalam pikiranku lah yang menjawab. Astaga, aku
seperti berkepribadian ganda. Sophie tertawa keras melihat responku yang
mungkin baginya itu lucu.
"Andrew,
tolong hentikan suara wanita di dalam pikiranku. Aku takut. Apa aku mulai
gila!?" tanyaku lagi. Aku mulai panik, aku tidak mau berubah menjadi
makhluk serupa seperti Andrew ataupun Damian. Ya Tuhan..
Andrew
ikut tertawa, "Itu alamiah sayang, ada wolf di dalam tubuhmu.
Mate-ku, Mate Gary juga." jawabnya seraya mengelus kepalaku.
Sejak
kapan ya aku jadi suka dengan sentuhan Andrew. Masalah tentang wolf di dalam
tubuhku pun hilang begitu saja. Rasanya aku bisa menerima hal se-absurd itu
jika Andrew menyentuhku. Tubuhku menggeliat geli dan di perutku seakan ada
ribuan kupu-kupu terbang. Tanpa aku sadari, aku meraih tangan Andrew dan
menempatkannya di pipiku. Hangat~~
Sophie
berdecak dan pergi sambil menggerutu, "Dimanapun kalian berada, bisakah
kalian bermesraan jangan di depanku!? Aku masih kecil huh," katanya. Aku
tertawa pelan. Maaf Sophie, aku juga tidak tahu kenapa aku bisa sejalang ini.
Andrew
mengusap pipiku lembut, matanya yang teduh menatapku intens. Lama kelamaan
wajah Andrew mendekat hingga nafasnya menerpa wajahku. Sontak aku menutup
mataku, terdengar kekehan pelan dari Andrew. Dasar! Lambat tapi pasti bibir
Andrew menempel dibibirku. Dia melumat bibirku hati-hati seakan ingin menunggu
balasan dariku. Aku tersenyum simpul lalu mulai membalas perlakuannya itu
sedikit demi sedikit. Ciuman-ciuman kecil dan lama pun terjadi. Baru kali ini
aku sangat menikmati ciuman Andrew. Hihiw. Tak beberapa lama kemudian, Andrew
berhenti melumat bibirku. Tetapi bibirnya masih menempel, dia seperti ingin
berbicara sesuatu.
"Mau
pulang, sayang? Kita buat si kecil yuk," katanya. Si kecil? Maksudnya?
Kecil? Buat? Mungkin anak? Anak kami? Hah!!!
"Andrew
mesum!!!" Aku pun mendorong tubuh Andrew dan berlari meninggalkannya. Aku
belum siap kalau melakukan itu, bukannya aku tidak mau. Aku mau. Eh!!? Tidak,
aku tidak mau, tapi aku ingin. Sama saja, Gwen!! Baka!
*****
Damian's POV
"Ayah,
ada apa?" tanyaku saat aku, ayah dan ibu sudah berada dikamar utama rumah
ini. Wajah ayah sangat datar menjurus ke marah dan wajah ibu sebaliknya,
khawatir.
"Maksud
kamu apa? Ayah tidak sebodoh itu melihat apa yang baruan terjadi, Damian! Gadis
itu--"
"Dia memang Mate-nya Andrew, ayah." potongku langsung. Wajah ayahku
Joseph menggelap, rahangnya mengatup rapat.
"Damian,
kamu tidak bermaksud merebut Mate Andrew kan nak?" tanya ibuku pelan. Aku
menggeleng ragu.
"Aku
tidak tahu bu, aku juga bingung." jawabku lirih.
"Jangan
bermaksud untuk balas dendam dengan kejadian 7 tahun lalu, Damian. Ayah tidak
senang kamu begitu. Ini sudah kemajuan yang sangat pesat melihat Andrew ingin
menginjakkan kakinya dirumah kita lagi." kata ayahku bijak.
Aku
berpikir kembali. Sungguh aku juga tidak mengerti maksud semua ini. Aku
menyayangi Gwen dan saat pertama kali melihat gadis itu, tubuhku bergetar
hebat. Bukankah itu pertanda kalau memang dia Mate-ku?
"Aku
tidak tahu, ayah." jawabku. Kulihat ayah mendengus kesal lalu hendak keluar
dari kamar ini, sebelum itu dia melihat ke arahku lagi.
"Terserah
kamu saja, tapi jangan paksakan kehendakmu. Ikuti alur Moon Goddess ingin
bagaimana, Damian. Ingat pesan ayah." ucap nya lalu pergi ke luar. Ibuku
mendekatiku dan memeluk tubuhku.
"Bersikaplah
selayaknya seorang Alpha yang baik bagi Pack-nya, Nak. Ibu menyayangimu,"
"Baiklah,
bu." Ibuku mengelus pipiku lembut lalu pergi menyusul ayah. Aku harus
bagaimana? Apa aku harus mengalah demi Andrew? Tidak dipungkiri, Gwen memang
lebih memilih lelaki itu daripada aku. Apakah aku harus kehilangan mate-ku
lagi?
"Aku
ingin dengannya, Damian. Dia kekasihku, apakah kau tidak kasihan padaku
huh?"
Tiba-tiba,
wolf-ku si Sam melonjak marah dan mengaum keras. Aku tahu dia pasti tidak mau
kehilangan Mate-nya untuk kedua kali. Coba saja kalau Gwen bukan Mate-nya
Andrew, aku pasti tidak terlalu susah berpikir untuk menikahinya sekarang.
"Jadi
kita harus mempertahankan Gwen?" tanyaku balik. Sam mengiyakan dan
menjawab jika Gwen me-reject kami sebagai Mate-nya, baru Sam menyerah. Bukankah
gadis itu belum menentukan pilihan? Baiklah, akan kucoba. Setelah sedikit
berunding dengan Sam, aku pun keluar dari kamar utama itu dan langsung menuju
kebun anggur di belakang. Bahkan dari jarak sejauh ini, aku masih bisa mencium
aroma Strawberry dari tubuh Gwen. Harum dan menyegarkan. Saat aku sudah
sampai, sekali lagi aku harus menahan rasa cemburu beserta iri melihat adegan
mesra antara Andrew dan Gwen. Wajah gadis itu terlihat sangat bahagia saat
bersama dengan Andrew. Sedangkan saat bersamaku, wajah Gwen terlihat biasa saja
dan kadang senyuman dipaksakan. Mungkin dia ingin menjaga perasaanku saja.
"Aku
tidak tahan, Sam. Apa aku harus melepaskannya? Tidak apa kalau Gwen memang
ingin bersama dengan Andrew, mungkin jalan takdir kita tidak bisa memiliki
Mate."
"Aku
tidak mau, Damian! Aku mohon, bertahanlah sekali lagi."
"Aku
tidak tahu, Sam. Maafkan aku." Aku pun melangkahkan kaki mendekati mereka
bertiga, Gwen, Andrew dan Sophie adiknya. Gwen sedang memilih-milih buah Anggur
yang mungkin katanya manis. Terkadang dia memakan anggur itu dan menyuapi ke
dalam mulut Andrew.
"Sudah
banyak anggurnya?" tanyaku ketika sudah berada di belakang punggung gadis
cantik ini. Gwen terlonjak kaget saat melihatku tetapi setelah itu dia
tersenyum.
"Sudah,
kau mau? Ini manis sekali.." katanya sambil menyodorkan satu buah berwarna
ungu itu ke arah mulutku. Tanpa ragu-ragu, aku pun memakan buah itu. Ughh,
manis sekali jarinya.
Andrew
melihatku tajam, aku tahu dia marah melihat Gwen juga menyuapiku. Andai
kekuatanku bisa digunakan, pasti aku sudah melupakan ingatan Andrew tentang
Mate-nya ini. Sayang sekali tidak bisa, tidak ampuh untuk seorang Alpha yang
kuat seperti Andrew.
"Manis
kan!?" seru Gwen senang. Dia tersenyum puas lalu ingin menyuapiku lagi
tetapi Andrew langsung menaruh mulutnya itu ke depan jari Gwen. Menyerobotku.
Kurang ajar huh!
"Iya,
sayang. Manis.." ujar Andrew tersenyum pada Gwen dan mencibir ke arahku.
Menyebalkan! Iya aku sudah lupa, dia memang menyebalkan dari dulu.
"Andrew!
Huh sudahlah." Sepertinya Gwen merajuk, dia meninggalkan kami berdua lalu
pergi dengan Sophie ke bagian kebun yang lain.
"Sayang,
tunggu!"
Andrew
ingin mengejarnya, tetapi aku menahan pundaknya cepat.
"Tunggu,
aku ingin bicara." ucapku. Andrew menaikkan satu alisnya ke atas, seakan
tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya barusan.
"Apa?"
tanyanya. Aku diam sejenak.
"Apakah
Gwen sudah berubah?" tanyaku balik.
Andrew
tidak mengerti sepertinya.
"Maksudmu?"
"Maksudku, Gwen tadi? Aku yakin ada wolf di dalam dirinya."
balasku. Andrew berdeham sebentar lalu menghadap ke arahku.
"Iya,
mungkin karena 1 minggu lagi Bulan Purnama jadi kekuatan Wolf-nya
semakin kuat." jawab Andrew tenang. Baru kali ini sejak kejadian 7 tahun
kami bicara berdua seperti biasa.
"Apakah
kau mencintainya?"
"DAMIAN
JANGAN!!!" teriak Sam di dalam pikiranku. Serigala putih itu tahu pasti
maksudku.
Andrew
mengerutkan dahinya tetapi wajahnya menjadi lebih tegas sekarang.
"Tentu saja aku mencintai Gwen! Sangat mencintainya. Dia Mate-ku,
Damian." jawabnya mantap.
Aku
mengatur nafasku supaya lebih tenang, maafkan aku Sam.
"Berjanjilah
untuk menjaganya, Drew."
"Tidak
kau suruh pun aku pasti melakukannya."
"Baguslah
kalau begitu, Drew. Sekarang, aku me-reject Gwen sebagai Mate-ku."
ucapku. Sam menggeram marah dan mengaum kencang. Dia tahu kalau aku ingin
bicara seperti itu. Sam mendesak ingin keluar dari tubuhku, tetapi dengan
sekuat tenaga aku mengunci dirinya di dalam tubuhku. "Terima kasih,
Damian. Dan... Maafkan aku. 7 tahun yang lalu.."
"Sudahlah
Drew, aku sudah tahu. Aku tahu kalau Sheila yang merayumu. Maafkan aku juga
karena aku langsung salah paham padamu."
Andrew
tersenyum lega. Terlihat sekali kalau di wajahnya itu sudah tidak ada lagi
tersimpan rasa tak enak padaku. Aku melirik Gwen dan Sophie, mereka berdua
tersenyum melihat kami.
Maafkan
aku, Sam. Tapi ini mungkin jalan yang terbaik untuk kedua Pack.
"Silahkan
bersenang-senang. Aku masuk dulu." ucapku. Aku menepuk pundak Andrew
sebentar lalu pergi berjalan ke dalam rumah.
"Thanks
Damian dan itu kecupan terakhirmu untuk Gwen!" ancam Andrew setelah
melihatku mencium pipi Gwen saat aku melewatinya tadi. Aku terkekeh, sungguh
hatiku sekarang sudah lega rasanya.
"Aku
benci denganmu!"
Tiba-tiba
aku kembali mendengar gerutuan Sam. Rupanya dia berhasil membuka diri dari
kunciku tadi. Aku tidak meresponnya, lebih baik diam saja.
"Awwww!!"
BRAAAKK!
Aku
menoleh ke belakang, rasanya tadi punggungku terbentur sesuatu. Tapi rasanya
apa ya, kok lembut sekali?
"Aduuuuhhhh
kenapa ditengah-tengah ada dinding sih?"
Aku
melihat ke bawah, ada seorang gadis muda yang tersungkur, ku perkirakan umurnya
sekitar 15 tahun-an. Siapa ya? Apa pelayan baru? Aku tidak kenal. Gadis itu
mengusap-usap dahinya seperti sangat kesakitan. Padahal dia yang menabrak
punggungku.
Dia
berdiri dengan susah payah lalu bersikap seakan membersihkan pantat indahnya
itu dari debu. Oh Shit! Baru melihat tubuhnya saja, aku bergairah
begini. Apa yang salah denganku?
"Eh
bukan dinding ya? Wahh ada Paman tampan! Maaf, apa disini ada Tuan Lucas?"
tanya gadis bertubuh kecil itu sopan. Dia imut sekali, rasanya ingin ku
cubit-cubit pipinya yang gembul itu.
"Lucas
biasanya ada dirumah kaca sekarang, kau cari saja disana." jawabku tenang.
Dia menggerakkan rambut panjangnya yang dikuncir kuda itu. Lucu!!! Sungguh,
gadis ini sangat menggemaskan.
"Terima
kasih. Aku kesini untuk mengantarkan bibit bunga Tulip pesanan Tuan Lucas,
paman. Dah sampai jumpa!" katanya riang lalu meninggalkanku sambil membawa
keranjang kecilnya itu.
Dengan
cepat aku meraih tangannya, "Tunggu, apa kau tahu jalannya?"
Dia
mengerjapkan matanya lalu menggeleng, dia manis sekali. "Tidak, paman. Aku
bahkan daritadi keliling terus. Mau bertanya tapi aku malu, Paman."
Aku
tersenyum, "Ayo ku tunjukkan padamu jalannya. Namamu siapa gadis
kecil?"
"Paman!
Aku bukan gadis kecil, umurku sudah 24 tahun!!!!" teriaknya. Aku sontak
terkejut, 24? Bahkan dia lebih tua dari Gwen. Tetapi wajah dan tubuhnya sangat
tidak mendukung, wajahnya terlalu imut dan cantik seperti gadis belia.
Melihat
raut wajahnya yang marah itu membuatku ingin tertawa. Apalagi dia terus
memanggilku Paman, apa wajahku setua itu? Padahal umur kami hanya berbeda dua
tahun.
"Iya
maafkan aku, namamu siapa Nona manis?" tanyaku lagi. Wajahnya tersipu
malu. Cantik!!!!!
"Namaku
Della, Paman. Namamu?"
"Damian,
Della."
PART 15
Andrew's POV
"Sayang!!
Berhenti!! Apa kau tidak lelah hah!?" tanyaku setengah berlari kecil saat
mengejar Gwen. Sudah siang hari, terik matahari yang tipis mulai menjalari
kebun buah milik Pack Damian ini. Ya walaupun udaranya masih saja tetap dingin.
Kekasihku yang cantik jelita itu terus berlarian kesana kemari seperti sedang
berada di taman bermain. Padahal kami lagi ditengah buah-buahan yang berukuran
besar berwarna hijau garis-garis ini, apa lagi kalau bukan buah Semangka.
"Sebentar
saja Andrew!! Kapan lagi coba!" teriak sayangku itu dari kejauhan. Apa dia
tidak lelah? Ini pasti kekuatan wolf-nya. Kekuatan wolf akan semakin kuat jika
ingin mendekati bulan Purnama. Ah rasanya aku tidak sabar melihat bagaimana
wujud dari wolf Mate-ku itu. Pasti cantik sekali.
"Andrew!!"
Aku
dikagetkan oleh teriakan Gwen tepat di belakang tubuhku. Eh!!? Kapan dia
berlari ke arahku? Kok aku tidak sadar? Perasaan dia tadi masih di ujung sana.
Sekitaran 20 m dariku.
"Sayang,
kenapa kau bisa di belakangku?" tanyaku bingung. Aku juga baru sadar kalau
dia lagi membawa semangka yang berukuran besar di depan perutnya itu. Dengan
sigap, aku mengambil semangka itu darinya, aku takut kalau semangkanya terjatuh
pasti kaki gadisku akan sakit sekali.
"Ehmm,
perasaan aku berjalan tadi. Tidak lihat ya? Eh Andrew, apa boleh kita membawa
semangka itu?! Bolehkah? Boleh?" seru Gwen sambil menunjuk semangka yang
tengah aku bawa. Dia terlihat gembira sekali.
"Ya,
tentu saja boleh sayang. Nanti aku yang bicara dengan Damian."
"Sungguh?
Yeay!! Terima kasih, Drew!" Gwen berlonjak kesenangan dan tanpa sadar
mengecup pipi kananku. Astaga, untuk pertama kalinya Gwen menciumku! Gary,
serigala hitam itu sudah mengaum kencang setelah Gwen mengecup pipiku tadi.
"Aku
masuk dulu, mau menyusul Sophie. Katanya dia tadi mau memotong melon. Dah Andrew.."
ucap Gwen riang berjalan cepat masuk ke dalam rumah Damian.
Astaga!
Dia...
"Tepat
sekali, dia mewarisi kekuatanmu Drew. Hahha hebat sekali Mate-ku," kata
Gary.
Aku
pun sangat terkejut melihat Gwen tadi, mungkin dia tidak sadar kalau dia bisa
berpindah tempat secepat kecepatan cahaya itu. Takutnya karena kemarin dia
digigit oleh Damian juga, kekuatan Damian pun ikut ke dalam tubuh Gwen.
Kekuatan dua Alpha bersatu, apa jadinya? Pasti dia bisa mengalahkan siapapun,
termasuk diriku.
"Sebaiknya
kita kontrol Mate kita, Drew. Aku tidak mau kemungkinan terburuk itu
terjadi."
"Aku
tahu, Gary."
Aku
yakin Gwen tidak seperti itu, dia tidak sanggup menyakiti orang lain. Gadis itu
tipikal gadis yang lembut dan tidak tegaan. Ah sudahlah lihat saja nanti. Aku
berharap wolf di dalam tubuhnya itu sama baiknya dengan Gwen.
Uh,
untuk apa aku lama-lama melamun di kebun ini, lantas aku pun pergi menyusul
Gwen masuk ke dalam rumah Damian sambil membawa semangka berukuran besar di
depan perutku ini. Saat aku masuk ke dalam rumah Damian, aku lihat pria
menyebalkan itu sedang bercanda dengan seorang gadis kecil yang ku perkirakan
berumur 15 tahun-an. Mereka berdua mengobrol sangat dekat, bahkan tak jarang
aku melihat Damian tertawa keras. Sudah lama aku tidak melihat tawanya itu.
Gadis kecil itu juga seperti sedang memberi guyonan-guyonan lucu hingga bisa
membuat Damian tertawa. Mereka cocok sih, tapi bukannya umur mereka jauh
berbeda? Aku mendekati mereka dengan terus membawa semangka di depan perutku.
Mereka berdua belum menyadari keberadaanku. Ya, aku sedang berada di belakang
sofa tempat mereka duduk.
"Terus
Paman, kau pasti tidak percaya. Nenek tua itu mampu mengangkat dua pot tanaman
sekaligus. Hebat kan!" seru gadis kecil itu. Damian tertawa pelan melihat
betapa serunya gadis itu bercerita.
Eh!?
Astaga, Damian kau benar-benar!
Aku
tercekat saat melihat tanda di leher gadis berkuncir kuda itu. Damian sudah
mengklaimnya! Demi Moon Goddess!
"Ehem.."
Dehamanku mampu membuat dua insan itu menoleh. Wajah gadis kecil itu imut sekali,
tetapi masih cantik kekasihku tercinta. Dia melihatku dengan kerutan di
dahinya. Sedangkan Damian merasa kesal karena kegiatannya terganggu olehku.
"Ada
apa, Drew?" tanya Damian sinis. Aku tahu dia ingin berkata, "Jangan
mempesonanya, dia milikku!"
Haha
tentu saja tidak, aku sudah punya Gwen!
"Damian,
istriku bilang kalau dia ingin membawa buah ini." ujarku. Gadis kecil itu
melihatku sebentar lalu matanya beralih kembali ke Damian. Kurasa gadis itu
juga sedikit respect dengan Damian.
"Tentu,
silahkan bawa pulang buah apa saja yang kalian mau." jawab pria jelek itu.
"Kau
gila! Kau sudah mengklaim anak kecil, Damian." Aku menghubungi Damian
lewat mindlink kami yang entah sejak kapan kembali terhubung.
"Anak
kecil? Kurasa kau salah, Drew. Dia bahkan wanita dewasa."
"Jangan
bercanda, Damian. Apa dia mate-mu?" tanyaku lagi. Damian menggeleng
pelan ke arahku lalu terkekeh. Gadis kecil itu melihat kami bergantian, raut
wajahnya bingung.
"Dia..
Jodohku." jawab Damian seraya tersenyum ke arah gadis itu.
"Apa
Sam setuju kau mengklaimnya?"
Belum
sempat Damian menjawab, gadis kecil itu menunjuk kami bergantian. Dia menghela
nafas gusar, "Kenapa kalian berdua saling tatap menatap? Jangan-jangan...
Astaga, Paman! Kalian gay!?" ucap gadis kecil itu sambil berdiri. Refleks
aku dan Damian tertawa.
"Tidak,
gadis kecil. Aku sudah mempunyai istri." jawabku.
"Andrew
dan aku hanya berbicara lewat pikiran, Della. Aku tidak gay. Aku menyukai
wanita, khususnya sepertimu." ucap Damian mengerlingkan matanya, seperti
ingin menggoda gadis kecil itu. Siapa namanya tadi? Della. Eh, wajahnya blushing.
Oke, kurasa mereka memang saling tertarik.
"Sudahlah
Paman. Apa benar kalian berbicara lewat pikiran? Apa aku bisa juga? Eh tunggu,
siapa yang kau sebut dengan gadis kecil tadi? Aku sudah 24 tahun!" ujar
Della dengan nada meninggi. Dia bohong? Tidak mungkin dia lebih tua dari Gwen!
Pantas saja Damian bilang dia wanita dewasa.
"Kau
memanggilnya Paman?" Aku menahan tawaku. "Kalian bahkan hanya terpaut
dua tahun. Hahaha.." lanjutku diiringi dengan tawa. Della terkejut dan
memandangi Damian dengan dahi berkerut. Damian mengulum senyum malu-malu.
"Sudah,
lanjutkan obrolan kalian. Aku akan menyusul Sophie dan Gwen di dapur. Kalau aku
tidak sempat pulang hari ini, kami akan menginap Damian." ucapku sambil
berjalan gontai meninggalkan mereka.
"Ya terserah kalian saja!" Damian sedikit berteriak merespon ucapanku
yang hanya ku balas dengan anggukan. Semoga kau bahagia sekarang, Damian.
Aku
berjalan mengikuti insting penciumanku yang menangkap wangi alami strawberry
dari tubuh Mate-ku. Rumah Damian tidak berubah, aku masih hafal letak-letak
tempat di seluruh rumah ini. Mengingat dulu aku hampir tiap minggu menginap di
rumahnya dan tidak kesini lagi selama 7 tahun. Ah sudahlah, aku tidak mau
mengingat itu lagi toh masalahnya sudah selesai dan hubunganku dan
Damian kembali terjalin baik. Bayang-bayang sosok wanita bersama anak kecil
yang ku yakin itu Sophie sudah terlihat dari kaca buram ini. Segera kuletakkan
semangka ini di atas lantai murmer dapur dan berjalan kembali mendekati
kekasihku. Gwen dan Sophie sedang memotong buah melon menjadi bentuk
kubus-kubus kecil. Terkadang mereka memakannya dan memuji betapa manisnya buah
itu. Mereka berdiri di depan pantry dapur.
"Andrew,
mau?"
Aku
terkejut saat Gwen tiba-tiba membalikkan tubuhnya ke arahku. Bola matanya belum
berubah, masih biru cerah. Aku yakin wolf di dalam tubuhnya semakin kuat.
"Kenapa
kau tahu aku di belakangmu, sayang? Padahal tadi ingin ku kasih kejutan,"
kataku dengan sigap memeluk pinggangnya. Kulirik Sophie, adik kecilku itu
memutar bola matanya jengah sambil memakan buah melon.
"Entah,
aku bisa mendengar derap langkahmu. Lalu suara wanita di dalam pikiranku bicara
MATE MATE terus. Membuat kepalaku pusing," jawab Gwen gusar. Aku tahu
manusia biasa sepertinya pasti bingung. Bagaimana nanti saat malam bulan
purnama? Saat wolf di dalam tubuhnya mengambil alih sepenuhnya. Aku takut Gwen
akan syok. Jujur saja, aku ikut gemetar memikirkannya.
"Sabar
sayang, itukan hal wajar. Apa kau sudah beri nama wolf-mu itu?"
Aku
melepas pelukanku dan duduk di kursi meja makan. Gwen berinisiatif untuk
mengambil sepiring kubus-kubus melon itu lalu menaruhnya di depanku. Gwen juga
duduk di sampingku, diikuti Sophie yang duduk di depanku. Tetapi Sophie hanya
diam saja.
"Drew,
apa aku akan berubah menjadi wolf juga? Sepertimu?" tanya Gwen khawatir.
Dia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan kalau dia gugup.
"Aku
tidak bertanya padamu!" teriak Gwen. Aku dan Sophie sedikit tercengang
melihat Gwen berteriak tadi. "Upss, maaf Andrew. Wanita di dalam tubuhku
bilang, 'tentu saja' dengan nada yang menyebalkan." lanjut Gwen.
Aku sudah tahu sih sebenarnya.
"Sebaiknya
kau mulai terbiasa dengan suara-suara itu, sayang. Aku juga begitu, Gary juga
terkadang bicara yang tidak penting-"
"Sialan
kau, Drew!"
Aku
tertawa pelan mendengar umpatan Gary. Tapi memang benar, Gary sering bicara
yang tidak penting untuk didengar. Dia bahkan sering tertawa sendiri dan
menangis tanpa sebab. Dulu aku merasa wolf-ku gila tetapi ternyata tidak.
Syukurlah.
"Jadi
aku harus bagaimana, Drew. Hmm, suara wanita itu bahkan terus bicara. Kau tidak
tahu saja kalau dia bilang--" Gwen berhenti bicara, pipinya memerah.
"Tidak jadi," lanjutnya.
"Aku
rasa, aku tahu apa yang wolf Gwen katakan. Dia bilang tubuhmu sexy, Drew."
"Kenapa
kau bisa tahu?"
"Kau
lupa, kami terikat hubungan batin, Drew." jawab Gary. Terdengar dari
nada bicaranya, Gary sepertinya ikut senang.
"Gwen,
sebaiknya kau mulai belajar memahami wolf di dalam tubuhmu." Tiba-tiba
Sophie ikut bicara. Nada bicaranya serius. Kadang aku berpikir Sophie dewasa
sebelum umurnya, pikirannya terlalu realistis. Tidak seperti anak seumuran
dengannya. Ini pasti bawaan gen dari ibuku.
"Bagaimana
caranya, Soph?"
Aku
hanya menopang wajahku dan melihat kedua gadis cantik di depanku ini.
"Hemm,
langkah awal. Coba ajak wolf-mu bicara. Beri nama dia.." tutur Sophie. Aku
mengangguk lalu beralih ke Gwen. Dia mengerutkan dahinya dan memejamkan mata.
Aku yakin dia mencoba berkomunikasi dengan wolf-nya melalui pikiran. "Dia
ingin di panggil Tris." ucap Gwen akhirnya. Aku tersenyum senang, Gwen
berhasil bicara melalui mindlink miliknya sendiri. Aku mau mencobanya
juga.
"Sayangku
cantik." panggilku. Gwen melihat lurus mataku, dia mengerutkan kembali
dahinya. Tiba-tiba dia memegang tanganku kuat.
"Andrew,
aku mulai gila! Tadi aku mendengar suaramu di pikiranku," serunya. Aku dan
Sophie tertawa.
"Itu
memang suaraku, sayang. Aku mencoba bicara denganmu melalui mindlink.
Dan ternyata bisa tersambung."
"Benarkah?
Aku coba ya." katanya polos.
"Andrew
jelek,"
Aku
melotot padanya, "Dasar kau ya!" aku pun mencubit pipinya gemas
sampai dia meringis kesakitan.
"Hebat,
kita seperti agen rahasia! Jadi bisa main rahasia tanpa orang tahu. Good!"
ucapnya kembali bersemangat.
"Tris?
Nama yang bagus. Gary juga menyukainya." ucapku. Mata Gwen berbinar
senang, warna biru cerah berganti menjadi biru gelap. Dia.. Cantik. Tapi entah
kenapa hatiku was-was menanti pergantian shift Gwen nanti.
Malam
itu kami bertiga menginap di rumah Damian. Papa Joseph dan istrinya sangat
senang saat aku bilang ingin menginap. Dengan senang hati mereka menjawab iya.
Sayangnya, aku tidak suka karena Gwen tidak mau sekamar denganku. Dia lebih
memilih sekamar dengan Sophie. Huh, padahal tadi aku lihat sendiri dia melawan
ego wolf-nya untuk tidur denganku. Tetapi gengsi Gwen lah yang menang.
Esok
harinya, setelah berpamitan dengan kedua orang tua Damian beserta anak
tunggalnya yang sok tampan itu, kami pulang ke Silver Moon. Gwen tertidur damai
di pelukanku sepanjang perjalanan, seringkali dia mengigau dan berkeringat
dingin. Apa dia bermimpi buruk?
"Sayang,
kita sudah sampai.." ucapku sembari menepuk pipi Gwen pelan beberapa kali.
Dia menggeliat lalu mengerjapkan matanya. Bola matanya masih berwarna biru. Aku
rasa kekuatan wolf di dalam tubuhnya kuat sekali, wolf itu selalu ingin
mengambil alih tubuh Gwen. Apa ini efek karena tubuhnya kemarin di klaim oleh
dua Alpha sekaligus?
"Nghh..
Kita sudah sampai? Aku masih mengantuk.." katanya serak. Tak lama
kemudian, dia terlelap lagi. Tidak ada pilihan lain, aku pun keluar dari mobil
sambil menggendong Mate-ku ini.
Devan
berjalan di belakangku, sedangkan Sophie sudah berlari ke dalam rumah.
"Alpha,
di dalam ada Tuan dan Nyonya." kata Devan sopan. Aku terdiam sebentar,
tumben sekali orang tuaku itu mengunjungiku. Mereka kan lagi liburan. "Sejak
kapan?"
"Dari
kemarin, Alpha." Aku hanya mengangguk lalu menyuruh Devan untuk pergi.
Setelah itu, aku pun masuk ke dalam rumah, orang tuaku sudah menungguku di
ruang keluarga.
"Ayah,
ibu?" panggilku. Mereka berdua menoleh ke arahku. Tetapi raut wajahnya
terlihat cemas sekali.
"Syukurlah
kau sudah pulang, nak. Ibu khawatir sekali." ucap ibuku. Aku bingung
awalnya tetapi kata ayahku ada yang harus di bicarakan. Penting. Jadi kutaruh
Gwen terlebih dahulu di kamarku lalu kembali bergabung dengan orang tuaku.
"Ada
apa, ayah?" ucapku.
"Sebaiknya
jangan biarkan siapapun dari Pack kita keluar dari teritory kita, Drew.
Sekelompok rogue besar-besaran sedang gencar menyerang." ucap ayahku.
Aku
menghela nafas sebentar, "Jangan khawatir, yah. Aku bisa menanganinya,
warrior kita jauh lebih banyak daripada sekumpulan rogue." ucapku tenang.
Ayahku menggeleng pelan.
"Masalahnya
sekumpulan rogue itu sudah berkumpul dengan Pack-Pack kecil. Jumlahnya melebihi
warrior kita." balas ayahku. Sial, pantas saja orang tuaku cemas. Memang,
bukan satu atau dua pack kecil saja yang iri dengan Pack-ku dan Pack Damian.
Tapi ratusan. Aku tidak percaya kalau mereka bisa sampai berpikir pendek untuk
berkumpul dengan para rogue. Bodoh! "Tenang saja, ayah. Hal ini aku akan
bicarakan dengan Damian. Ayah dan ibu tenang saja." ucapku mantap. Ibuku
tersenyum lalu memelukku lembut.
"Ayah
senang kau dan Damian sudah berbaikan seperti dulu, Drew. Setidaknya masalah
sudah berkurang satu,"
Seharian
itu, aku mengobrol dengan orang tuaku sampai jam makan siang. Herannya, Gwen belum
terbangun juga. Dia tidur lelap sekali. Aku tidak tega untuk membangunkannya,
dia seperti kelelahan.
"Sayang,
bangun. Makan siang dulu.." bisikku tepat di depan telinganya. Dia
bergeming. Mau bagaimana lagi aku bangunkan? Hmm..
Aku
mendekati wajah pulasnya itu lalu menciumi seluruh permukaan wajahnya.
Terdengar erangan pelan dan saat aku mencium bibirnya, Gwen spontan bangun. Dia
mengucek matanya beberapa kali dan mata biru itu kembali menatap mataku.
"Andrew!
Hentikan.." ucapnya pelan.
"Bangunlah,
terus mandi sayang. Aku tunggu di meja makan." Aku pun mencium pipinya
sekilas lalu keluar dari kamar.
"Gary,
apa kau tidak khawatir? Matanya tidak berubah dari kemarin." Aku
menghubungi Gary, wolf itu juga dari tadi hanya diam saja, biasanya mengoceh
tak karuan.
"Entahlah,
Drew. Aku juga bingung, baru kali ini aku merasa khawatir jika dia berubah
menjadi wolf. Aku memikirkannya seharian." balas Gary. Oh pantas saja
dia diam saja. Gary pun merasakan hal yang sama denganku. Semoga tidak terjadi
hal yang buruk pada kekasihku itu.
****
Satu
minggu kemudian..
"Alpha,
tuan Damian datang." sapa Devan saat masuk ke dalam ruang kerjaku. Gwen
sedang asyik menonton televisi di temani dengan Sophie. Hari sudah menunjukkan
pukul 7 malam, kenapa Damian berkunjung malam hari?
"Dimana,
Dev?" tanyaku. Devan menyingkir sedikit lalu Damian datang dengan membawa
ck kekasih barunya itu, si Della.
"Andrew,
ada yang ingin kubicarakan. Penting." kata Damian serius. Aku mengangguk
lalu berdiri. "Sayang, kau bisa menunggu?" tanya Damian ke Della.
Mereka berdua bicara sebentar lalu tak lama Della bergabung dengan Gwen dan
Sophie. Aku dan Damian keluar dari ruang kerjaku lalu keluar dari rumahku. Kami
berdiri di depan pintu. Bulan purnama sebentar lagi.
"Hari
ini kan?" Damian bertanya tentang Gwen. Aku mengangguk pasti.
"Bukan menakutimu, Drew. Aku punya firasat aneh. Aku melihat Gwen tadi,
ada yang berbeda darinya." lanjut Damian. "Maksudmu?" tanyaku
seolah tidak mengerti. Padahal aku tahu, ada yang aneh memang. Dilihat dari
warna bola mata Gwen yang tak berubah seminggu ini.
Damian
menaikkan pundaknya acuh, "Berdoalah Mate-mu itu tidak pembangkang, Drew.
Aku yakin dia kuat."
"Itu
karenamu juga, kenapa kemarin kau ikut mengklaimnya. Kau tahu, tidak jarang
Gwen melupakan ingatanku walaupun tanpa dia sadari." ucapku kesal. Damian
terdiam sebentar, dia kelihatan terkejut mendengarku barusan.
"Kau
serius?" tanya Damian yang ku jawab dengan anggukan. Dia pasti bingung,
seorang Alpha seperti dirinya saja tidak bisa menggunakan kekuatannya padaku,
tetapi Gwen bisa. Aneh kan?
Damian
juga tidak tahu kalau Gwen juga kuat, kemarin dia tidak sengaja menabrak pohon
karena berlarian main dengan Sophie. Bukannya tubuhnya yang sakit malah pohon
itu yang tumbang. Gwen sendiri terkejut tetapi habis itu dia tertawa keras
karena baginya itu mustahil. Dia berpikir pohon itu hanya gabus saja.
Bulan
semakin menerangi kami, terdengar beberapa auman serigala dari hutan. Mereka
pasti merasakan kekuatan mereka bertambah saat bulan purnama ini.
"Andrew!"
Aku
dan Damian dikejutkan oleh pintu terbuka tiba-tiba menunjukkan sosok Sophie dan
Della berlari ke arah kami.
"Kenapa,
Soph? Dimana Gwen?" tanyaku panik.
Sophie
diam saja, sedangkan Della memeluk tubuh Damian ketakutan.
"Ada apa, sayang?" tanya Damian lembut. Della memeluk tubuh Damian
lebih erat lagi.
"Damian, Gwen berlari ke arah hutan lewat jendela tadi. Larinya kencang
sekali." jawab Della pelan.
Tubuhku
menegang, ini bahaya! Gary terlihat sangat khawatir dan berusaha mengambil alih
tubuhku.
"Sophie,
ajak Della masuk. Aku dan Damian akan mencari Gwen." ucapku dibalas dengan
Damian yang mengangguk. Lalu dia mencium kekasihnya dan berjalan di belakangku.
"Sayang, masuklah. Aku akan kembali." kata Damian. Della dan Sophie
akhirnya masuk ke dalam rumah. Setelah menutup pintu, aku dan Damian berubah
menjadi wolf kami. Sebelum itu, aku me-mindlink Devan untuk menjaga Pack
sementara waktu saat aku pergi.
****
Gary's POV
Setelah
aku berganti shift dengan Andrew, aku berlari kencang di ikuti Sam di
belakangku. Mengikuti insting penciumanku, aroma strawberry dari tubuh Gwen tak
jauh dari sini. Wilayah ini menuju tebing curam di ujung hutan dan langsung
menghadap lautan luas pembatas negara Alaska dengan benua lain. Jangan sampai,
Gwen terjatuh. Aku takut sekali.
Semakin
mendekati sosok Gwen yang tengah berdiri di atas tebing, aku menyuruh Sam untuk
ikut naik ke atasnya. Tetapi Sam menyuruhku tetap disini. Mengawasi perubahan
Gwen dari jauh saja.
Tidak
diragukan lagi, kekasihku itu cantik sekali. Aku beruntung mendapatkan Mate
secantik dan sebaik dirinya. Apalagi seluruh tubuhnya di sinari bulan purnama
malam ini. Membuat Gwen seperti bersinar dan bertambah cantik berkali-kali
lipat.
"Awas
saja, kau menyukai Gwen lagi, Sam!" ancamku. Sam tertawa mengejek.
"Tenang saja, aku sudah punya Della." jawabnya sombong. Cih.
Tak
lama kemudian, kami melihat tubuh Gwen meluruh. Dia seperti pingsan tetapi
sedetik kemudian dia berubah menjadi wolf yang.. ASTAGA !!!!
"AAAAUUUUUUUUUUUU...."
Terdengar auman pertama kali dari serigala Gwen. Tris. Tubuhku bergetar hebat.
Sensasi ini tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku melihat Sam, dia juga sama
sepertiku, kagum bercampur takut.
"Gary,
Mate-mu berbahaya!" Sam mengaum kencang lalu berlari kencang menaiki
tebing itu.
Sial!