Sunday, May 24, 2015

AM I ALPHA'S MATE?

PART 1
Gwen's POV
"Ya Tuhan, kenapa tiba-tiba hujan begini!?" rutukku saat aku berada di dalam busway. Aku baru pulang dari kerja sambilanku sebagai pelayan cafe di salah satu pusat kota Alaska. Pukul 9 malam, setiap harinya aku memang pulang jam segini.
Aku pindah dari Canada ke Alaska karena mendapatkan beasiswa di salah satu Universitas terkenal disini, beruntungnya aku karena keluargaku bisa dibilang kekurangan dalam segi materi. Jadi.. Ya disinilah aku. Membiayai hidup dengan uang sendiri dari upah sebagai pelayan cafe. Menyedihkan.
Namaku Gwen Stacy. Aku lebih suka kalu dipanggil Stacy daripada Gwen. Tetapi semua orang memanggilku Gwen, ya whatever lah. Terserah orang mau memanggilku apa.
Umurku 20 tahun, umur dimana anak-anak lainnya bersenang-senang dengan dunia malam, berfoya-foya, meminum alkohol dan sebagainya. Tetapi aku tidak, sayangnya aku tidak bisa melakukan semua itu, ditambah lagi aku memang tidak mau.
Untung saja malam ini aku masih dapat kebagian bus. Kalau tidak, mungkin aku sudah menginap di cafe sekarang. Sekitar 30 menit kemudian, akhirnya aku turun dari bus dan berteduh di halte. Hujan sedari tadi tidak mau berhenti. Apa aku terobos saja? Lagipula rumahku tidak jauh dari halte ini.
"One Two Three.." Aku pun berlari kecil menutupi kepalaku dengan tas. Wuaahhh hujannya tambah deras!! Padahal baru berlari sedikit, seluruh pakaianku sudah basah kuyup.
Sesampainya dirumahku, alias rumah sewaku, aku langsung membuka pintu setelah mengeluarkan kunci dari dalam tas.
"Guk guk."
Aku tersentak saat mendengar gonggongan anjing dari belakang tubuhku. Aku berbalik dan ingin terjuntal ke belakang karena baru kali pertama, aku melihat seekor anjing sebesar ini. Bahkan tingginya hampir setinggi tubuhku. Tubuh anjing itu basah kuyup. Aku rasa dia juga kehujanan.
"Hush hush.." usirku. Anjing itu malah lebih mendekatiku dan mengendus-ngenduskan hidungnya ke tubuhku. Aku memang suka anjing tetapi kalau anjingnya sudah sebesar ini aku juga takut. Anjing ini berbulu hitam dan putih, tetapi warna hitamlah yang lebih dominan. Bola matanya berwarna abu-abu terang. Sangat indah. Aku bisa melihat diriku sendiri di mata itu.
"Guk guk." Dia kembali menggonggong. Tetapi ku rasa gonggongan anjing itu aneh, bukan seperti anjing biasa. Seperti gonggongan yang dipaksakan.
"Hush. Pergi. Hushh.." Aku mengibaskan tanganku ke bulu lebat anjing yang basah itu dan mulai masuk ke dalam rumah dengan langkah mundur.
Tak diduga, anjing besar itu malah ikut masuk ke dalam rumahku. Aku memutarkan bola mataku jengah dan membiarkan dia masuk lalu mengunci pintu.
Sesampainya didalam anjing itu merubah posisinya menjadi duduk dan melihatku lurus. Tatapan matanya aneh, sungguh. Terlalu fokus.
"Sebentar, aku ambilkan handuk untukmu." ujarku lalu masuk ke dalam kamarku dan mengambil handuk baru buat anjing itu. Tak lupa pula handuk untukku yang ku lilitkan di atas rambut basahku.
Aku berjalan mendekati anjing besar itu dan duduk berjongkok, kalau posisi seperti ini bahkan aku yang terlihat kecil. Ya Tuhan, anjing ini besar sekali !
"Kau ini anjing jenis apa, kenapa besar sekali heh?" tanyaku seperti orang bodoh karena sudah berbicara dengan hewan yang notabene-nya tak bisa bicara. Anjing itu tak merespon dan terus menatap manik mataku.
Aku mengeringkan tubuh anjing basah itu dengan handuk. Bulunya lembut dan lebat, lalu iseng-iseng aku mencium baunya. Wangi! Kalau dia anjing liar, pasti busuk atau bau amis, tetapi dia beda, wanginya harum.
Anjing itu mengendus-ngenduskan hidungnya ke wajahku dan sesekali menjilatnya ">"Yuck, jangan menjilatku. Aku benci..!!" rungutku. Bukannya berhenti anjing itu malah lebih menjilati wajah dan leherku.
Aku mengerang kesal lalu berdiri meninggalkan dia. Serius, aku benar-benar jijik kalau di jilat oleh anjing seperti itu. Errghh.
Aku masuk ke dalam kamar lalu mandi kilat dan memakai baju piyama untuk tidur berwarna orange tua. Rambutku di sengaja ku gerai karena masih basah. Aku belum mengantuk malah sekarang aku merasakan lapar.
Saat aku keluar dari kamar, aku melihat anjing itu masih tetap berada di posisinya. Sebaiknya aku memberikan dia nama deh, tidak enak kalau selalu menyebut dia dengan sebutan 'anjing itu'.
"Hey, kemari." ujarku. Anjing itu menurut dan mendekatiku. Bulu-bulunya yang telah kering itu membuat tubuhnya seakan lebih besar daripada yang tadi. Aku memegang leher anjing itu dan mengelusnya.
"Bulu mu lembut sekali, rasanya ingin ku jadikan bantal tidurku." ucapku gemas.
"GUK!" Dia meresponku dengan menggonggong keras. Apa dia mengerti maksudku?
"Aku beri namamu Blacky, bagus tidak?" tanyaku asal. Ku dengar dia menggeram sampai aku terkejut dibuatnya.
"Tidak suka ya? Jadi apa? Cutie or Sweety or apa? Aku tidak tahu." jawabku. Dia mengendus-ngenduskan lagi hidungnya ke wajahku.
Entah ada angin apa, seperti ada yang berbisik di telingaku sambil menyebutkan nama 'Andrew'. Suaranya pelan sekali. Aku menoleh ke belakang tetapi tidak ada orang.
"Drew?"
"GUK!!" Anjing itu menggonggong senang. Oh dia suka dengan nama Drew tadi.
"Baiklah namamu Drew. Aku akan memanggilmu Drew mulai sekarang." ujarku. Dia menggonggong lagi. Kalau anjing ini di jual pasti harganya mahal sekali kan? Hewan sebagus ini pasti langka. Tapi sayangnya, aku suka dengan anjing ini.
"Drew, apakah kau lapar? Aku buatkan kau makanan."
Tidak buruk juga jika ada yang menemaniku sendirian di rumah. Walaupun dia seekor anjing, tidak apa-apa. Dapat mengusir kesepianku juga.
Aku berjalan lambat ke arah dapur minimalisku. Aku sudah menetap di rumah sewaku ini dari setahun lalu. Sebelumnya, aku menumpang di rumah Bibiku, adik ibuku. Tapi suaminya kadang melakukan pelecehan seksual padaku, seperti mencolek pantatku atau dengan sengaja menyenggol payudaraku. Pamanku itu mesum, aku tidak tahan! Jadi, lebih baik aku menyewa rumah sendiri saja. Walaupun kecil, tapi ini sudah cukup bagiku.
Aku menyiapkan dua piring omelet dengan berbagai bentuk sosis lucu di atasnya. Satu buatku dan satu buat Drew. Walaupun aku yakin porsi ini pasti kurang untuk ukurannya yang besar itu.
Aku kembali ke ruang tengah dan duduk bersila didepan TV yang berlayar 21 inch ini. Kebiasaanku kalau lagi makan pasti sambil menonton TV.
"Drew, kemarilah!" panggilku. Tak lama kemudian, Drew menghampiriku dan duduk disampingku. Anjing ini pintar sekali, sangat mengerti apa maksudku.
"Ini makanlah." ucapku menaruh piring itu didepannya, tetapi dia cuma membaui makanan itu tanpa ingin memakannya.
"Ada apa? Kau tidak suka?" tanyaku. Drew terlihat lesu dan berguling dilantai. Aneh, dia pasti lapar habis kehujanan tadi. Masa' dia tidak mau makan sih?
"Mau ku suapi?" tanyaku.
"GUK!" Drew langsung terduduk menghadap ke arahku. Aneh, benar-benar aneh. Dia sangat mengerti apa yang aku katakan? Anjing ini pintar sekali.
Aku memasukkan sosis goreng itu ke dalam mulutnya dan dia langsung menyambut. Sambil menonton TV, tanganku terus menyuapi makanan ke mulutnya. Tak lupa pula aku juga menyantap makananku. ">Sesekali aku menguap dan mengucek mataku. Kayaknya aku mengantuk. Hoaaammm.. Ku lihat Drew merebahkan kepalanya di atas pahaku. Kurasa dia juga mengantuk. Aku mengelus kepalanya yang penuh akan bulu lembut nan halus itu, tetapi malah aku yang tertidur.
******
Andrew's POV
"MATE MATE !!!!!"
Kepalaku berdengung karena serigala-ku, Gary, berteriak keras sampai membuat kepalaku pusing. Aku memandangi sekitar tetapi aku tidak merasakan ada sesuatu yang aneh.
"MATE KITA BODOH! DI DALAM BUS!!"
Gary kembali berteriak di dalam kepalaku, lalu dengan cepat aku mengejar bus itu. Pantas saja tubuhku bergetar hebat dan tercium wangi harum saat bus tadi lewat. Ternyata Gary lebih peka dariku. Aku terus berlari mengikuti bus ini dan membiarkan Gary mengambil alih. Aku berubah menjadi serigala berbulu hitam dan putih dan terus mengikuti bus itu sampai bus itu berhenti didepan halte.
Terlihat Gary menggeram keras saat gadis berambut pirang turun dari bus. Wangi tubuhnya menyeruak masuk ke dalam hidung kami. Strawberry.
"Aku harus mengklaimnya sekarang! Mate! Our mate!!" seru Gary berbicara melalui pikiran kami yang terhubung.
"Not now, Man. Bersabarlah, kita tidak mungkin langsung mengklaimnya sekarang." jawabku. Gary menggeram marah. "Ayo kita kerja sama mendekati Mate kita, jangan gegabah." lanjutku.
Gary terlihat tenang sekarang, mungkin dia sudah berpikir kalau apa yang ku bicarakan benar adanya. Walaupun tak dapat di pungkiri, aku juga ingin mengklaimnya sekarang juga.
Aku kembali mengambil alih walaupun dalam bentuk Gary. Gary kini mengalah dan lebih memilih diam. Tidak buang waktu, aku menyebrangi jalan dan mengejar gadis itu. Tubuhku basah kuyup, bulu-buluku jadi lepek.
Saat aku menggonggong, ku lihat dia sangat syok melihatku. Mungkin dia baru pertama kali melihat sosok serigala besar sepertiku ini. Wajahnya sangat cantik, jantungku berdetak kencang dan ku dengar Gary menggeram nafsu didalam pikiranku.
Gadis itu mengusirku, jujur aku merasa marah saat dia mengibas-ibaskan tangannya untuk menyuruhku pergi. Bisa saja sekarang aku berubah menjadi manusia, menggendongnya ke kamar lalu mengklaimnya sekarang juga. Apalagi sedari tadi Gary terus mendesakku untuk melakukan itu.
Akhirnya aku bisa masuk walaupun dengan cara memaksa. Dia terlihat jengah melihatku dan meninggalkanku mandi. Setelah itu dia keluar dari kamarnya dengan menggunakan piyama berwarna orange tua. Oh She's so amazing!
Saat dia ingin memanggilku Blacky, aku menggeram marah. Enak saja dia mau memanggilku Black! Dia memilih lagi, Cutie or Sweety? Aku setuju dengan sweety, seperti panggilan sayang buat pacar. Tetapi aku menolak, dengan instingku aku membisikkan namaku di telinganya. Andrew, ucapku pelan. Ternyata dia mendengar dan Mate ku ini memanggilku Drew. Senangnya aku!
Kini aku menemani dia makan sambil menonton TV. Aku sangat bahagia karena dia menyuapiku dengan penuh kasih sayang. Rasanya aku ingin sekali memeluk tubuhnya dan mencumbunya. Aku melihat dia mulai menguap dan mengucek matanya. Ku rasa dia mulai mengantuk. Aku ada ide, aku pun merebahkan kepalaku di atas pahanya. Tak disangka, dia mengelus kepalaku. Sangat nyaman!!
Terdengar suara dengkuran halus dan teratur. Ternyata gadisku ini sudah tertidur. Sungguh wajahnya sangat menggoda, Gary daritadi terus mendesakku agar kami mengklaimnya sekarang juga. Tetapi aku kembali menolak. Jangan dulu, ini belum saatnya. ">Aku pun kembali merubah wujudku menjadi manusia dan menyisakan celana boxer saja di tubuhku ini. Dengan sigap, aku menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Hati-hati aku merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menyibakkan selimut diatasnya.
Cup
Ku kecup bibirnya beberapa kali dan mengelus rambut halusnya.
"Good Night, Mate. Finally, I'd found you."

PART 2
 "Gwen's POV
Hangat, lembut, wangi, empuk...
Rasanya aku ingin selalu memeluk apapun yang disampingku. Aku bersumpah demi apapun, ini nyaman sekali!! Aku baru ingat kalau aku punya guling sehangat ini. Eumm!!
"Bangun, sayang.."
Apakah aku bermimpi? Kenapa aku mendengar bisikan suara pria di depan telingaku? Please, jangan bangunkan aku. Aku tidak pernah tidur senyaman ini sebelumnya.
Dengan masih menutup mataku, kini aku merasakan sesuatu terus menjilati pangkal leherku. Drew?
Aku membuka mataku yang sungguh berat seperti ditempeli lem semalam. Aku melihat kabur, karena mataku baru habis bangun tidur, ada pria bertelanjang dada dan hanya memakai boxernya, sedang memelukku erat. Wajahnya tampan seperti pahatan dewa Yunani. Oh, indahnya mimpi.
Wait a sec! Aku sudah sadar dan sedang tidak tidur, berarti pria di depanku ini???
"KYAAAAAAAA !!!!"
Refleks aku menendang keras perut pria itu sampai dia meringis kesakitan. Aku sontak berdiri dengan masih membawa selimutku. Seketika aku melihat pakaianku, fyuuh syukurlah masih utuh.
"Ka..kau siapa!? Kenapa kau tidur seranjang denganku?!" teriakku gusar. Walaupun pria itu sangat tampan dan mempesona, setidaknya aku harus mempertahankan harga diriku kan.
"Kau tidak kenal aku, sayang?" tanya pria gila nan tampan itu berjalan mendekatiku. Aku mundur ke belakang, Ya Tuhan, pria di depanku ini FIX gila. Aku baru bertemu dengannya, dia sudah memanggilku sayang!?
"PERGI!! Pergi dari rumahku!!" teriakku lagi saat dia sudah berada di depanku. Dia tinggi, tubuhku hanya batas dadanya yang, Oh Shit, sangat menggiurkan.
Lalu aku dengar dia menggeram marah dan dengan cepat meraih daguku untuk mendongak ke atas.
"Kau berani bicara seperti itu padaku, hem sayang?" tanya pria itu tajam, menusuk mataku. Warna matanya abu-abu terang, mengingatkan aku pada.. Drew!!! Ya, aku ingat, anjing itu. Mungkin dia bisa membantuku.
"Drew tolong aku !!" panggilku kuat. Aku lihat pria di depanku ini tertawa mengejek. Menyebalkan cih.
"Drew tidak akan kemari sayang.." katanya lalu menarik pinggangku, menepis jarak di antara kami. "Karena dia ada disini."
"Mmmppphhhh!!!"
Tiba-tiba dia menarik leherku dan mendaratkan bibirnya tepat di bibirku. Astaga, apa yang dia lakukan!?
"Le..Lepas!!!" Aku memukul dadanya berkali-kali supaya dia melepaskanku. Bukannya lepas, dia malah menambah buas saja menciumku. Sial, pria ini mencoba menggodaku.
"Enggh!!" erangku saat bibirku di gigit kuat olehnya. Setelah itu, dia melepaskan bibirku tetapi tak memberikan jarak di antara bibir kami.
"Siapkan dirimu sayang, karena ini baru permulaan dariku." bisiknya tepat di bibirku. Aku ingin membalas ucapannya tetapi bibirku kelu. Rasanya kebas dan membengkak.
"Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi sayang. Muah." katanya sambil mengecup bibirku sekilas lalu keluar dengan cara melompat dari jendela.
Aku masih berdiri mematung karena kesadaranku sudah melayang kemana-mana. Setelah aku sadar, aku terkulai di lantai begitu saja. Syok, aku sangat syok. Ada pria gila yang tiba-tiba saja menciumku!? Ya Tuhan. Buru-buru aku menutup jendelaku dan menguncinya. Pria bahaya. Tampan tapi bar-bar.
Aku melihat sosok diriku di depan cermin. Wow bibirku merah dan bengkak. Astaga, ini ulah dari pria gila tadi. Apa maksudnya ini baru permulaan? Aku tak mengerti, lalu dimana anjingku, Drew?
Aku keluar kamar dan memanggil nama Drew berkali-kali, tetapi tidak ada respon sedikitpun. Ya sayang sekali, padahal anjing itu cantik dan menggemaskan. Mungkin dia kabur semalam. Huh.
Tak sadar mataku melirik jam dinding, jam 8 pagi.
"KYAAAA, AKU TERLAMBAT!!" jeritku masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah kaki terbirit-birit.
Aku sudah terlambat masuk kuliah pagi hari ini. Ya Tuhan, apa kata dosen nanti? Mahasiswi yang kuliah dengan bantuan beasiswa terlambat masuk? Jangan salahkan aku, ini salah pria gila tadi!! Kyaaaa!!!
 
Aku mandi kilat hanya 5 menit! Hebat kan. Lalu aku membereskan buku-buku ke dalam tas dan pergi setelah mengunci pintu rumah. Hari ini aku hanya memakai baju kaos berwarna hitam dengan gambar tokoh Eren Jaeger, pemeran utama dalam anime Attack On Titan dan celana Jeans berwarna biru tua. Simpel kan? Aku memang tidak suka berpakaian ribet.
Aku berlari menuju halte dan tak lama kemudian akhirnya bus yang ku tunggu datang juga. Syukurlah, mungkin Tuhan berbaik hati padaku pagi ini.
Sekitar 20 menit perjalanan di dalam busway, akhirnya aku sampai juga di kampus tercinta. Aku berlari begitu saja karena pagi ini aku ada matkul dengan Sir Johannes, bapak dosen itu terkenal dengan kedisiplinannya yang tinggi. Bayangkan, aku bisa di usir kalau terlambat masuk ke kelasnya.
"Oh my god!"
Pintu kelas sudah di tutup, yang pasti proses ngajar mengajar sudah berlangsung di dalam sana. Apa aku permisi saja terus meminta maaf atas keterlambatanku? Tapi aku harus punya keberanian penuh nih untuk menghadapi Sir Johannes. Yossh! Gwen, Ganbatte!!
Satu, dua, tiga..
Tok Tok
Aku mengetuk pintu itu dan membukanya. Banyak pasang mata yang melihatku dan semua orang menatapku seakan 'Mati kau' . Membuat nyaliku ciut seketika.
"Maaf Sir, aku terlambat." kataku sambil menunduk. Ku lihat Sir Johannes menghembuskan nafas kesal, mungkin dia marah proses mengajarnya terganggu dan membuat konsentrasi siswanya pecah karena aku.
"Gwen Stacy, kau terlambat 30 menit. Keluar dari kelasku." kata Sir itu tenang tapi tegas. Huh... Aku menghembuskan nafas berat dan berjalan menuju pintu.
"Tunggu."
Aku menoleh saat Sir Johannes memanggilku. Apa dia mau membatalkan perkataannya tadi?
"Kamu dipanggil Rektor, dia menyuruhmu ke ruangannya sekarang."
TAMPAR AKU SEKARANG !
Untuk apa Rektor yang notabene sekaligus pemilik universitas ini memanggilku? Apa aku di DO? Tidak mungkin kan, aku hanya terlambat sekali!?
"Tunggu apa lagi Gwen, keluarlah."
"Baik, Sir."
Aku melangkahkan kaki dengan sangat berat, keluar dari ruangan itu dan menuju ke ruangan Rektor yang berada di gedung yang berbeda. Aku tidak pernah bertemu Rektor itu sebelumnya. Nama Rektor universitas ini namanya Jacob Collins. Pria paruh baya itu kata orang-orang sih, dia tegas dan kompeten. Dia tidak suka mahasiswa/i di Universitasnya tidak disiplin dan bermalas-malasan. Mati aku, mungkin aku akan kehilangan beasiswaku.
Saat aku sudah berada di gedung khusus ini, aku menaiki lift dan memencet angka 4. Ruangan Rektor khusus di buat dilantai 4 ini. Ruangannya saja istimewa, sesuai jabatannya. Tak lama kemudian, aku pun sudah sampai di depan ruangan besar itu.
God, save me from the Devil, please..
Aku mengetuk pintu itu beberapa kali dan terdengar bunyi suara pria berkata "Masuk" dari dalam. Aku pun menurut dan masuk ke dalam ruangan itu dengan hati-hati. Aku kembali menutup pintu itu dan berbalik.
Wow, ruangannya mewah cin. Kayak ruangan CEO yang biasa aku tonton di drama Korea. Kayak CEO Joong Won di Master's Sun.
Aku melihat pria gagah, tinggi dan bertubuh atletis itu dari belakang karena dia sibuk melihat ke luar jendela besar yang menghadap langsung dengan pemandangan kota. Wonderful.
Beliau memasukkan kedua tangannya di saku celana dan berbalik ke arahku.
DEMI ANACONDA DI AMAZONE, dia pria gila memciumku tadi pagi!!!!

******
Andrew's POV
"Sudah kau selidiki tentang gadis yang ku tunjukkan semalam?" tanyaku pada Devan, asisten pribadiku sekaligus Beta-ku. Aku menyuruhnya menyelidiki semua seluk beluk tentang gadis Mate-ku yang tadi pagi marah-marah karena aku cium.
"Sudah, Alpha. Gadis itu eh Maafkan saya, Luna, bernama Gwen Stacy. Umur 20 tahun, pindahan dari Kanada dan kuliah di Universitas Collins-
"Tunggu." Aku memotong pembicaraanya, "Dia kuliah di Universitas punya keluargaku?" tanyaku tak sabar.
"Ya Alpha. Dia kuliah karena beasiswa. Dia sudah semester 5." kata Devan sopan.
Aku tertawa menyeringai, ini semakin mudah. Aku tak menyangka kalau dia kuliah yang Rektornya ayahku sendiri. Menguntungkan!
"Devan, antarkan aku ke sana sekarang juga. Aku mau bicara dengan ayahku." ujarku tegas dan langsung di patuhi oleh Devan. Tak lama dari itu, kami melesat pergi ke Universitas Collins dan aku langsung menuju ke ruangan ayahku.
Aku membuka pintu ruangan ayahku dengan gembira dan ayahku, Jacob, langsung menyambutku hangat.
"Ayah, aku berubah pikiran. Aku mau menggantikanmu disini." kataku berterus terang. Dulu ayahku selalu mendesak supaya aku menggantikannya sebagai Rektor di Universitasnya, tetapi aku tak mau. Aku pikir itu menyusahkan.
"Waw, apa yang bisa membuatmu berubah pikiran, Nak?" tanya ayahku.
"My Mate, Dad. I'd Found her." jawabku. Ayah langsung memelukku gembira.
"Akhirnya, selamat Son. Aku kira di umurmu yang 26 tahun ini sudah tidak bisa bertemu dengan Mate-mu lagi. Ayah sudah putus asa." ucap Ayahku. Menyebalkan, gini-gini aku masih muda.
"Gimana, Yah? Mau membantuku?"
"Tentu, Son. Silahkan."
Itulah ucapan terakhir ayahku dan setelah itu aku resmi menjadi Rektor di sini. Aku langsung mencari data tentang mahasiswi bernama Gwen Stacy dan menyuruh orang untuk memanggilnya ke ruanganku.
Aku lihat dia sangat syok dengan apa yang di tatapnya sekarang. Tangan lentiknya menutup mulutnya dan matanya membulat besar.
"Hallo, sayang. Kita ketemu lagi."
 
PART 3

Gwen's POV
"Hallo, sayang. Kita ketemu lagi." ucap pria gila itu sambil berjalan mendekatiku perlahan. Refleks aku mundur ke belakang hingga terbentur pintu ruangan ini."Jangan mendekat." kataku waspada. Dia memamerkan seringaian anehnya itu lalu berhenti berjalan. Jarak antara aku dan dia mungkin sekitar 2 meter saja.Pria gila itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan berdiri angkuh di depanku. Bola matanya yang semula berwarna abu-abu terang kini berubah menjadi hitam pekat. Apa dia memakai softlens yang bisa berubah otomatis?"Kau takut padaku hem?" tanya dia bernada lembut tetapi tidak dengan mataya yang terus menatapku seolah aku ini makanan lezat."Ti..tidak.." kataku gugup. Dia kembali memamerkan senyum smirk-nya yang menggoda itu."Kalau tidak, kemarilah. Berdiri di depanku." katanya. Aku ragu, bagaimana kalau aku di bunuh atau di cincang sampai mati di sini?"Tenang saja, sayang. Aku tidak akan menerkam-mu. Kemarilah." titahnya lagi seolah tahu apa yang barusan ku pikirkan. Sedangkan aku masih berdiri mematung di tempatku semula. "Kemana Mr. Collins?" tanyaku spontan. Pria tampan di depanku ini tertawa pelan lalu menunjuk dadanya sendiri."Disini, darl." jawabnya sok keren. Aku mencibir, maksudnya kemana Sir Jacob Collins, Rektor universitas ini. Seingatku, pria paruh baya itu tidak semuda dengan pria yang sedang di depannya sekarang."Maksudku dimana Rektor yang memanggilku?" tanyaku ulang. "Aku yang menggantikan ayahku mulai sekarang. Yang memanggilmu di sini adalah aku." jawabnya tenang.Oh, begitu..Hah? WHAT!!?"Jadi.. Jadi.. K..Kau anaknya Sir Jacob?" tanyaku gagu. Mati aku, sedari tadi aku kurang ajar sekali dengannya. Kyaaa! Bisa-bisa aku di DO lagi."Ya sayang, kemarilah." ucapnya. Kenapa dia selalu memanggilku sayang? Bikin bulu kudukku berdiri saja. Brr...Aku mendekatinya dengan langkah pelan dan berhenti sekitar sudah berjarak kurang lebih 1 meter darinya. "Mendekatlah lagi." katanya. Jujur, aku sangat takut. Bagaimana kalau dia menciumku lagi seperti tadi pagi? Aku kembali mendekat dan kini sudah berada di hadapannya. Tiba-tiba, pria itu menarik pinggangku dan memeluk tubuhku erat. Dia mengelus kepalaku dan sesekali mencium rambutku. What the hell!"A..apa yang kau lakukan?" tanyaku pelan. Tubuhku tidak berontak karena aku sendiri merasa nyaman berada di pelukannya. Aku hanya merasa aneh kenapa aku seperti ini pada orang yang baru kukenal?"Ssh.. Diam. Biarkan saja seperti ini. Aku merindukanmu." jawabnya. Merindukanku? Apa dia habis minum vodka?"Lepaskan aku, aku bahkan tidak mengenalmu Tuan!" Aku berusaha melepaskan dekapan eratnya itu tetapi tidak bisa. Dengan tubuh kecilku ini mana mungkin bisa menang dari tubuh pria kekar dan tinggi seperti dia.Aku merasakan kepalanya menyeruak masuk ke lekukan leherku dan menjilatnya lembut. Ini.. Geli. Ya Tuhan, aku bisa gila."Panggil aku Andrew, sayang." bisiknya di telingaku. Nama itu sepertinya tidak asing."Andrew?" Aku mendongakkan kepalaku agar aku bisa melihat wajahnya. "Namamu kayak anjingku kemarin. Drew." lanjutku. Aku lihat dia mengerutkan dahinya dan melihatku marah.
"Dia bukan anjing, tapi Wolf." tekannya sambil menggigit hidungku.
Aku meringis dan mengusap hidung berkali-kali, "Aww.. Sakit!" Bukannya minta maaf, dia malah tertawa. Menyebalkan!
"Lalu kenapa kau tahu kalau itu wolf ? Dan kenapa pula kau tadi pagi bisa berada di kamarku?" tanyaku lagi. Ku lihat Andrew terdiam sejenak. Tak lama kemudian dia tersenyum sinis lagi dan memperkuat pelukannya di pinggangku."Itu rahasia, sayang. Akan aku kasitahu tapi kau harus jadi istriku." jawabnya acuh."Kau gila!? Lepaskan aku, Sir Andrew. Aku tidak mau terlibat affair dengan Rektor universitas-ku sendiri !" tegasku menepiskan tangannya yang berada di pinggangku. Saat terlepas, dengan cepat dia menarikku lagi."Aku tidak peduli, yang jelas kau milikku sekarang." Andrew lebih mengencangkan pelukannya di pinggangku, sedangkan aku hanya mendorong dadanya dengan kedua tanganku."Kau ini kenapa!? Lepas!!" teriakku dan terus mendorong dadanya tetapi dia langsung membungkam bibirku dengan bibir penuhnya itu. Yang benar saja, sudah dua kali dalam hari ini. Ciumannya sama seperti tadi pagi, ganas dan mendominasi."Eungh, sa..sakit Drew!" lenguhku saat Andrew dengan kasarnya menggigit bibirku. Dia terkesiap dan melepaskan bibirku spontan."Maafkan aku, sayang." Andrew menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Pandangannya lurus menatap bibirku, dia khawatir. "Bibirmu berdarah. Maafkan aku." Tersirat di bola matanya yang kini berwarna abu-abu terang itu perasaan bersalah karena menggigit bibirku tadi.Aku menepis tangannya yang berada di wajahku, "Kau aneh!! Aku benci denganmu!!" teriakku dan berlari memburu pintu. Dasar pria bar-bar!!****                
Andrew's POV
"Kau aneh!! Aku benci denganmu!!" Hatiku sakit seperti habis di tusuk-tusuk ribuan jarum saat gadisku bicara seperti itu barusan. Begitu pula dengan Gary, serigala itu menyembunyikan dirinya di paling sudut pikiranku. Apakah sesakit ini di benci oleh Mate? Padahal sudah genap 10 tahun kami mencari sosok pasanganku dan aku tidak mau kalau gadis itu menjauhi kami."Gary, ini semua gara-gara kau!" tegasku. Kalau bukan atas dorongan Gary tadi, tidak mungkin aku menciumnya sampai sekasar itu."Maafkan aku, aku tidak tahan..bibirnya manis sekali. Sebaiknya kita harus minta maaf dengan Mate kita." balas Gary. Ku akui baru kali ini ucapan Gary benar, ya sepertinya kami harus meminta maaf padanya.'Tok tok'Aku terperangah saat terdengar bunyi ketukan pintu dari luar, "Masuk." Dan ternyata Beta-ku yang datang, Devan."Ada apa, Dev?" tanyaku tenang. "Maaf Alpha, saya hanya ingin memberitahukan Ketua pack dari Selatan ingin mengincar Luna Stacy." Grrrr!! Gary menggeram marah di kepalaku mendengar ucapan Devan barusan. Begitu pula denganku, aku sangat ingin membunuh siapapun yang berani melukai pasanganku! Apalagi Ketua pack selatan yang sialan itu. Berani sekali dia!"Darimana kau tahu kalau Damian mengincar Mate-ku?" Aku berusaha tenang dan tidak ingin terlalu gegabah mengambil keputusan."Tadi aku mendapat informasi dari prajurit kita kalau rumah Luna di acak-acak oleh suruhan Damian." jawab Devan dengan mimik muka datar.Aku memang menyuruh beberapa orang untuk mengawasi rumah Gwen untuk berjaga-jaga. Tapi tak kusangka akan secepat ini. Kurang ajar!! Damian sudah mulai bertindak rupanya.
"Kita harus membawa Gwen ke rumah kita!" sahut Gary di dalam pikiranku. Serigala hitam itu mulai gelisah jika terjadi apa-apa dengan mate kami. Sebaiknya aku bertindak cepat kali ini.
"Baiklah Dev, kau boleh keluar." titahku dan Devan keluar setelah pamit denganku.  
"Gary, apa kau siap dengan apa yang ku pikirkan?" "Grrr!! Tentu!"
Aku berencana hari ini akan membawa Gwen ke rumahku, bagaimanapun caranya!

PART 4

Playlist now: John Legend-All of Me
***** 
Gwen's POV
Hari yang melelahkan. Setelah berkutat dengan soal-soal dan dosen yang menyebalkan, akhirnya aku keluar dari kelas pada pukul tepat jam 3 sore.
"GWEN !!!" teriak suara seorang gadis dari kejauhan. Aku menoleh ke belakang, ternyata itu Terry, sahabatku. Kami berbeda mata kuliah tadi, jadi kami belajar dengan kelas terpisah.
"Kau mau kemana?" tanya Terry saat dia berhasil menyamai langkahku dan kami berjalan menuju keluar kampus.
"Biasa, habis ini aku ke cafe. Kau mau kemana?" tanyaku balik. Terry tersenyum girang, aku yakin habis ini dia pasti akan bicara tentang pacarnya.
"Farrel mengajakku nonton. Mau ikut?"
"Dan jadi orang ketiga? Maaf saja!" jawabku kesal. Aku pernah ikut mereka karouke dan apa yang terjadi? Hanya aku saja yang bernyanyi tak karuan sedangkan mereka asyik berciuman. Ewww, mentang-mentang aku jomblo.
"Oh ya sudah, nanti ikut mobil kami saja, kan searah dengan cafe tempatmu kerja."
"Oke kalau begitu." jawabku. Tak salah juga dapat tumpangan gratis. Hahaha.
Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang menarik pergelangan tanganku kuat.
"Aww," ringisku. Lantas aku dan Terry menoleh bersamaan. "Astaga, Oh My God. Angel.." ucap Terry. Gadis di sampingku ini mulutnya menganga dan matanya membulat besar. Sedangkan aku menatap pria tampan di depanku dengan wajah kesal. Apa-apaan sih!?
"Mau kemana kau?" Andrew menatap mataku tajam, lama-lama tulangku ini bisa remuk karenanya.
"Gwen, dia siapa?" bisik Terry di telingaku. "Kenapa kau tidak tanya sendiri? Aku juga tidak kenal." bisikku bohong. Lalu aku mendengar Andrew menggeram. Tangannya belum lepas dari pergelangan tanganku.
"Maaf Sir, tanganku bisa remuk kalau digenggam terlalu kuat begitu. Tolong lepaskan tanganmu." ujarku.
"Jawab dulu, kau mau kemana!?" balas Andrew setengah teriak.
Jujur, aku sangat malu sekarang. Kami seperti artis dadakan, semua orang melihat ke arah kami bertiga. Ralat hanya ke arah Andrew. Pesona lelaki satu ini bukan main. Semua gadis-gadis di kampus menatapnya dengan tatapan kaget, kagum, terpesona dan err... Lapar?
"Aku mau ke Cafe, kenapa sih!? Lepas dulu, tanganku sakit!" keluhku sambil melepaskan tangannya dengan tanganku yang satu lagi. Terry pula, kenapa gadis bodoh ini tak membantuku!? Dia malah memandangi Andrew takjub tanpa henti.
"Ikut denganku," Andrew menarik tanganku dan mulai berjalan berlawanan arah dengan Terry.
"KYAAA Terry! Tolong aku, aku di culik!" teriakku tetapi Terry malah melambaikan kedua tangannya dengan raut wajah pasrah. Huh Terry, pertemananmu sungguh tipis. Aku benci padamu.
Aku mengikuti langkah kaki Andrew yang besar-besar membuatku sedikit kesusahan berjalan. Belum lagi dia terus menarik tanganku kuat. Maunya apa sih!?
Tak terasa kami berjalan menuju parkiran khusus pegawai, dosen dan para petinggi kampus lainnya. Andrew membukakan pintunya untukku, tapi aku tidak mau masuk. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan menahan tubuhku di sandaran pintu.
"Masuklah sayang. Aku memaksa." Andrew sedikit mendorong tubuhku agar masuk ke dalam mobil.
"Tidak mau!" protesku dan terus menahan tubuhku di pintu mobil. Aku memegang kemeja Andrew kuat supaya aku tak bisa masuk ke dalam mobil.
"Masuk atau kucium kau sampai pingsan!" Andrew mengancam dengan kedua matanya yang tajam bak elang itu, bola matanya berubah menjadi warna hitam pekat. He's so CRAZY !!!!
"Aku tidak mau.."
"Satu.." Andrew mulai menghitung, ku rasa dia hanya menggertak.
"Dua, jangan salahkan aku kalau pada hitungan ke-3 kau belum masuk." Andrew mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kyaa!! Sebenarnya aku takut lagipula aku tidak bisa kabur. Kedua kakiku di kunci oleh kaki Andrew. Belum lagi, tangannya yang memegang salah satu pergelangan tanganku.
"Dua setengah.." Andrew mulai menciumi dan menggigit pipi kananku.
"Ti.."
"OKE OKE, aku masuk!!" Aku menepis tangannya dan masuk ke dalam mobil sport berwarna merah ini dengan cepat. Satu kata buat mobil ini, WOW.
Andrew langsung menutup pintu mobilnya lalu memutari kap mobil dan duduk di kursi kemudi. Dia mulai menghidupkan mesin dan melesat pergi dari kawasan kampus.
Aku benci Andrew Collins!
"Sayang.." panggil Andrew lembut. Aku tak peduli dan terus memalingkan wajahku ke arah jalanan kota yang padat. Dasar aneh, kenapa sih dia terus memanggilku sayang?
"Kau marah padaku hmm?" tanya Andrew. Setelah itu aku merasakan jika tangan kananku di genggam erat oleh tangan yang kekar dan hangat.
Aku menoleh ke samping kananku dan mendapati wajah pria yang amat sangat tampan. Pantas saja dia menjadi pusat perhatian para gadis-gadis tadi. Tapi yang membuatku bingung, siapa pria ini? Kenapa dia selalu mencari masalah denganku? Padahal kami baru 'bertemu' pagi tadi. Aneh kan?
"Sebenarnya kau ini siapa? Dan kenapa kau bisa kenal denganku?" tanyaku spontan. Dia tersenyum tulus padaku lalu mengusap punggung tanganku dengan ibu jarinya.
"Itu masih rahasia, lambat laun kau pasti tahu sayang." jawabnya dengan masih senyum di wajahnya yang bisa buat hatiku adem.
"Tidurlah, perjalanan kita masih jauh." lanjut Andrew melepaskan tautan tangan kami dan menghidupkan musik. Terdengar suara dari John Legend dan lagu yang tak terlalu aku suka, All of me.
"Memangnya kita mau kemana?" tanyaku lagi.
"Ke 'rumah'."
Oh rumah, ya iyalah tidak mungkin kan dia membawaku ke hotel. Hell-O pikiranku Gwen!!
Lama kelamaan mataku mengantuk. Benar saja semalam aku tidur malam, belum lagi kuliah seharian bikin tubuhku pegal-pegal. Ditambah suasana nyaman dari genggaman tangan hangat dari pria tampan di sampingku ini. Rasanya hmm..
*****
Andrew's POV
"Auuuuuuuu...."
"Astaga Mate-ku cantik sekali.."
"Oh bidadari, Iloveyou.."
"Drew, stop mobilnya dan klaim dia sekarang!!"
"Tolong kecup bibirnya untukku Drew. Please.. Auuuuuuu grgrrr..Mate Mate tercinta."                  
"Stop Gary!! Kau tidak tahu aku sedang bawa mobil hah!!"
Sedari tadi Gary tidak berhenti mengoceh di dalam pikiranku. Ocehannya bertambah banyak saat aku melihat Gwen tertidur. Gadis ini bahkan tidak tahu kalau aku sedang membawanya ke rumahku saat ini. Ternyata ini tidak begitu sulit.
Aku menoleh ke samping dan mendapati wajah seorang gadis yang amat teramat sangat cantiknya. Benar kata Gary, dia seperti bidadari. Walaupun sejatinya aku belum pernah melihat sosok bidadari asli bagaimana, aku tidak peduli. Yang penting menurutku, wajah Mate-ku ini tidak kalah cantiknya dengan bidadari itu.
Sekitar 3 jam perjalanan menuju rumahku alias istanaku, yang berada jauh di dalam White Spruce taiga, Denali Highway, Alaska, akhirnya kami berdua sampai. Orang-orang biasa tidak bisa menemukan tempat ini, karena setiap perbatasan wilayah di jaga oleh sekitar 10 werewolf.
"MATE-KU BODOH!!" teriak Gary dari dalam tubuhku. Hya serigala satu ini tidak mau kalah rupanya.
"Andrew? Dimana aku?"
Aku dan Sophie menoleh bersamaan saat kami melihat Gwen keluar dari kamar.
"MATE !!"
"Alpha, Tuan Andrew membawa mate-nya ke Istana."
"Bagus, dan kurasa aku harus menemui teman lamaku."

PART 5
 Playlist now: One Direction -  Story of My Life

"And I've been waiting for this time to come around.. But baby running after you is like chasing the clouds"
*****
Full of Andrew's POV
"Andrew? Dimana aku?"
Aku dan Sophie dikejutkan oleh suara gadis yang kini sudah berada di depan pintu kamar. Wajah bantalnya itu sangat cantik dimataku.           
"Hey, mate-ku memang cantik bukan?" celoteh Gary karena ketahuan aku memuji wajah bantal Gwen.
Aku kesal dengannya karena dia selalu meng-hak Gwen, "MATE-KU JUGA, BODOH!!" teriakku. Gary terdengar marah sesaat lalu dia kembali diam. Rasakan!
"Hai Luna, namaku Sophie."
Tanpa ku sadari, kini Sophie sudah berdiri di depan Gwen dan mengulurkan tangannya ke depan gadisku. Gwen terlihat bingung tetapi dia cepat-cepat membalas uluran tangan Sophie.
"Namaku Gwen Stacy, bukan Luna." kata Gwen. Sophie tersenyum padanya lalu memeluk Gwen erat. Tinggi badan mereka tidak terlalu jauh. Sudah ku katakan kalau gadisku memang mungil bukan?
"Aku adik Andrew, Luna Stacy. Selamat datang di rumah kami." ucap Sophie ria seraya mengelus-elus punggung Gwen. Hey aku cemburu Soph!!
Mata Gwen terlihat bingung dan takut, lalu mata cantiknya mulai menerawang jauh langit-langit ruangan ini. Dia mulai sadar kalau ini bukan rumahnya. Bahkan aku yakin dia bukan sebut ini rumah, mungkin dia akan sebut ini kastil atau istana?
"Just call me Gwen or Stacy, aku tidak suka di panggil Luna. Itu nama temanku saat SD yang menyebalkan. Jadi aku benci." jawab Gwen sedikit kesal saat mereka berdua sudah melepaskan posisi mereka yang berpelukan itu.
Hatiku sedikit mencelos saat dia tidak suka dipanggil Luna, apa dia menolakku? Tapi alasannya karena Luna adalah nama salah satu teman SD yang menyebalkan. Masuk akal. Hahah, ada-ada saja.
"Andrew, jawab aku. Ini dimana? Katanya kita akan ke rumah?" tanya Gwen berkilat marah lalu mendekatiku yang sedang duduk di sofa berbentuk L ini.
Aku hanya tersenyum simpul lalu menarik kedua tangan Gwen hingga dia duduk di atas pangkuanku.
"Kyaa! Andrew kau ini apa-apaan huh?!" protes Gwen dan berniat untuk berdiri. Tak kalah cepat dengannya, aku semakin kuat mendekap pinggangnya, memenjarakan tubuh kecilnya itu ke dalam pelukanku.
"Sebaiknya aku pergi saja, daaa Alpha, daa Luna." pamit Sophie seraya melambaikan tangannya dan berlari seperti anak kecil yang bahagia.
"Alpha?" tanya Gwen dengan raut wajahnya yang bingung.
"Ya Luna, ada apa hm?" jawabku lembut lalu tanpa sadar, sedikit dorongan dari Gary, serigala sialan itu, aku mencium bibir Gwen sekilas. Anehnya dia tidak sadar dengan apa yang barusan ku perbuat.
"Sebentar, apa itu Alpha? Bukankah itu salah satu lambang fisika seperti huruf 'a' kecil yang miring?" tanya dia lagi sampai membuatku terkekeh pelan.
"Ya begitulah sayang.." Aku menjawabnya dengan cengingisan. Memang tidak menyalahkannya, dia manusia biasa. Tidak tahu perihal sejarah werewolf.
"Kalau begitu, ada Beta dan Omega juga ya?" tanya Gwen. Aku tak dapat menahan tawaku lagi, bahkan Gary di dalam sana sudah tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan polos dari Mate kami ini.
"Andrew, jangan tertawa! Ini tidak lucu tau!" gerutunya membuatku gemas dua kali lipat.
"Ya tentu saja ada sayang. Dan kau, adalah Luna-ku." balasku lalu mengecup bibirnya lagi.
Dia mengerjapkan matanya lucu lalu memukul dadaku keras, "Aku bukan Luna, aku Gwen!"
"Aww,"
Ini bukan ringisanku, tetapi Gwen yang malah menahan sakit di tangannya saat memukul dadaku tadi.
"Kau ini terbuat dari besi kali ya? Aduhh tanganku.." Gwen kembali meringis kesakitan sambil memegang tangannya. Berinisiatif sendiri aku meraih kepalan tangannya lalu mengusapnya seakan ingin menghilangkan kesakitan di tangannya.
"Ini waktu yang tepat, Drew. Klaim dia sekarang!" teriak Gary dalam tubuhku dan hendak ingin keluar. Dia ingin mengambil alih tubuhku dan akan meng-klaim Gwen. Demi Tuhan! Dia serigala, tidak akan ku biarkan dia bertindak kasar pada Gwen.
"Belum saatnya, Gary. Maaf."
Dengan sekuat tenaga, aku mengunci Gary lagi hingga ia tidak bisa berontak. Aku dan Gary memang saling bertolak belakang. Terkadang aku benci kenapa aku punya serigala seperti dirinya dalam tubuhku.
"Kau pasti lapar, ayo makan." Aku menggendong tubuh Gwen yang tepat di atas pangkuanku dengan mudah.
"Aku bisa jalan sendiri, Drew. Turunkan aku." katanya kesal dan berontak ingin dilepaskan.
"Tidak mau." jawabku singkat. Gwen membuang nafas kesal lalu akhirnya dia diam juga dalam gendonganku.
"Apakah aku lagi di dalam cerita fairy tale? Kenapa aku seperti berada di istana?" katanya terus memperhatikan setiap sudut rumahku. Benar apa kataku tadi kan?
"Ini bukan istana, ini rumahmu sayang." jawabku lembut. Dia memandangiku kaget.
"Hah? Maksudmu? Ini bukan rumahku. Aku kan tadi.."
"Malam Alpha, malam Luna.."
Perkataan Gwen terpotong karena salah satu omega di rumahku menyapa kami sopan. Aku mengulum senyum saat melihat Gwen marah dan hendak berteriak.
"AKU BUKAN LUNA !!!!" teriaknya keras hingga bisa membuat telingaku berdengung. Begitu pula dengan omega itu, dia sangat terkejut dan meminta maaf lalu pergi meninggalkan kami.
"Sayang, sudahlah jangan marah begitu."
"TURUNKAN AKU!!!" teriaknya lagi.
"Oke oke."
Kini aku menurut padanya lalu menurunkan tubuh mungilnya dengan sedikit tak rela. Tetapi mau bagaimana lagi toh kami sudah sampai di ruang makan. Hehehe.
"Hai-
"Jangan panggil dia Luna, Soph. Dia akan marah." ucapku pada Sophie yang sudah duduk rapi di kursi meja makan. Aku berbicara dengannya melalui mindlink yang saling terhubung antar werewolf suatu pack.
"Oh oke." jawab Sophie.
"Duduklah sayang, kita makan." Aku menarik kursi untuknya tetapi dia menolak.
"Aku mau pulang!" ucapnya lantang. Aku menggeram marah lalu menarik lengannya supaya duduk. Seluruh pelayan dan Sophie terkejut mendengar geramanku barusan karena mereka tahu itu bukan aku, melainkan Gary.
"Andrew, kau menyakitiku.." ucapnya sendu lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seketika hatiku terbesit rasa bersalah.
"Drew, jangan terlalu kasar padanya. Aku mohon."
Sophie berbicara lagi melalui pikiranku, aku hanya mengangguk dan melepaskan tanganku dari lengannya.
Aku menghela dan menghembuskan nafas supaya emosiku turun, aku sangat kesal jika mendengar ucapannya yang seolah ingin pergi dariku. Aku tidak mau mendengar hal semacam itu.
"Makanlah sayang, jangan membantah." titahku pada Gwen yang masih belum memegang sendok makannya.
"Sayang," panggilku. Dia mendongak, wajahnya seperti ingin menangis.
"Astaga, Mate-ku, ku mohon jangan menangis sayang, hatiku sakit melihatmu begini." Gary berbicara kembali di dalam pikiranku, dia berhasil rupanya membuka kunci tubuhku tadi.
"Mau ku suapi? Ini aaaaa.." Aku menyuapkan sesendok makananku ke mulutnya. Awalnya dia menjauhi wajahnya tetapi aku terus menyodorkan sendokku sehingga dia terpaksa memakan makanan itu.
"Lagi, ini.."
"Aku bisa sendiri Drew." Gwen mulai melahap makanan di depannya walaupun sedikit mengernyit enggan.
Sophie melihat tingkah kami dengan senyum riangnya yang khas lalu dia juga melahap makanan itu. Setelah beberapa saat hening, Gwen mulai mengajak Sophie mengobrol dan kini mereka sedang berbicara hebat tentang film-film animasi. Aku tidak mau mengganggu moment ini karena aku sangat puas saat melihat wajah Gwen yang sedang tertawa itu.
"Alpha,"
Tiba-tiba terdengar suara Devan berbicara padaku melalui mindlink.
"Ada apa, Dev? Sudah beres?"
"Sudah Alpha. Dan yang mengejutkan, ini tidak ada hubungannya dengan Damian. Dia bersih dari penyerangan ini." jawab Devan dengan suara datarnya yang tegas itu.
"Sungguh mengejutkan, jadi ada apa kau memanggilku?"
"Saya diberitahu oleh Beta-nya Tuan Damian, kata dia, mereka akan mengunjungi Alpha besok." Aku tercenung sebentar, teman lama huh?
"Kabarkan pada mereka, kita akan menyambutnya dengan senang hati."
"Baik Alpha."
Percakapan kami pun berakhir. Ada apa lagi Damian? Tidak cukupkah kau membunuh Kakak perempuanku dua tahun lalu?
Setiap mengingat Clair, aku pasti merasa sedih dan gelisah. Memang bukan Damian yang membunuhnya secara langsung, tapi dia menyuruh sekumpulan Rogues untuk menyerang Clair saat dia lengah, Clair sendirian saat itu. Dan bodohnya aku tidak menyadari panggilan darinya karena aku sedang mabuk berat. Aku frustasi karena 8 tahun lamanya aku mencari sosok Mate-ku tetapi belum ku temukan.
Maafkan aku, Clair. Maafkan aku.
Sudah lama, pack-ku dengan pack Damian mengalami perang dingin. Padahal waktu itu Damian dan aku bisa dikatakan sangat dekat. Orang tua kami pun dekat dan saling berkunjung satu sama lain agar lebih mendekatkan diri antar pack. Saat pack kami bersatu, pack kami lah yang terkuat. Tidak ada yang bisa mengalahkan kami.
Tapi semuanya berubah hanya karena satu masalah.
Wanita.
Memang benar ungkapan kata kalau Wanita adalah racun dunia. Itu benar. Karena satu wanita, persahabatanku dengan Damian pudar.
Wanita sialan itu mengaku sebagai Mate-ku pada moment pesta ulang tahun Damian ke- 19 tahun. Padahal nyatanya wanita itu adalah Mate Damian. Berkali-kali dia me-reject Damian sebagai Mate-nya, karena dia ingin menjadi Mate-ku. Bahkan dia pernah menelanjangi dirinya sendiri di depanku dengan menyeret tubuhku ke salah satu kamar di rumah Damian. Menggerayangi tubuhku persis seperti pelacur ulung. Menjijikkan!
Sialan. Sungguh aku sangat kesal dan marah waktu itu. Jadi ku biarkan Gary yang mengambil alih dan keesokan harinya, wanita sialan itu tidak ada lagi di Bumi ini.
Ya aku tidak menyesal membunuh wanita itu, tetapi yang aku sesali pada saat itu ialah Damian membenciku setengah mati. Dia bersumpah akan membunuh Mate-ku suatu hari nanti.
Itulah yang membuatku sedikit ketar ketir sekarang. Apalagi Damian sudah tahu mengenai Gwen. Aku dan Gary tidak akan membiarkan dia membunuh Gwen. Tidak akan! Bahkan aku berani mempertaruhkan nyawaku untuk melindungi gadisku. Mate-ku. MINE !!!
Mungkin ini bakal menjadi pertarungan sengit antar kedua pack tapi aku tak peduli, aku harus melindungi gadisku. Harus.
"My Mate, My Soul."

PART 6

Playlist now: Yoon Mi Rae - Touch Love (Ost.Master's Sun)
*****
Gwen's POV
"Andrew?"
Aku melambaikan tanganku beberapa kali ke depan wajah Andrew yang sedang melamun. Terlihat dari sorot mata Andrew yang menerawang jauh, sepertinya dia sedang berpikir serius atau malah seperti mengingat sesuatu.
Andrew menggelengkan kepalanya berulang kali dan akhirnya tatapan matanya fokus padaku, "Eh kenapa sayang?"
"Aku sudah selesai makan dan Sophie tadi sudah kembali ke kamarnya." jawabku. Dia mengangguk dan tersenyum bersamaan lalu meminum segelas air di depannya.
"Aku juga sudah, ayo." Andrew kembali meraih tanganku dan kami pun berjalan menjauh dari ruang makan.
Waw, aku akui, baru pertama kali ini aku masuk ke dalam rumah sebesar ini. Seperti berada di dalam Gedung Hogwarts di film berseries Harry Potter. Tetapi lainnya, ini kastil lebih modern dari Hogwarts. Arsitektur dan dekorasinya seperti gedung-gedung mewah berbintang 5.
"Kita mau kemana? Bisa antarkan aku pulang?" tanyaku lagi saat kami berjalan di salah satu koridor istana ini.            
Banyak wanita-wanita paruh baya yang berpakaian sama seperti pelayan berseliweran dimana-mana. Mereka menunduk dan memberi hormat saat kami lewat. Ada apa sih? Aneh sekali.
"Pulang kemana sayang? Ini rumahmu. Masuklah." katanya saat kami tepat berada di depan pintu kamar. Kamar ini adalah tempat pertama yang aku lihat saat aku terbangun dari tidur tadi.
Andrew membuka pintu kamar itu dan sedikit mendorong tubuhku untuk masuk. Tak lama kemudian, Andrew juga masuk dan mengunci pintu itu dari dalam.
"Eh, kenapa dikunci?!" Aku panik dan segera memburu pintu tetapi tubuhku langsung ditangkap oleh badan Andrew yang besar itu.
"Tidak apa-apa, Gwen. Tidurlah ini sudah malam, sebelum itu kau harus mandi dulu. Pasti tubuhmu gerah kan." ucapnya seraya mengelus pipi kananku dengan jari-jarinya
Aku menelan ludah dengan susah payah, ini bahaya! Alarm di otakku berbunyi keras pertanda kondisi ini DANGER ! Aku pun melepaskan tangan Andrew yang berada di pinggangku, "Drew, sebaiknya aku-
"Jangan membantah, sayang. Aku tidak suka penolakan."
Belum sempat aku selesai bicara, Andrew kembali memotong. Aku baru tahu kalau dia pemaksa juga orangnya.
"Aku tidak bawa baju ganti, Drew. Jadi sebaiknya aku pulang saja malam ini."
Andrew menarik tanganku tanpa bicara apapun, sepertinya kami sedang menuju walk in closet di kamarnya.
"Lihat." ucap Andrew saat membuka salah satu pintu lemari baju di dalamnya.
Wow!
Semua pakaian lengkap untuk wanita, dimulai dari pakaian dalam, baju kaos oblong, gaun, dress rumahan, sepan jeans, dan lain sebagainya. Semuanya ada. Mataku hanya tercengang melihat isi di dalam lemari itu.
"Kata siapa tidak ada baju ganti?" Andrew menaikkan kedua alisnya padaku.
Aku mendengus, "Ini punya siapa?"
"Punyamu sayang, semua ini punyamu. Nah ambil ini, lalu pergilah ke kamar mandi." jawabnya sembari menyerahkan satu set pakaian tidur berwarna biru muda tak lupa dengan pakaian dalamnya.
"KYAAA ! Kau ini kenapa tidak ada malunya saat memegang itu!?" teriakku langsung merebut satu set pakaian itu dari kedua tangannya. Andrew hanya tertawa tak jelas.
Pria ini semakin ditolak semakin bertindak. Kurasa aku tidak bisa melawan sikap otoriternya yang mengerikan itu. Huh. Dengan cepat, aku pun pergi ke dalam kamar mandi yang masih berada di dalam kamar super mewah ini.
Astaga Tuhan! Besar kamar mandi ini saja lebih besar daripada kamarku di rumah. Rasanya sangat disayangkan kalau kamar mandi ini di gunakan untuk mandi. Enaknya buat tidur nih.
Tak lupa untuk mengunci pintu kamar mandi, buat antisipasi kalau saja Andrew berani masuk saat aku telanjang, bagaimana? Jadi lebih baik aku awas diri saja kan. Haha.
Setelah menanggalkan semua pakaianku, aku pun berendam di dalam bath tub dengan air hangat yang sudah di siapkan entah oleh siapa. Wah kapan lagi coba aku begini?
Nyamannya~~
Ditambah wangi aroma terapi membuat pikiranku tenang dan segar. Otot-otot di dalam tubuhku rileks dan...
Tok Tok
"Sayang, kenapa lama sekali!? Kau sudah 30 menit di dalam sana! Keluarlah sebelum pintu ini ku dobrak!"
Terdengar teriakan Andrew dari luar. Hah? Tidak mungkin aku sudah setengah jam berendam!? Wew tak terasa.
"Iyaiya, tunggu sebentar!" jawabku lalu membasuh seluruh tubuhku di bawah shower. Cepat-cepat aku mengeringkan tubuhku dengan handuk lalu memakai baju tidur biru muda ini.
Setelah selesai, aku pun keluar dari kamar mandi dan Andrew tepat berada di depan pintu. Tubuhnya bertumpu pada dinding kamar, menatapku marah.
"Kenapa lama sekali!? Kau tahu, aku cemas padamu!" bentaknya. Aku menunduk, aku paling takut kalau sudah dibentak oleh laki-laki. Serius. Lagipula kenapa dengan Andrew, padahal aku cuma mandi.
Tiba-tiba dia memeluk tubuhku erat, sangat erat. Seperti takut kalau aku menghilang. Aneh, dia sangat aneh.
"Andrew?" panggilku.
"Jangan tinggalkan aku, kumohon.." Andrew lebih mengencangkan pelukannya, seakan dia ingin meremukkan tulang-tulangku. Bahkan sekarang kaki-ku tidak lagi menginjak lantai. Tubuhku terangkat.
"Drew, aku tidak bisa bernafas.." keluhku sesak. Andrew merenggangkan pelukannya tetapi tidak melepaskan tubuhku.
"Berjanjilah Gwen Collins, berjanjilah jangan tinggalkan aku.." ucapnya seraya mencium rambutku.
Eh, Gwen Collins? NO! My name's Gwen Stacy, not Gwen Collins!!
"Hey jangan sembarangan mengubah marga keluarga! Arghh!!!"
Mendadak aku merasakan sakit dan panas bersamaan saat Andrew menggigit leherku. Aku merasa akibat gigitan Andrew tadi, ada darah yang keluar. Andrew pun segera membersihkan darah itu. Setelah dia menjilatnya, tak lama kemudian, dia menurunkan tubuhku hingga aku berpijak lagi di lantai.
"Kau ini kenapa menggigit leherku?! Apa kau kanibal huh?" tanyaku garang sambil mengusap bagian leherku yang digigit oleh Andrew tadi. Ughh nyeri..
"Tidak apa-apa sayang, sudah aku mandi dulu. Tidurlah duluan." ucap Andrew lembut.
Good! Bahkan dia tidak meminta maaf atas perlakuannya tadi. Setelah Andrew mengecup pipi kananku, dia masuk ke dalam kamar mandi seraya bersenandung ria. Sepertinya dia sangat senang setelah menggigitku tadi. Dasar kanibal!
Bukannya naik ke atas tempat tidur, aku berjalan menuju pintu keluar. Ya Tuhan, aku lupa kalau pintu kamar di kunci. Terus tidak ada kunci yang menggantung di sana. Apa Andrew yang menyembunyikannya? Tetapi dimana!? Ini juga sudah pukul 10 malam, terlalu malam kalau aku harus kabur. Yasudah aku menyerah. Hanya untuk malam ini!
Aku pun berbaring di atas sofa empuk berwarna coklat tua yang berada di dekat ranjang tidur Andrew. Tidak mungkin aku tidur bersamanya, sama saja aku menyerahkan diri secara sukarela kan!? Lagipula sofa ini enak juga untuk dibuat tidur. Tidak butuh waktu lama, aku pun tertidur.
******
Andrew's POV
Rasanya aku ingin meledak. Senangnya bukan main, apalagi Gary. Serigala hitam itu tengah terlonjak kegirangan dan mengaum tak karuan. Ya, aku berhasil mengklaim Gwen menjadi Mate kami. Semua werewolf tahu kalau tanda dilehernya itu ada tanda dariku. Setidaknya aku sudah menjauhkan dia dari un-mated wolf yang berkeliaran diluar sana.
Walaupun satu sesi lagi untuk menjadikan Gwen seutuhnya milikku tetapi yang itu nanti saja, tunggu dia siap. Jika tiba masanya, Gwen pasti akan jadi milikku. Sepenuhnya.
Setelah mandi, aku pun keluar dari kamar dan mendapati gadis mungilku itu sedang meringkuk seperti janin di atas sofa. Emosiku naik ke ubun-ubun, kenapa dia tidur di sofa!! Kenapa tidak di atas tempat tidur saja!?
Segera aku mengangkat tubuh ringan ini ke atas tempat tidur dengan hati-hati supaya dia tidak terbangun. Ku sibakkan selimutku di atas tubuhnya agar dia merasa hangat. Ya walaupun itu tidak perlu jika aku memeluknya, pasti dia juga cukup merasa hangat dengan tubuhku.
Aku hanya memakai boxer yang tak terlalu ketat tanpa kaos ataupun baju untuk menutupi dadaku. Aku memang tidur selalu bertelanjang dada karena menurutku itu nyaman dan tak gerah. Lalu aku pun ikut masuk ke dalam selimut dan memeluk tubuh Gwen erat. Tak di duga, dia juga merespon tubuhku dan memeluk perutku. Mungkin di kiranya aku ini bantal guling kali ya.
Gadis kecilku, kau begitu cantik. Beruntungnya aku bisa mendapatkan Mate sepertimu. Terimakasih Moon Goddes.
"Drew, ucapkan selamat tidur pada Mate kita dan kecup bibirnya untukku." suruh Gary padaku.
Tanpa kau perintahkan pun aku pasti melakukan itu Gary.
"Selamat tidur sayang, semoga mimpimu indah. Iloveyou." bisikku pelan tepat di depan telinganya. Setelah itu aku mengecup dahinya, kedua matanya, kedua pipi gembulnya, hidung dan terakhir bibir ranumnya yang berwarna peach itu.
"Eungh.." Dia melenguh tetapi tak terbangun. Malah lebih memeluk perutku kuat, membenamkan wajahnya ke depan dadaku. Ternyata kalau lagi tidur, gadisku manja juga. Senangnya aku.
~~~~~~
"KYAAAAA!!!!"
Aku terbangun dari tidurku setelah mendengar teriakan dari seorang gadis cantik di sampingku. Aku membuka mataku berat dan dengan cepat menarik tubuh gadis mungil itu kembali ke dalan pelukanku.
"A..Andrew.. Kenapa kau tidur denganku!? Bukannya aku tidur di sofa semalam?!" rengutnya sembari berusaha melepaskan diri dari pelukanku.
Tak semudah itu sayang, kekuatanmu tidak ada apa-apanya dibanding denganku. Aku pun kembali menguatkan pelukanku, mengunci kedua kakinya yang berontak dengan kaki-ku. Sehingga dia benar-benar terkunci di dalam tubuhku. Tak bisa bergerak.
"Lepaskan aku.." katanya pelan karena suaranya teredam oleh dadaku. Dia tidak berontak lagi dan tubuhnya sudah lemas sekarang.
"Akan kulepaskan tetapi ada syaratnya sayang." jawabku. Dia menjauhkan kepalanya lalu mendongak ke atas.
"KISS HER, DREW!! KISS HER!!"
Gary berteriak riang saat aku menatap lurus manik matanya yang berwarna coklat terang itu. She's so beautiful. Aku menahan gejolak nafsu untuk mencium, melumat dan menghabiskan bibirnya itu. Mungkin nanti dia akan lebih mengamuk.
"Apa syaratnya?" tanya Gwen polos. Aku tersenyum menggoda dan dia langsung mengerutkan dahinya lucu.
"Sebuah kecupan morning kiss yang romantis untukku."
 Gwen terkesiap mendengar kata 'morning kiss' tadi dan hendak protes, tetapi bibir sexy itu ku tutup pakai jariku.
"Kalau menolak, tidak akan ku biarkan kabur." Aku pun mendekap tubuhnya lebih erat lagi.
"Andrew, aku sesak nafas, lepas!!" berontaknya dan kakinya berusaha menendang tubuhku. Tak kalah cepat aku mengunci lagi kakinya sehingga tak bisa bergerak.
"Tidak apa-apa kalau kita seperti ini seharian, tidak masalah malahan aku senang." ucapku sambil cengingisan.
"Oke oke baiklah, lepas dulu baru morning kiss kuberikan." kata Gwen pasrah. Aku sedikit merenggangkan pelukanku sehingga dia bisa sedikit mundur ke belakang.
Chup
Gwen mengecup bibirku sekilas saat aku tak sadar. Tunggu, kapan dia menciumku!?
"Ulangi, aku tidak sadar." kataku. Gwen merengut dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak mau, tadi sudah.. Mmphh!"
Aku tak tahan lagi, lantas aku meraup bibir mungilnya itu dengan cepat. Melumat dan menggigit pelan bibir manisnya itu. Sebelum dia mengamuk, aku melepaskan bibirnya lalu berlari menuju kamar mandi.
"ANDREEEEEWWWWWWW!!!"
Hahahaha, apa kubilang? Gadisku marah.
~~~~
"Alpha, Damian sudah datang." ujar Devan, Beta-ku saat aku menemani Sophie dan Gwen bermain di taman belakang.
"Oke, Dev. Sebaiknya kau juga memanggilnya Alpha kalau lagi di depannya. Kita tidak mau ada perkelahian disini bukan?"
"Baik, Alpha." jawab Devan sopan lalu meninggalkan kami bertiga. Jangan sampai Damian melihat wajah Gwen sekarang.
"Andrew, memangnya siapa yang datang?" tanya gadis cantikku ini. Dia sudah memetik beberapa buah strawberry di keranjangnya. Aku membuka mulutku seolah ingin minta disuapi. Ternyata gadisku mengerti dan dengan senang hati menyuapi strawberry ke dalam mulutku. Ughhh jarinya manis sekali...
"Kerabat dekat sayang, sebaiknya kau disini saja bermain dengan Sophie hemm?" Aku mencium pipi kanan dan kiri Gwen bergantian. Tersirat semburat merah langsung merekah di pipi indahnya itu.
"Wah manis sekali, Drew. Seandainya aku punya Mate sekarang."
'GGGOURRRRRRR'
Gary meraung keras saat aku mendengar suara berat yang tak asing bagiku, Damian.
"Damian."
"Lama tak jumpa, Drew."

PART 7

Terdengar bunyi decitan mobil range rover putih milik Damian di depan pagar raksasa SilverMoonPack, pack saingannya selama 7 tahun. Perang dingin antar pack itu dimulai dengan terbunuhnya Mate-nya, belahan jiwa Damian karena ulah sahabatnya sendiri.
Ya Andrew, begitu kejamnya dia merobek-robek tubuh telanjang Sheila pada hari ulang tahunnya ke-19 tahun. Sampai detik ini pun, dendam dan sakit hati masih ada di hati Damian. Secara tidak langsung, Andrew-lah yang membuat dia menjadi unmated wolf sekarang. Dan sampai detik ini juga, Damian tidak tahu alasan Andrew kenapa tega membunuh Mate-nya. Yang dia tahu hanyalah satu, Andrew membunuh Sheila. Hanya itu.
"Selamat datang, Alpha Damian." sapa salah satu penjaga gerbang istana besar itu dengan sopan membukakan pintu mobil Damian.
Ya walaupun antara SilverMoonPack dan BlackMoonPack terjadi perang dingin tetapi di antara keduanya masih terjalin hubungan cukup erat. Hanya pemimpin mereka saja yang tidak saling menyapa selama 7 tahun ini.
Damian tersenyum miring dan melepaskan rayban hitam miliknya lalu turun dari mobil. Baru menginjakkan satu kakinya, tiba-tiba dia merasa aneh. Tubuhnya bergetar hebat, detak jantungnya berdegup kencang, semerbak wangi Strawberry menusuk indra penciumannya, dan dia merasa Sam, wolf di dalam dirinya ingin berteriak kencang.
"Aaaaauuuuuuuuuuuuu.."
Terdengar Sam mengaum kencang membuat kepala Damian berdenyut nyeri. Setelah itu, wolf  putih miliknya kembali diam, tak berbicara apapun. Setelah kematian Sheila, Sam terlihat murung dan pendiam. Bahkan antara Sam dan Damian jarang berkomunikasi. Mereka seperti berada di dunia berbeda tetapi berada dalam satu tubuh yang sama.
Kini, Sam kembali mengaum kencang, mau tak mau Damian mengeluh karena kepalanya merasa nyeri yang lebih hebat.
"Ada apa, Sam? Sudah lama sekali kau tidak begini." tanya Damian pada wolf-nya. Kembali terdengar Sam menggeram.
"Tidak apa, aku hanya merasa aneh. Aku merasa ada kekasihku disini." jawab Sam sedih.
Damian tidak menjawab dan hanya berfikir keras. Tak dipungkiri, Damian juga merasa aneh. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, reaksi tubuhnya seperti reaksi seorang werewolf bertemu dengan belahan jiwanya, Mate-nya. Tetapi ini tidak mungkin, sekian lama dia ditinggal mati oleh Mate sejatinya, Sheila, tidak mungkin kan dia mempunyai dua Mate. Impossible, batin Damian.
"Ada apa, Alpha?" tegur Lucas, Beta si Damian. Dia merasa ada yang berbeda dari sosok Damian.
"Tidak ada, Luc." jawabnya tenang seperti biasa. Mereka berdua berjalan menuju pintu utama dan sudah terlihat Devan, Beta dari SilverMoonPack, sudah menyambut kedatangan beliau di depan pintu istana besar itu.
"Selamat datang, Alpha Damian." sapaan yang sama kembali didengar. Damian mengangguk dan tersenyum sarkatis.
"Dimana Alpha-mu, Dev? Aku ingin menyapanya." tanya Damian.
Devan mengernyitkan dahinya, tersirat rasa tersinggung jika Alpha Pack-nya di ejek seperti ini. Tetapi rasa itu di pendamnya dalam-dalam, mengingat kata Andrew, jangan memancing perkelahian disini.
Ketahuilah, Damian sangat berbeda saat bertarung. Sisi wolf nya yang ganas dan brutal tidak bisa dikalahkan, sama kuatnya dengan wolf Andrew, Gary. Jika Gary dan Sam bertarung, tidak akan berhenti kalau salah satu mereka tidak ada yang mati.
Mengingat kembali perkelahian antara Gary dan Sam waktu 7 tahun lalu, saat Damian menyaksikan dengan kedua matanya sendiri, Gary tengah merobek-robek tubuh Sheila seakan daging itu tak berharga sama sekali. Detik itu juga, Sam mengambil alih tubuh Damian.
Awalnya, Gary mundur dan berbicara melalu mindlink pada Sam, apa yang terjadi sebenarnya waktu itu. Tetapi Sam sudah lupa diri, menggigit badan Gary dan menggoreskan kuku tajamnya itu ke dalam tubuhnya, hingga tubuhnya mengeluarkan darah segar yang banyak. Jika Gary tak melawan saat itu, mungkin SilverMoonPack tidak ada Alpha sekarang.
Ya, mereka bertarung. Sangat brutal dan ganas. Tak peduli dengan darah mereka yang bercucuran, tulang-tulang yang patah dan sebagainya. Mereka pun akhirnya berhenti saat keduanya sekarat, sama-sama tidak bisa bergerak lagi. Berdiri saja tidak bisa.
Sejak saat itu, mereka berdua tidak saling menyapa, tidak saling berkomunikasi, memutuskan mindlink mereka dan tidak pernah bertemu. Jika ada pertemuan atau kerja sama antar pack, pasti Devan dan Lucas yang menggantikan.
Ingat satu hal, jangan memancing amarah Wolf. Karena jika dia sudah marah, tiada ampun bagimu.
"Saya panggilkan Alpha Andrew sekarang,"
"Tidak, Dev. Aku tahu dimana dia."
"Ba..baiklah, Alpha."
Damian menahan tubuh Devan yang ingin pergi memanggil Andrew lalu dia berjalan mengikuti aroma tubuh Strawberry menyengat ini.
"Kau mencium itu? Strawberry.. Sangat manis.."
Damian kembali dikejutkan oleh suara Sam. Ya, dia juga tahu. Tetapi dia ingin memastikan sendiri, ada apa gerangan dengan tanda-tanda ini.
Langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu keluar dan menghadap langsung ke taman belakang Andrew yang luas. Terdapat beberapa bunga-bunga dan lebih jauh lagi, terdapat kebun Strawberry yang lagi berbuah lebat.
DEG!
Detakan jantung Damian kembali berpacu kencang. Tubuhnya bergetar hebat dan matanya kini membulat besar tak percaya saat melihat seorang gadis cantik tengah asyik memetik Strawberry. Cantik sekali seperti bidadari, batinnya.
"MATE !!!!! Kekasihku !!!!! MATE MATE !!!" seru Sam.
"Mate? Tidak mungkin, Sam!" tolak Damian tegas. Dia masih merasa aneh, tidak mungkin seorang wolf mempunyai dua Mate. Apa maksud Moon Goddes?
"Aku tidak tahu maksudnya apa, tetapi gadis itu benar-benar Mate kita, Damian. Aku bisa merasakannya!" sahut Sam menimpali. Damian menggelengkan kepalanya berulang kali, berencana menolak pikiran Sam.
"Klaim dia sekarang, kumohon. Dia kekasihku, Damian! Dia mate-ku."
Sial! Umpat Damian dalam hati saat dia melihat gadis itu menyuapi Andrew dengan buah Strawberry di tangannya. Warna matanya kini berubah menjadi orange tua, warna Wolf-nya. Rasanya saat ini dia ingin mencabik-cabik tubuh Andrew yang berani menyentuh bahkan mencium pipi gadisnya itu.
"Jika dia memang bukan Mate kita, kenapa kau cemburu melihatnya dengan Andrew? Akuilah, kau juga merasakan itu kan?" ucap Sam meyakinkan Damian kalau benar-benar gadia itu adalah Mate-nya.
Damian akhirnya tersenyum, "Baiklah, Sam.  Mari kita sapa Mate kita."
Damian berjalan mendekati ketiga orang yang berada di kebun itu, satunya dia tahu kalau itu Sophie, adik kecil Andrew.
"Wah manis sekali, Drew. Seandainya aku punya Mate sekarang." ucap Damian membuat ketiga orang itu menoleh bersamaan ke arahnya.
Terlihat Andrew menggeram keras dan iris matanya berubah warna. Dia tahu kalau Gary tengah marah saat ini.
Damian menyapukan pandangannya ke wajah gadis cantik yang lagi memegang keranjang buah ditangannya. Gadis itu tidak tersenyum dan tidak pula cemberut melihatnya. Hanya muka polos.
"KEKASIHKU! DIA MATE-KU!!!" seru Sam kembali mengaum di pikirannya. Damian tersenyum, bukan licik ataupun mengejek, dia tersenyum tulus pada gadis itu, Gwen.
"Damian." panggil Andrew lirih.
"Lama tak jumpa, Drew." balas Damian. Lalu tanpa izin Andrew, Damian meraih tangan kanan Gwen dan mencium punggung tangan Gwen. Gwen tercengang, tubuhnya menegang.
"Kau cantik sekali. Sangat." ucap Damian lembut. Gwen yang merasa dipuji seperti itu hanya tersenyum hambar.
"Terima kasih." ucap Gwen. Andrew yang melihatnya terbakar cemburu. Matanya berkilat marah dan rahangnya mengatup rapat. Dia merebut tangan Gwen yang masih setia digenggam oleh Damian.
"Ada apa kau kesini?!" gertak Andrew marah. Dia menatap mata Damian tajam seakan ingin mengatakan, 'JANGAN SENTUH MATE-KU'.
"Aku hanya ingin bertemu seseorang." jawab Damian tenang tetapi tatapannya tidak lepas dari Gwen. Gwen hanya menatapnya bingung, kenapa pria ini memandangiku seperti aku makanan lezat? Batinnya.
Andrew melihatnya bertambah gusar dan dia mencium pipi kanan Gwen, membuat Damian menggeram marah apalagi Sam, wolf-nya kini ingin mengambil alih tubuhnya. Tetapi Damian menahan sekuat tenaga agar Sam tidak keluar.
"Sayang, bisakah kau kembali ke dalam bersama Sophie? Aku ada urusan." ucap Andrew lembut sambil mengelus pipi Gwen. Damian kembali menahan Sam yang ingin keluar sekarang juga, Wolf itu tidak mau kalau Mate-nya di sentuh oleh orang lain.
"Bolehkah aku pulang saja? Aku mau kuliah, Drew." jawab Gwen ketus.
"Tidak. Sekarang masuk dulu, cepat!" tegas Andrew. Dia memanggil Sophie yang tak jauh dari mereka untuk mendekat.
"Soph, tolong kau bawa Gwen ke dalam kamar." perintah Andrew tegas.
Belum Sophie menjawab perintah kakaknya itu, Gwen menghentakkan kakinya berulang kali ke tanah dan berjalan duluan ke dalam tanpa Sophie. Bahkan dia tidak sadar saat dia melewati Damian, Damian membisikkan sesuatu padanya. Damian mengatakan 'Mine' dengan suara pelan.
Sophie menggelengkan kepalanya melihat tingkah Gwen seperti anak kecil, bahkan kalau di bandingkan Sophie-lah yang terlihat lebih dewasa dari Gwen. Pada akhirnya, Sophie berjalan menyusul ke dalam rumahnya. Sebelum itu, gadis berumur 10 tahun ini berhenti saat melewati Andrew dan Damian.
"Kalian tahu? Aroma kalian bertiga sama dihidungku. Kau, Gwen dan Andrew." tunjuk Sophie ke arah Damian, Gwen yang sudah masuk ke dalam rumah, dan yang terakhir ke arah Andrew.
Pria itu bingung dengan perkataan adiknya barusan. Maksudnya apa?
Sebaliknya, Damian malah tersenyum lebar mendengar ucapan Sophie barusan. Berarti benar adanya kalau Gwen adalah Mate-nya. Apa maksud Moon Goddes mengatur semua ini??
Setelah Sophie menghilang, Andrew kembali emosi mengingat Damian yang berani mencium tangan Gwen tadi. Dia merengkuh kerah baju Damian, menantangnya dengan tatapan tajam.
"Apa maksudmu tadi hah!? Jangan sentuh Mate-ku!!" bentak Andrew menarik kerah baju Damian lebih kuat. Damian mendorong tubuh Andrew hingga terlepas.
"Jangan egois, Drew. Aku hanya mencium tangannya, bukan kau yang-"
"CUKUP!" potong Andrew. Dia sudah tahu apa kelanjutan ucapan Damian barusan. "Aku tidak mau membahas itu lagi, Damian!" lanjutnya.
Damian terkekeh, tidak disangka jika Andrew masih mengingat masa kelam itu.
"Kau membunuh Mate-ku, Drew." balas Damian sarkatis. Andrew mulai marah, dia menggeram keras dengan tone khas Alpha-nya. Siapapun yang berada disana pasti tahu kalau Alpha mereka sedang marah sekarang.
"Dan kau membunuh Clair!" tegas Andrew. Dia menahan Gary yang ingin keluar sekarang.
"Bukan aku, tapi rogue." jawab Damian tenang. Tenang tetapi licik. Ya, dia memang menyuruh Rogue untuk membunuh Clair. Dan Andrew tahu jika Rogue itu adalah tahanan penjara di Pack Damian selama beberapa tahun.
"Sialan kau!" Andrew menghantam tangannya ke wajah mulus Damian. Kena telak! Damian meringis sembari memegang rahangnya.
"Dan kau tahu, aku akan merebut Gwen darimu. DIA MATE-KU !" bentak Damian dan membalas pukulan Andrew.
"BRENGSEK KAU, DAMIAN!!!"
~~~
"GGGGOORROUURRRRRR!!"
Sedetik kemudian, mereka berdua berganti menjadi wujud asli mereka. Serigala. Bukan serigala biasa, karena postur tubuh mereka 3x lipat dari itu. Ditambah lagi, Andrew dan Damian adalah seorang Alpha sebuah Pack.
Serigala berbulu hitam abu-abu milik Gary dan serigala berbulu putih bersih milik Sam. Mereka berjalan memutar seakan ingin memulai pertarungan.
"GGRRRRR.." Gary menggeram marah, gigi tajamnya kelihatan. Tak kalah dari Gary, Sam pun begitu. Mereka terlihat tidak mau menahan diri lagi.
"ALPHAAA!!"

PART 8

"GGRRRRR.." Gary menggeram marah, gigi tajamnya kelihatan. Tak kalah dari Gary, Sam pun begitu. Mereka terlihat tidak mau menahan diri lagi.
"ALPHAAA!!"
Terdengar teriakan Lucas dan Devan bersamaan tak membuat Alpha mereka berhenti bertarung. Gary menggigit tubuh Sam dan Sam mencakar tubuh Gary. Keduanya berdarah.
Lucas dan Devan, Beta mereka terlihat panik Keduanya memberanikan diri untuk mendekat karena mereka tidak mau kalau kejadian 7 tahun lalu terulang kedua kalinya.
Tiba-tiba, Sophie berlari ke arah Sam dan Gary yang tengah bertarung, di ikuti oleh beberapa omega di belakangnya. Wajah Sophie pusat pasi dan dia menangis.
"ANDREW!! GWEN JATUH DARI TANGGA, KEPALANYA PECAH!!" teriak Sophie kencang. Gadis kecil ini menangis sejadi-jadinya. Dia bingung, panik dan sedih.
Sam dan Gary berhenti mendadak. Keduanya mengaum sangat keras hingga terdengar beberapa kilometers jauhnya. Pantas saja tadi mereka merasakan kepalanya sakit luar biasa. Pikir mereka, itu hanya efek atas luka-luka bekas pertengkaran mereka. Ternyata..
Kejadian begitu cepat, saat Gwen berlari-lari menaiki tangga karena kesal dengan Andrew yang tak memperbolehkan dia pulang ke rumahnya. Kakinya terpelintir dan terpeleset. Tubuhnya hilang keseimbangan dan terjatuh begitu saja ke bawah. Sekitar 7 anak tangga terlewati saat Gwen jatuh ke lantai, kepalanya terbentur dan berdarah. Gadis itu pingsan seketika.
Sam dan Gary tak peduli lagi dengan keadaan sekitar, mereka berdua masuk ke dalam rumah besar itu dengan berlari cepat. Devan, Lucas, Sophie beserta omega-omega menyusul ke belakangnya.
Seakan tak peduli dengan luka-luka di tubuh mereka, Gary dan Sam terus berlari mencari keberadaan Gwen di dalam rumah, menyusuri koridor-koridor sepi dan akhirnya tiba di sebuah kamar. Kamar Andrew.
Gwen sudah dibawa oleh beberapa dokter spesial SilverMoonPack yang dipanggil oleh Sophie sebelum dia memanggil kakaknya. Kepalanya sudah di obati dan dibalut perban. Tetapi Gwen masih belum sadar, wajahnya pucat pasi dan bibirnya kelu.
"Ggrrr..." Gary menggeram pertanda menyuruh semua orang yang berada di dalam sana keluar. Semua orang menurut dan keluar dari kamar tersebut kecuali Sophie dan Sam. Gary kembali menggeram keras yang dibalas oleh geraman Sam pula.
"Cukup! Tidakkah kalian berdua diam? Gwen sedang sekarat dan kalian masih sempat saja bertengkar!" tegur Sophie. Gary akhirnya diam dan berjalan mendekati ranjang yang ditempati Gwen. Serigala besar itu menjilati wajah Gwen dengan sayang seakan ingin meminta maaf.
Sam ingin mendekati Gwen tetapi tubuhnya ditahan oleh tangan mungil si Sophie, "Kamu diluar saja, aku tidak mau lagi ada perkelahian disini," ucapnya.
Mau tak mau, demi Mate-nya, Sam pun keluar dari kamar itu. Saat keluar, Lucas sudah menyambutnya dan dia sudah membawa sepasang pakaian ganti untuk Damian. Tidak mungkin kan, dia hanya memakai boxer saja nanti.
Berbeda dengan keadaan di dalam, Andrew sudah berubah dalam wujud manusianya dan sudah memakai pakaian baju kaos oblong dam sepan hitam pendek. Tubuhnya luka-luka dan darah masih menetes dari sana, tetapi itu tidak penting. Yang dia pedulikan hanya keadaan Gwen sekarang.
"Sayangku, kumohon bukalah matamu.." ucap Gary sedih. Wolf hitam itu tak disangka sudah menangis, melihat betapa perihnya keadaan belahan jiwanya.
"Sayang, maafkan aku.. Kumohon sadarlah.." Andrew mencium punggung tangan Gwen berkali-kali, menumpahkan rasa bersalahnya. Sophie yang melihatnya pun ikut sedih, tidak pernah dia melihat sosok kakaknya begitu sedih seperti ini.
"Drew, obati lukamu dulu." sahut Sophie seraya memegang pundak kokoh Andrew. Andrew hanya menggeleng lemah.
"Itu tidak penting, Soph. Nanti juga sembuh sendiri. Yang penting sekarang keadaan Gwen!" jawab Andrew gusar.  "Aku menyesal sudah memarahinya tadi, aku menyesal Sophie." lanjut Andrew dengan wajah sedih. Secara tidak langsung, penyebab terjatuhnya Gwen karena Andrew yang melarangnya pulang.
"Itu kecelakaan, Drew. Jangan salahkan dirimu. Lebih baik kita pikirkan Gwen," balas Sophie menenangkan hati kakaknya.
"Alpha, Damian ingin melihat Luna."
Tiba-tiba, Devan me-mindlink Andrew. Andrew kembali merasakan amarahnya. Untuk apa pula Damian sialan itu ingin bertemu Mate-ku, batin Andrew.
"Dev, suruh dia pulang saja. Aku muak melihat wajahnya." balas Andrew. Tidak ada lagi wibawa dan bijaksana seorang Andrew jika sudah menyangkut Mate-nya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka paksa, ternyata Damian yang mendobrak pintu itu. Devan yang ingin menahan Damian, ditahan oleh Lucas dibelakangnya.
"Aku tidak perlu izin darimu, Drew. Jangan kekanak-kanakan." ucap Damian sinis. Dia berjalan cepat menuju ranjang tidur Gwen, tetapi kalah cepat saat Andrew mendorong tubuhnya menjauh.
"Jangan sentuh Mate-ku, Damian!!" tegas Andrew. "Gggrrrr!!!!" Gary kembali ingin keluar dari tubuh Andrew, warna bola matanya sudah hitam pekat.
"Cih, Mate-mu? Dia Mate-ku, Drew!" Damian mendorong tubuh Andrew hingga terbentur keras ke dinding kamar.
"Dasar kau gila! Tidak lihat tanda dilehernya?! Dia milikku!!" ujar Andrew seraya menendang perut Damian kuat.
"HEY, KALIAN BODOH! DIAM!! Tidak melihat Gwen huh!?" teriak Sophie menengahi perkelahian yang baru akan terjadi. Andrew dan Damian persis seperti remaja labil yang memperebutkan seorang gadis.
Andrew mendengus kesal dan kembali duduk dikursi sebelah kanan ranjang itu. Sedangkan Damian duduk di atas ranjang sebelah kirinya.
"Pergi kau, Sam!!" teriak Gary dalam hati. "Kau yang pergi!!!" balas Sam. Entah sejak kapan, mereka bisa berkomunikasi lagi di dalam pikiran masing-masing.
Andrew menggeram marah saat Damian memegang tangan Gwen. Damian pura-pura tidak mendengar geraman Andrew dan terus mengelus tangan Gwen lembut.
"Jangan sentuh!!" Andrew menepis tangan Damian kasar dan merebut tangan Gwen dari tangan Damian. Andrew menggenggam kedua tangan Gwen erat seakan tidak ingin membaginya untuk Damian.
"Jika tangannya tidak boleh ku sentuh, baiklah yang ini saja." ucap Damian tak acuh lalu mengelus pipi Gwen. Andrew kembali menepis tangan Damian di pipi Gwen dengan kasar.
Sophie yang melihat mereka hanya memutar bola matanya jengah. Mereka seperti anak kecil yang berebut mainan.
"Apa kalian tidak malu dengan umur? Berhentilah seperti anak kecil." ucap Sophie tenang.
Andrew dan Damian terkesiap dan kembali ke posisi mereka semula tetapi tangan mereka masih terus menggenggam tangan Gwen.
"Maaf boleh aku bertanya padamu, Alpha Damian?" tanya Sophie tiba-tiba. Damian menoleh dan mengangguk.
"Kenapa kau bisa beranggapan kalau Gwen Mate-mu? Padahal kau jelas sudah tahu kalau dia adalah Mate-nya Andrew?" tanya Sophie serius. Walaupun gadis kecil ini baru berusia 10 tahun tetapi pikirannya seperti orang dewasa. Terlalu realistis.
"Aku juga merasa aneh, tetapi ya beginilah. Aku yakin kalau Gwen, Mate-ku. Pengganti Sheila yang mati dibunuh oleh orang yang tak berprasaan." jawab Damian sarkatis.
Andrew melirik dan merasa tersinggung. Jika tidak ada Gwen disini, pasti Damian sudah diterkamnya.
"Jangan mencari alasan! Bilang saja kau ingin mengambil Mate-ku, karena dulu aku membunuh Sheila, ya kan!?" tegas Andrew. Untuk apa lagi ditutupi masalah itu toh semua orang juga sudah tahu.
Damian terkekeh, "Aku tidak munafik, memang itu tujuanku kesini awalnya. Tetapi tidak disangka, Gwen memang Mate-ku. Aku berhak mengambilnya darimu, Drew."
"JANGAN MIMPI!! PERGI KAU DARI RUMAHKU!!" teriak Andrew kencang. Sophie yang mendengarnya pun ikut terkejut.
Damian tersentak, bukan karena teriakan Andrew tadi melainkan pergerakan tangan Gwen yang berada digenggaman Damian.
"Sayang?" panggil Damian seraya menggenggam tangan Gwen. Kembali Andrew menepis tangan Damian kasar.
"Jangan panggil Mate-ku dengan panggilan sayang, brengsek!!"
"Aku tidak perlu izin darimu, Drew. Ini mulutku! Bukan mulutmu!" jawab Damian ketus.
"Kalian seperti bocah, Oh astaga Gwen!" seru Sophie saat melihat Gwen mengerjapkan matanya pelan-pelan. Dia melenguh kesakitan, spontan mengeluarkan air matanya.
"Sayang?" ucap Damian dan Andrew bersamaan.
"Kepalaku sakit.." Gwen memegang kepalanya pelan.

PART 9 
".... I will not let anything take away
What's standing in front of me
Every breath
Every hour has come to this ...
*****
Gwen's POV
Dimana aku? Apakah sekarang sudah malam? Aku tidak pernah ke tempat ini sebelumnya. Kini aku sedang berada di bibir pantai yang indah dan langsung menghadap ke lautan luas. Bulan bersinar terang-menderang. Indah sekali.
"Hai Gwen."
Aku menoleh ke belakang saat terdengar panggilan suara wanita yang sangat lembut.
Astaga.. Apakah dia bidadari? She's so beautiful woman. Wanita itu memakai baju terusan panjang sampai melebihi mata kaki yang berwarna putih gading. Rambutnya yang panjang sampai ke punggungnya pun berwarna serupa dan di dahinya ada kalung liontin berwarna putih. Cantik. Sangat.
Tunggu dulu, jangan-jangan dia hantu? Oh My, iya hantu kan bisa menjelma jadi apa saja.
"Aku bukan hantu, Gwen. Panggil aku Moon." jawabnya sembari tersenyum. Apakah aku sedang bermimpi? Aku bertaruh kalau semua pria melihat wanita di depanku ini, pasti mereka akan langsung jatuh cinta dengannya.
"Moon? Apakah kau jelmaan Bulan?" tanyaku sambil menunjuk Bulan yang tengah bersinar indah di atas sana.
Dia tertawa pelan, "Bisa dibilang begitu, bisa juga tidak." Dia tertawa saja cantik, aku jadi minder begini. Hadeeehh.
Tapi jujur saja aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Wake up, Gwen!
"Aku kesini hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu, Gwen. Dengarkan baik-baik."
Aku tidak menjawab ucapannya, aku sibuk mengagumi wajahnya yang kelewat cantik itu. Benar-benar, aku masih tidak percaya ada ciptaan Tuhan secantik ini. Astaga..
"Pilihlah seseorang yang bisa membuatmu nyaman, Gwen. Pilihlah dengan bijak. Aku sangat berharap padamu, semoga kamu bisa menyatukan dua hati yang dingin menjadi hangat kembali, Gwen. Bersabarlah, ini hanya sementara waktu.." ujar wanita cantik itu panjang lebar.
"Maksudnya apa?" tanyaku bingung. Lalu wanita itu pergi perlahan dari hadapanku.
"Bangunlah, kau sudah membuat dua pria menunggu.."
Setelah itu, dia menghilang dan digantikan dengan sakit luar biasa dari kepalaku. Ya Tuhan, kepalaku berdenyut nyeri tak tertahankan. Kenapa aku??
"Aku tidak perlu izin darimu, Drew. Ini mulutku! Bukan mulutmu!"
Suara siapa itu? Aku pernah mendengar suara itu sebelumnya. Aku ingin melihat darimana asal suara itu tetapi mataku sangat berat. Ayo, Gwen. Kau pasti bisa!!
"Kalian seperti bocah, Oh astaga Gwen!"
Hhmm aku tahu suara anak kecil ini pasti suara Sophie. Lantas aku mengerjapkan mataku berulang-ulang kali. Kepalaku masih saja sakit, aku tidak tahan. Tak terasa air mataku mengalir keluar.
"Sayang?" ucap dua orang pria sekaligus. Mereka mengusap air mataku bersamaan. Penglihatanku belum kembali sempurna, aku masih menebak-nebak. Dua orang pria itu mungkin Andrew dan temannya yang tadi datang. Siapa ya namanya? Err aku lupa, Damian mungkin? Iya Damian.
"Kepalaku sakit.." ucapku lemah sambil memegang kepalaku.
"Jangan dipegang, Sayang. Kepalamu terluka." ucap Damian menahan tanganku. Dengan cepat, Andrew menampar tangan Damian hingga terlepas dari tanganku. Ouch, itu pasti sakit.. "Jangan sentuh dia!" ujar Andrew dengan tatapan tajam padanya. Kenapa Andrew begitu?
Tapi wajah Damian seperti pura-pura tidak tahu dan mengambil tanganku kembali.
"Sayang, maafkan aku ya. Karena aku kau jadi begini." kata Andrew dengan tatapan sendu lalu hendak mencium pipiku. Tetapi belum juga bibirnya sampai, wajah Andrew disingkirkan oleh tangan Damian. "Aww!!"
"Sial! Jangan cium dia!!" tegas Damian. Mereka berdua kenapa sih? Kulihat Andrew menggeram marah tetapi hanya dibalas cibiran oleh Damian.
Oh aku baru ingat, aku terjatuh ditangga lalu.. Aku tidak tahu apa lagi yang terjadi setelah itu. Benar, ini gara-gara Andrew. Aku kesal dengannya yang tak perbolehkan aku tuk pulang. Tapi salahku juga sih tidak hati-hati.
"Sophie, tolong panggilkan Dokter diluar. Bilang kalau LUNA mereka sudah sadar." ujar Andrew bernada sarkatis sambil menekankan kata LUNA.
Maksudnya apa ya? Aku lihat Damian mengerang kesal tetapi setelah itu dia kembali tersenyum tulus melihatku. Kenapa pula pria ini seperto mesam mesem melihatku?! Aneh.
"Drew, kau tidak tertolong." sahut Sophie menggelengkan kepalanya lalu berjalan keluar kamar. Sedangkan Andrew masih setia menciumi punggung tanganku.
"Sayang, kau mau minum?" Damian ingin menaikkan punggung tubuhku tetapi Andrew kembali mendorong tubuhnya.
"Aku saja. Kau, pergilah dari rumahku!" ketus Andrew. Ampun, mereka berdua bertingkah seperti bocah.
"Aku bisa sendiri," ucapku serak lalu merubah posisiku ingin duduk. "Aduh.."
"Kenapa, sayang?" tanya mereka bersamaan sambil menahan tubuhku supaya duduk dengan bertumpu pada bantal. Astaga.. Punggungku sakit.
"Alpha, saya ingin memeriksa Luna Gwen."
Tiba-tiba sudah ada dua Dokter berjubah putih, pakaian Dokter seperti biasa, dari belakang tubuh Andrew. Andrew dan Damian menoleh tetapi belum beranjak dari posisi mereka. Masih saja duduk disebelah kanan dan kiriku.
"Bisa tidak kalian minggir sih? Dokter mau memeriksa Gwen!!" teriak Sophie. Damian dan Andrew hanya ber'Oh' ria saja lalu sedikit menggeser tempat duduknya menjadi dekat dengan kakiku. Astaga, mereka persis seperti anak kecil.
"Zzz!" Sophie terlihat kesal lalu menarik baju Andrew dan Damian hingga jauh dari ranjang.
"Bisakah kalian memeriksa tanpa menyentuh tubuhnya?" Tiba-tiba, Damian bertanya sesuatu yang tak masuk di akal. Andrew menggeram marah tetapi dia tetap tak peduli.
"Dokter, jangan terlalu banyak menyentuh tubuh MATE-ku." tambah Andrew.
"Dokter, jangan pedulikan mereka. Lakukan saja apa yang perlu kalian lakukan." Sophie menarik lengan Andrew dan Damian supaya keluar dari kamar. Awalnya mereka protes tetapi akhirnya menurut setelah aku ikut melototi mereka.
"Sebaiknya Luna beristirahat maksimal dan jangan berjalan dulu. Kaki Luna terpelintir dan punggung Luna keseleo." ujar salah satu Dokter pria itu setelah memeriksa kakiku.
"Kepala saya, Dok? Apa ada yang parah?" tanyaku seraya memegang perban di kepalaku.
"Tenang saja, Luna-
"Jangan panggil, Luna please. Panggil saja Gwen, Dok." potongku. Kedua Dokter itu menggeleng pelan.
"Maaf, itu tidak bisa Luna. Tidak sopan." jawabnya. Aku tidak mengerti apa maksud panggilan Luna itu. Sungguh.
"Jadi bagaimana kepala saya, Dok?"
BRRRAAAAKKK!!!
Aku tercengang saat dinding kamar roboh karena terbantur sesuatu yang amat keras. "GGGRRRRROOOOOUURRRRR!!"
"KYAAAAA!!" teriakku keras saat aku melihat pemandangan menakjubkan di depanku.
Aku membelalakan mataku saat di depanku terbanting hewan berbulu lebat berwarna hitam putih yang terbanting karena terdorong seekor serigala besar berwarna putih bersih itu.
Astaga!! Mereka serigala raksasa!! Dan sepertinya mereka berkelahi.
"ANDREW! DAMIAN!! STOP!!" teriak Sophie dari luar. Tunggu, apa yang dia panggil tadi Damian dan Andrew??
Grrr...
Serigala hitam itu kembali menggeram lalu meloncat sampai ke atas tubuh serigala putih itu. Aku takut... Ya Tuhan..
"Andrew? Damian?" panggilku. Mereka berhenti mendadak dan menoleh padaku. Apakah mereka....?


PART 10
STILL GWEN'S POV
"Andrew, Damian?" panggilku. Dua serigala hitam dan putih menoleh bersamaan ke arahku. Apa mereka berdua memang Andrew dan Damian?
Serigala berwarna putih bersih itu berjalan menghampiriku tetapi tubuhnya didorong keras hingga terpelanting ke belakang oleh serigala berwarna hitam-putih. Mirip anjingku dulu, si Drew. Tapi ini lebih besar dan.. Ganas?
Saat kedua serigala itu kembali bertarung, Dokter yang memakai baju putih-putih itu malah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar yang dindingnya roboh begini. Wajah mereka ketakutan saat melihat serigala-serigala itu yang saling mencakar dan menggigit.
Aku pun takut, sangat takut. Baru kali ini aku melihat serigala sebesar ini. Tetapi siapa yang akan buat mereka berhenti? Aku melihat Sophie dan beberapa orang di depan kamar hanya melihat mereka berdua dengan raut wajah takut dan khawatir. Tidak ada satupun yang berani mendekati mereka. Ya Tuhan, kedua wolf itu bisa mati kalau tidak ada yang memisahkan mereka.
"Ugh.."Aku berusaha beranjak dari tempat tidur walaupun punggungku sakit dan kakiku terpelintir. Kepalaku masih berdenyut-denyut tak karuan, tetapi kalau bukan aku yang menenangkan dua serigala yang bertengkar ini, siapa lagi?
"Gwen, jangan.." panggil Sophie lirih. Dia melambaikan tangannya padaku supaya aku berhenti. Aku menggeleng, aku sudah terlanjur berjalan seperti ini, masa' mau berhenti. Aku mah bukan gitu orangnya.
Aku berjalan pelan, mengingat kaki kananku yang terkilir ini lalu mendekati dua serigala yang berbeda kontras warnanya itu. Mereka saling menggeram satu sama lain. Bahkan tidak sadar saat aku berjalan menghampiri mereka. Walaupun aku masih bingung sedang apa yang terjadi di dalam istana ini, tapi itu bisa dijelaskan nanti. Yang penting, mereka harus berhenti sekarang.
Saat aku sudah berada di depan mereka, aku mengusap bulu-bulu serigala itu hingga mereka berdua serentak menoleh.
"Drew?" panggilku pelan. Serigala berwarna hitam putih itu menoleh ke arahku. Raut wajahnya yang semula marah dan brutal, melembut padaku.
"Damian?" panggilku pada serigala yang berwarna putih bersih itu. Warnanya cantik sekali. Aku mengelus-ngelus bulu-bulu lebat diwajahnya hingga dia merasa nyaman dan mengenduskan hidungnya ke wajahku.
"Ggrrr.." erang serigala hitam itu. Sepertinya dia marah kalau aku mengusap bulu serigala putih ini.
Aku tertawa pelan, "Iya, kau juga sayang." ucapku lembut seraya mengelus-elus wajah wolf hitan itu.
"Ggrrr.."
Gantian, sekarang malah wolf putih itu yang menggeram. Yang benar saja, mereka berdua sangat pencemburu! Aku sangat gemas melihatnya lalu aku rangkul kepala mereka dengan kedua tanganku. Seperti sedang memeluk ya walaupun tak bisa merangkul seluruh wajahnya tetapi ini cukup.
Aku ingin membisikkan sesuatu ditelinga mereka, karena sekarang aku berada ditengah-tengah dan posisiku cukup strategis untuk itu. Keduanya menjilati pipi kanan dan kiriku. Membuatku geli. Tetapi aku harus serius, fokus Gwen!!
"Jangan berkelahi lagi ya kalian berdua. Kalau kalian bergulat seperti tadi, aku langsung bunuh diri," bisikku pelan. Hanya aku dan mereka yang mendengar.
"Grrr.." Mereka berdua menggeram bersamaan, melihat ke arahku dengan tatapan tajam seperti ingin berkata, "Jangan lakukan itu! Atau aku yang bakalan bunuh diri duluan!!" Aku kembali tertawa, sungguh walaupun wajah mereka berdua serigala tetapi raut wajah mereka terlihat manusiawi. Aku kembali teringat ucapan wanita cantik di dalam mimpiku,
... semoga kamu bisa menyatukan dua hati yang dingin menjadi hangat kembali, Gwen ...
Apakah ini maksudnya? Kalau benar, pasti berat tugasku. Mungkin saat ini aku bisa menenangkan kedua wolf nakal ini, tetapi tidak lain kali. Kita lihat saja nanti.
Tawaku tak tertahankan lagi saat kedua wolf hitam dan putih itu kembali menjilati wajahku. Geli, ampun..
"Sudah, sudah.. Geli. Hahaha. Cukup..hahaa.." ujarku terengah-engah karena kegelian. Aku rasa mereka tidak menakutkan, malah sebaliknya. Aku melihat ke arah depan kamar yang dindingnya roboh itu, semua orang berwajah lega. Bahkan Sophie mengacungkan kedua jempolnya untukku. Apakah aku sehebat itu?
*****
"Sophie, jelaskan ini semua!" tegasku saat aku sedang berada di kamar Sophie. Kamar Sophie terlihat lebih girly dan bernuansa pink putih. Kamarnya berada dua pintu setelah kamar Andrew yang sudah tak terbentuk itu.
Aku memaksa kedua wolf besar itu supaya tidak mengikuti aku dan menyuruh mereka untuk mengobati luka-luka parah akibat perkelahian sengit mereka. Walaupun agak susah, tetapi akhirnya mereka menurut setelah aku bilang aku tidak akan makan selama seminggu penuh.
"Hmmm, bagaimana ya.. Kurasa kau sudah tahu kalau kami.. Emm.. Ya begitu." jawab Sophie malu-malu. Kalau begini, aku tidak mengerti.
"Jelaskan, Sophie. Kenapa mereka bisa bertengkar hebat seperti itu? Lalu apa benar kedua wolf itu Andrew dan Damian??" tanyaku penasaran. Sophie seperti ragu-ragu menjawab. Tetapi akhirnya dia menatap lurus mataku dan mulai bercerita.
"Janji jangan berteriak atau beritahukan hal ini pada orang lain, oke?" tegasnya. Aku mengangguk pelan, karena kalau terlalu kuat, kepalaku bisa sakit.
"Oke, hemm kami bukan manusia, Gwen. Kami werewolf." kata Sophie.
Astaga! Yang benar? Bukannya itu hanya mitos saja? Atau legenda merakyat yang turun menurun dari nenek moyang zaman dahulu. Tapi kalau di ingat kejadian tadi, memang Sophie benar.
"Aku tahu kau pasti terkejut, Gwen. Tapi ini memang nyata. Kami makhluk nyata, bukan mitologi atau legenda rakyat. Kami bisa berbaur dengan manusia tetapi kami hidup terpisah dengan berpack-pack atau bisa dibilang kelompok besar. Dan pemimpin sebuah Pack dinamakan Alpha. Pasangan Alpha, Luna. Dan kau Luna, Gwen." jelas Sophie panjang lebar.
Sebentar, otakku masih konslet. Aku masih belum nyambung. Alpha? Luna? Pantas saja aku selalu dipanggil Luna. Tapi apa tidak ada panggilan lain selain Luna, kalau pemimpinnya disebut Alpha. Aku mau disebut Teta saja. Kan keren. Kekeke.
"Kalian memanggil Andrew dengan sebutan Alpha, berarti dia pemimpin pack kalian?" tanyaku. Sophie mengangguk polos. "Lalu kenapa Damian dipanggil Alpha juga? Apa suatu pack ada dua Alpha?"
Sophie menggeleng, "Tidak, Damian memang Alpha tapi bukan disini. Dia Alpha dari BlackMoonPack, kalau pack kami SilverMoonPack." jawabnya.
Wow nama Pack-nya saja keren. Apa ada YellowMoonPack atau PinkMoonPack? Hahahaha kok aku geli membayangkannya ya. Tak sadar aku pun tertawa sendiri.
"Jangan berpikiran macam-macam, Gwen. Apa kau tidak mau tahu kenapa mereka bertengkar tadi?" tanya Sophie tiba-tiba. Ah iya, aku kan penasaran dengan itu.
"Ah iyaiya! Kenapa mereka bisa bertengkar hebat seperti tadi, Soph?" "Itu yang kedua, Gwen. Kau tahu, yang pertama bahkan lebih hebat dari yang tadi." jawab Sophie enteng. Hah? Yang kedua? Kenapa aku tidak tahu?
"Sebelum kau terjatuh, mereka bertengkar di taman belakang. Mereka bertengkar karenamu, Gwen!" ujar Sophie.
WHAT!? Karena aku? Kenapa? Apa mereka ingin memakanku? No, jangan. Aku kurus dan tak ada daging. Lagipula dagingku tak enak dimakan. Pahit rasanya. Habis pahit lalu asam dan asin.
"Hmm bagaimana ya menjelaskannya susah sih. Aku juga tidak mengerti kenapa, karena aku baru bertemu hal semacam ini." kata Sophie.
Aku mengerutkan dahiku kencang, otakku mulai panas. Aku tak mengerti. Sungguh.
"Apanya, Soph. Jelaskan pelan-pelan." jawabku.
Sophie menghela nafasnya, "Kau tahu Mate? Soulmate?" tanya Sophie.
Oh Soulmate. Aku tahu!
"Someone who does the same weird things you do"
Tapi secara harfiah, arti soulmate kan pasangan jiwa.
"Pasangan?" tanyaku. Sophie kembali mengangguk.
"Pasangan sejati seorang Werewolf dinamakan Mate. Dan kau Mate-nya Andrew, Gwen. Tetapi saat Damian berkunjung disini, dia bilang kau juga Mate-nya. Aku bingung. Serius. Entah apa maksud Moon Goddess." ucap Sophie panjang lebar.
Astaga, ini semacam teka-teki silang. Moon Goddes, aku teringat wanita cantik di dalam mimpiku. Dia bilang, panggil aku Moon.
..Bersabarlah ini hanya sementara..
Katanya? Eh aku kembali bingung. Please, aku hanya manusia biasa!!
Sekitar 2 jam bercerita di kamar Sophie, aku dikagetkan oleh pintu yang dibuka dari luar.
"Sayang?" Ternyata si Andrew, dia sudah memakai baju ganti. Sepertinya dia sehabis mandi. Soalnya dia wangi sekali. Dia menghampiriku di atas ranjang Sophie dan memeluk tubuhku erat.
"Andrew, dimana Alpha Damian?" tanya Sophie.
Andrew mengendikkan bahunya lalu mencium pipi kananku lama sekali. Sampai aku harus menjauhkan wajahnya supaya bibirnya lepas dari wajahku. Dasar modus!
"Sayang, apa kepalamu masih sakit?" tanya Andrew. Wajahnya sangat dekat membuat jantungku berdetak tak karuan.
"Sedikit, dimana Damian?" tanyaku. Kulihat dia menggeram lalu menggigit pipiku pelan.
"Aku tidak suka kau menyebut nama itu, jangan lagi. Oke." tegasnya. "Bisakah kau memanggiku 'sayang'? Tidak adil kalau hanya Gary saja yang kau panggil 'sayang'." rengutnya.
"Gary?"
"Ya, Gary. Nama serigalaku. Kau tahu bahkan dia berlonjak kegirangan saat kau panggil 'sayang' tadi." ujarnya. Aku tidak sadar kalau Sophie sudah keluar dari kamar ini.
"Aku suka dengan Gary, jadi tidak apa-apa kalau ku panggil dengan sebutan 'sayang'." ucapku. Andrew merengut, wajahnya ditekuk tetapi warna bola matanya sudah hitam pekat. Yang aku tahu dari Sophie, kalau Andrew sudah berubah warna seperti itu berarti wolf nya.
Dia seperti anak kecil yang mengambek. Ampun kalau begini.
Tidak disangka, mungkin refleks dari tubuhku sendiri, aku mencium pipi kiri Andrew.
"Sayang.." ucapku pelan. Andrew menganga dan tubuhnya menegang. Wajahnya sangat senang. Dia tidak bisa berbicara apa-apa. Sedetik kemudian, dia mencium dan melumat bibirku.
Bagus Gwen, kau sudah membangunkan Wolf!

PART 11
Andrew's POV
"Cantiknya kekasihkuu, astaga sayang, kau membuatku gila. Auuuuuuu..." racau Gary sedari tadi tak berhenti melihat makhluk yang paling cantik di depanku ini.
Lihatlah wajah melasnya yang super imut itu. Cantik dan menggemaskan. Ya ampun, sekuat tenaga aku menahan hasrat ingin mencium bibir tipisnya dan melumatnya hingga aku puas.
"Ya ya, Andrew. Please.." ucap Gwen masih terus merayuku.
"Tidak sayang, sudah kubilang tidak. Dan tidak akan pernah berubah menjadi 'Ya'. Sekarang tidurlah." jawabku seraya mengelus pipi halusnya lembut.
"Please, aku mohon sekali saja. Aku janji bakal pulang kesini kok." katanya lagi dan terus menahan lenganku.
Jujur saja, aku tidak akan mengizinkannya pergi sejengkal pun dari rumah ini. Memang kedengarannya sangat egois tetapi aku tidak peduli. Yang jelas, aku tidak mau memberi kesempatan untuk Damian sialan itu mengambil Mate-ku sedetik saja.
"Jangan biarkan dia pergi dari rumah kita, Drew. Aku tidak mau kalau Sam mengambilnya dariku." ancam Gary dalam tubuhku. Tanpa dia suruh pun aku sudah tahu.
"Tidak, sayang. Tidak boleh. Tidak. Titik." tegasku. Gwen langsung mengerucutkan bibirnya dan tidur membelakangiku.
"Ahh sudahlah, aku benci!!" ucapnya ketus. Aku memainkan rambut ikalnya itu dari belakang. Gadisku marah rupanya. Tiba-tiba, Gwen beranjak dari tempat tidur tanpa memperdulikan aku yang menatapnya bingung.
"Mau kemana, sayang?" cekalku ditangannya. Dia menepisnya kasar lalu kembali berjalan.
"Ke kamar mandi," jawabnya singkat. Oh, aku kira mau pergi kemana. Walaupun dia ingin pergi keluar kamar, itu tidak bisa. Soalnya aku sudah mengunci kamar ini dan menyimpan kunci itu disaku celanaku.
"Hati-hati, nanti terpeleset." ujarku. Dia mencibir lalu menutup pintu kamar mandi itu dengan keras. Aku hanya cengingisan saja melihatnya.
Sejak dua jam lalu, tepatnya setelah makan malam, Gwen terus mendesakku agar mengizinkan dia tuk kuliah besok. Tentu saja jawabannya BIG NO. Ketahuilah, itu hanya akal-akalan dia saja untuk kabur dariku. Rencana melarikan diri sangat terlihat jelas dari raut wajahnya yang bisa dibaca seperti lembaran buku terbuka itu. Mungkin pikirnya, gadisku ini bisa mengelabuiku tapi aku tidak semudah itu untuk ditipu.
Belum lagi, si Damian kurang ajar itu yang selalu ingin menyuapi Gwen saat makan tadi. Membuatku sangat kesal dan ingin sekali mencabik-cabik tubuh yang tak seberapa itu. Baru saja kami menggeram satu sama lain, Gwen malah menusuk-nusuk pisau di atas meja. Entah dapat darimana dia pisau itu. Ya walaupun tindakan dia hanya untuk menggertak kami saja, tetapi sungguh kami berdua takut kalau pisau itu akan mengenai tangan mulusnya.
Awalnya Damian tidak mau pulang ke Pack-nya jika dia tidak membawa Gwen bersamanya, HEH enak saja dia mau mengambil Mate-ku seenaknya. Lalu akhirnya dia setuju pulang dengan janji manis Gwen kalau besok dia boleh membawa gadis itu pergi seharian. Tentu saja aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Lihat saja besok, seluruh gerbang Pack dari utara sampai selatan akan tertutup rapat tanpa cela.
20 menit kemudian..
Kenapa Gwen belum keluar juga dari kamar mandi? Memangnya dia sedang apa sih!? Kalau cuma ingin buang air kecil, ini sudah terlalu lama!? Berpikiran positif saja. Mungkin sebentar lagi dia bakal keluar.
55 menit kemudian... Oke, ini sudah terlalu lama Gwen ! Tidak mungkin satu jam lebih lamanya kau di dalam kamar mandi. Segera aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan ke arah kamar mandi. Ini sudah pukul 11 malam dan tidak mungkin aku membiarkannya di dalam sana lebih lama lagi.
Aku lalu mengetuk pintu kamar mandi itu, awalnya pelan tetapi lama-lama ku ketuk kuat.
"Sayang, buka pintunya!!" teriakku. Tidak ada sahutan dari dalam. Aku mulai cemas, aku takut dia berbuat nekat di dalam. Belum lagi pintu kamar mandinya dikunci.
Dengan sekali tendangan, akhirnya pintu kamar mandi ini terbuka paksa. Aku langsung menghambur masuk dan sangat kaget apa yang kulihat di dalam sana. Gadis mungilku itu tidur di dalam bath tub dengan beralaskan beberapa buah handuk putih yang ditumpuk menjadi satu. Tak lupa pula handuk berukuran besar untuk dijadikannya selimut.
Astaga, apa-apaan tingkahnya yang kekanak-kanakan itu!? Pasti gara-gara tidak ku izinkan kuliah, jd dia mengambek seperti ini. Ck ck ck.
"Ya ampun, sayang. Kenapa kau begini!? Drew, angkat dia sekarang!!"
"Tidak usah menyuruhku juga, aku pasti melakukannya, Gary!!"
Dengan mudah, ku gendong tubuh mungilnya itu keluar kamar mandi. Gwen tidak terbangun padahal aku menendang pintu itu cukup kuat tadi. Mungkin efek dari rasa sakit akibat luka dikepalanya ini. Kasihan, setidaknya saat aku memegangmu begini kesakitan itu terbagi dua, sayang. Ingin sekali ku marahi dia saat ketahuan olehku tidur di kamar mandi. Tapi saat melihat wajahnya yang begitu letih dan sakit ini, aku jadi tidak tega.
Tak lama kemudian, aku meletakkan tubuh digendonganku ini ke atas ranjang empuk berukuran king size milikku. Lalu menutupi tubuh indah itu dengan selimut tebalku. Setelah itu, aku duduk di samping tubuhnya dan menyingkirkan rambut-rambut yang ingin menutupi wajah cantiknya itu. Disekeliling kepalanya masih terbalut perban. Kata Dokter yang memeriksanya tadi, kepalanya kena pinggiran tangga yang paling bawah. Membayangkannya saja bisa membuatku kalut apalagi aku melihatnya langsung. Tapi yang tak kusangka, dia masih bisa bertahan. Gadisku sangat kuat. Ya, benar dia Gwen Stacy, gadis ini memang benar Mate-ku.
"Drew, aku ingin tidur dengannya. Biarkan aku keluar.."
Mendadak Gary bergumam dikepalaku. Yang benar saja, mana mungkin kubiarkan dia tidur dengan Gwen. Bisa-bisa tulang-tulang gadisku bisa remuk nantinya.
"Ranjang ini terlalu kecil untukmu, Gary. Maaf aku menolak." jawabku. Gary menggeram marah. Dia mendesak tubuhnya biar keluar. Kuku tangan dan kaki-ku mulai memanjang.
"Ini tidak adil, kau sudah dua kali tidur dengannya, aku tidak pernah!!" racaunya. Gary semakin mendorong tubuhnya keluar. Sekuat tenaga aku menahan Gary, Demi Moon Goddess, dia bisa menyakiti gadisku kalau begini.
"Tahan dulu, Gary. Baiklah. Sebelum itu berjanjilah kau tidak akan menyakitinya."
"Aku tidak mungkin menyakiti Mate-ku sendiri, Drew. Menyakitinya adalah pilihan terakhir dalam hidupku." jawab Gary bersungguh-sungguh.
Akhirnya, serigala hitam itu tenang dan tak berontak lagi. Tidak mungkin aku membiarkan tubuh besar Gary untuk tidur diranjang ini. Bahkan untuk dirinya sendiri, ranjang ini tidak muat. Apalagi ditambah tubuh Gwen.
"Letakkan saja tubuhnya di depan televisi itu, di atas ambal." titah Gary. Ya benar, disana cukup luas. Kami tidak tidur di dalam kamarku yang dindingnya roboh karena ulah Damian bodoh itu. Sekarang kami berada di dalam kamar utama rumah ini, luasnya dua kali lipat dari kamarku yang kemarin.
"Oke." Aku pun menggendong kembali tubuh Gwen dan membawanya ke arah televisi. Anehnya, dia tidak bangun saat aku menggendong tubuhnya untuk yang kedua kalinya. Dia tidur nyenyak sekali. Seperti bayi.
Dengan hati-hati, kurebahkan tubuhnya di atas ambal lembut ini. Sebelum itu, kuletakkan bantal kecil untuk menopang kepalanya. Dia kembali tidur seperti janin. "Menurutmu, Drew, apakah nanti akan ada wolf di dalam tubuhnya?"
tanya Gary saat jemariku menyelurusi pipi halusnya itu.
"Aku tidak tahu, Gary. Itu terserah Moon Goddes mau merubahnya atau tidak. Kita lihat saja nanti." jawabku.
"Aku tidak sabar menanti hal itu. Ayo, Drew. Kita berganti shift dengan diam tanpa membangunkan Mate-ku."
"Mate-ku juga, Gary. Mate kita. Ingatlah hal itu."
Dan setelah itu, tubuhku sepenuhnya di ambil alih oleh serigala berbadan besar yang berwarna hitam & putih. Gary.
*****
Gwen's POV
Woaaaahhhhhhh...
Kenapa rasanya tubuhku senyaman ini? Hangat, lembut, halus, wangi, empuk dan besar. Seperti boneka Teddy bear dalam ukuran raksasa. Enaknya kalau tidur dengan bantal guling empuk seperti ini. Saking enaknya tidur, aku bahkan tidak mau membuka mataku.
"Ggrr..." Aku mendengar geraman pelan yang berasal dari bantal di sampingku ini. Ehh, tidak mungkin bantal bisa menggeram. Lantas aku membuka mataku perlahan dan betapa kagetnya aku saat melihat sesuatu yang sedang ku peluk erat ini.
Aku mundur spontan saat kusadari yang sedang kupeluk bukan bantal guling ataupun sebuah boneka teddy bear besar. Melainkan seekor wolf hitam putih raksasa. Kalau aku belum tahu kalau Andrew ialah seorang werewolf, pasti sekarang aku akan menjerit kuat.
"Gary?" panggilku.
Aku ingat saat Andrew bilang kalau nama serigalanya itu Gary. Wolf itu sedang tidur dengan posisi kepalanya terkulai ke bawah, seperti anjing tidur. Aku baru sadar, kenapa aku bisa tidur di atas ambal ini? Padahal semalam kan aku tidur di dalam kamar mandi. Tidak mungkin Gary yang mengangkatku. Ini pasti ulah Andrew. Tapi ada untungnya juga saat aku terbangun pagi ini, aku tidak melihat wajah menyebalkan si Andrew Collins itu.
"Ggrr.." Gary kembali menggeram seakan ingin bilang, 'Selamat pagi, sweetheart.'
Entah darimana aku mendapat insting kalau Gary seperti bicara seperti itu. Aku melihat lurus matanya yang berwarna abu-abu terang itu. Sangat indah. Jernih dan bening.
"Selamat pagi juga, Gary. Apakah kau yang mengangkatku semalam?" tanyaku. Kepala Gary tegak dan menggeleng. Lalu dia mengenduskan hidungnya ke wajahku. Ini.. Geli.
"Hihihi, iya sudah jangan seperti itu, aku geli." ucapku mendorong wajahnya pelan agar dia berhenti. Mata Gary menyipit pertanda kalau dia lagi tersenyum. Dia lucu.
"Gary, apa kau menyukaiku?" tanyaku tiba-tiba. Aku juga heran kenapa aku langsung bertanya seperti itu. Kulihat, Gary langsung bangun dari posisi rebahannya dan mengaum pelan. Dia mengangguk cepat dan menjilati wajahku. Aku anggap itu jawaban Ya.
"Aku juga menyukaimu, Gary. Mulai sekarang kita berteman ya." jawabku seraya memeluk tubuh besarnya yang berbulu lembut ini. Sudah kubilang kan aku suka hewan berbulu lebat.
Aku melihat Gary menggeleng kuat dan mengaum lagi, lalu dihembuskannya rambutku hingga terbang ke belakang punggungku. Aku juga heran apa yang akan dilakukannya tapi tiba-tiba Gary menjilat bekas gigitan Andrew dua hari lalu.
"Maksudnya apa, Gary?" tanyaku bingung. Gary berjalan menjauhiku dan berjalan menuju walk in closet. Sedetik kemudian, serigala besar itu berubah menjadi seorang pria dewasa yang OH NO !! HE'S NAKED "KYAA ANDREW!!" teriakku spontan dan langsung menutup kedua mataku dengan telapak tangan. Aku mendengar Andrew tertawa di ujung sana. Isshhh, menyebalkan!! Dia pasti sengaja!! Beuhh mataku sudah tak suci lagi, Tuhan. Bagaimana ini? Maafkan aku sudah menodai ciptaan-Mu yang indah ini, jangan salahkan aku. Salahkan pria itu yang punya tubuh sebegitu menggoda imanku. Punggung kekarnya dan tubuh atletisnya itu mampu meneteskan air liurku dan mematikan kelima indera ditubuhku.
Aku terperanjat saat telapak tanganku di angkat oleh Andrew, baru sedetik aku memejamkan mataku lagi. "Astaga, Andrew. Pakai bajumu!" teriakku.
Andrew kembali terkekeh, memang dia tidak full naked seperti tadi, tapi dia half naked! Walaupun Andrew sudah memakai celana santainya tetapi dia tidak memakai baju untuk menutup dadanya yang hot plus sexy itu.
"Bukannya sudah biasa kau melihatku seperti ini, sayang. Hmm?"
Aku masih memejamkan mataku, ya aku memang sering melihatnya bertelanjang dada sih. Tapi entah kenapa setiap melihatnya seperti itu, jantungku berdetak secara tak normal. Sepertinya aku harus menjauhinya jika ingin menjaga kesehatan jantungku.
"Wuaaa!" Aku tersentak saat Andrew menarik pinggangku dan memeluk tubuhku tepat di depan dada hangatnya itu. Aku malu. Astaga, aku bahkan masih belum membuka pejaman mataku.
"Buka matamu, sayang." suruhnya. Aku tidak mau, kalau aku membuka mataku pasti langsung disuguhkan pemandangan indah di depanku ini.
"Kalau tidak mau, aku akan.." Andrew meniup-niup mataku membuat perutku seperti banyak kupu-kupu berterbangan.
Aku menyerah. Akhirnya aku sedikit membuka mataku dan langsung menatap mata teduhnya itu. Andrew tersenyum melihatku dan menggesekkan hidungnya ke hidungku beberapa kali.
"Oh aku ada pesan dari Gary. Katanya dia tidak mau berteman denganmu-"
"Apa, kenapa?" potongku. Andrew mencium bibirku sekilas dan melanjutkan omongannya tadi.
Zzzzzzzz.... Dasar!
"Kau tahu, kita tidak akan jadi teman, sayang." ucapnya. "Karena kau Mate-ku, Luna-ku, dan akan menjadi pendamping hidupku hingga akhir waktu." lanjutnya.
Aku termenung. Apakah dia sedang menyatakan cinta? Kenapa jantungku merespon begini? Belum lagi pipiku panas dan perutku rasanya tergelitik. Pikiranku meracau kemana-mana sampai aku tak sadar jika ada sesuatu benda kenyal, lembut dan panas sedang mengemut bibirku.
"Mmllm.." Andrew mengemut bibirku lebih intens dari sebelumnya. Ciuman ini tidak seperti ciuman Andrew sebelumnya, yang selalu kasar dan dominan. Ciuman ini lebih lembut dan sabar, seakan menungguku segera membalas.
Dimana akal sehatku!? Bagaimana rasanya hati dan otak bekerja secara bertolak belakang? Ya begini rasanya, di saat otak menyuruhku menyingkirkan kepala Andrew malah aku melakukan sebaliknya. Kedua tanganku mengalung sendiri dilehernya dan bibirku pelan-pelan membalas lumatan bibirnya itu. Terdengar geraman dalam Andrew saat aku membalasnya. Dia lebih mengeratkan lagi pelukannya itu hingga rasanya kaki-ku tidak menapak dilantai. Ciuman yang semula lembut berubah menjadi lumatan-lumatan kasar. Andrew menciumku seperti tidak ada lagi hari esok.
"An..Drew..hmmph!" ucapku terengah-engah karena rasanya pasokan udara diparu-paruku kini mulai menipis. Tetapi tidak ada tanda-tanda Andrew akan berhenti, dia bahkan lebih menarik tengkukku dan melumat bibirku sampai habis.
"Drew.. Cu..kup.." Aku mendorong wajahnya supaya lepas tapi tenagaku hanya sia-sia saja. Tak beberapa lama, akhirnya Andrew melepaskan bibirku. Tetapi bukanlah mata teduh dan lembut yang kudapatkan melainkan tatapan tajam matanya yang berwarna hitam pekat. Rahangnya mengatup rapat dan dahinya mengkerut.
"Beraninya kau, Damian.." desisnya pelan.
Andrew kenapa?


PART 12
Alpha, seluruh gerbang SilverMoonPack dibrikade para penjaga," tutur Lucas saat ia masuk ke dalam kamar Damian. Pria tinggi tegap itu mendapat kabar dari mata-mata suruhannya yang berjaga di dalam Pack Andrew selama 24 jam sebagai pelayan istana.
Damian berdecak, sepertinya Andrew memang sengaja membuat dia tidak bisa bertemu dengan Mate-nya, Gwen. Padahal kemarin, Gwen dan Damian sempat berjanji kalau hari ini mereka akan pergi bersama. Ya walaupun janji manis itu hanyalah alasan buat Damian pulang ke Pack-nya.
"Kalau begitu, dia mengajak kita perang Luc. Siapkan seluruh warrior barisan depan." ucap Damian tegas. Lucas mengangguk patuh dan keluar setelah memberi hormat.
"Aku tak sabar bertemu kekasihku.." racau Sam di dalam pikiran Damian. Serigala berbulu putih itu melonjak kesenangan tidak sabar menanti untuk bertemu Mate-nya.
"Aku juga, Sam."
Rencana awalnya memang Damian ingin membalas dendam dengan cara membunuh Mate musuh bebuyutannya selama 7 tahun itu. Tapi ternyata Moon Goddess berkata lain, bukannya membunuh malah Damian sangat menyayangi gadis itu. Sekali lagi Damian berpikir keras, kenapa bisa dia dan Andrew mempunyai Mate yang sama? Apa Gwen pengganti Sheila yang mati terbunuh karena ulah Andrew? Jika memang benar, alangkah baiknya Moon Goddess, pikir Damian.
"Damian, apa-apaan kamu!!"
Damian terkesiap saat mendengar teriakan dari seorang pria paruh baya yang masuk ke dalam kamarnya dengan raut wajah sangar. Mantan Alpha BlackMoon, ayahnya.
Damian menghela nafas, "Ada apa, ayah?"
"Tarik kembali warrior kita, ayah tidak mau kalau kamu menyerang Pack keluarga Collins! Demi Tuhan, Jacob itu sahabat ayah, Damian!!" bentak Joseph, ayah Damian dengan geraman khas bariton seorang Alpha. Ya walaupun dia sudah tidak menjabat lagi sebagai pemimpin BlackMoonPack, tetapi siapapun yang mendengar suara itu, pasti tubuhnya bergetar ketakutan. Tak terkecuali Damian.
"Ayah, tetapi Papa Jacob dan Mama Nessi sudah tidak tinggal di Pack itu! Salah siapa pula Andrew mengurung Mate-ku disana," balas Damian tak acuh. Damian memang menanggil orang tua Andrew dengan sebutan Papa Mama.
Joseph menaikkan satu alisnya tidak percaya, "Mate-mu?"
"Ya Mate-ku, ayah. Namanya Gwen."
"Tidak mungkin, Damian. Mate-mu sudah lama tiada dan tidak mungkin kamu mempunyai dua Mate." tukas ayahnya. Tak dipungkiri, Joseph juga senang mendengar kabar kalau Damian berhasil menemukan pengganti Sheila. Dia tidak tega melihat Damian, anak semata wayangnya hidup tanpa seorang kekasih di sampingnya.
"Aku juga masih tidak percaya, ayah. Tapi aku jujur padamu. Gwen Mate-ku sekarang."
"Iya, ayah tahu kamu tidak berbohong. Tetapi ayah tetap tidak setuju kalau kamu berperang dengan SilverMoonPack, kamu bisa merusak hubungan saudara selama ratusan tahun, Damian." jelas Joseph.
Memang hubungan antar kedua pack sudah lama terjalin dari kakek nenek moyang mereka. Dan Joseph sama sekali tidak bisa membiarkan kedua pack terpisah karena tingkah anaknya, walaupun pria paruh baya itu sangat tahu antara Damian dan Andrew sudah perang dingin selama 7 tahun. Kejadian masa lalu yang menggegerkan dunia werewolf. Semua pack-pack tahu kalau Andrew membunuh Sheila waktu itu tetapi mereka tidak tahu alasannya apa. Mereka pikir Andrew menyimpan rasa iri pada Damian karena menjadi Alpha terlebih dahulu darinya belum lagi Damian sudah menemukan Mate-nya. Padahal semua itu salah. Semuanya salah paham. Damian menaikkan kedua bahunya, "Aku tidak tahu, ayah dan maafkan aku. Dengan atau tanpa izin darimu, aku tetap akan menyerang Pack Andrew kalau dia masih melarangku bertemu Gwen." ucapnya sinis lalu hengkang dari kamarnya dengan langkah tergesa-gesa.
"DAMIAN !!!" teriak Joseph tetapi terlambat karena Damian sudah pergi. Akhirnya pria itu menghembuskan nafas pasrah. Semoga saja Andrew bisa berpikir diplomatis dan tidak akan menimbulkan perang hebat nantinya.
*****
"Beraninya kau, Damian.." desis Andrew pelan. Gwen yang melihatnya pun bingung. Bukankah Andrew selalu tersenyum saat mereka habis berciuman? Kenapa sekarang Andrew malah berkilat marah dan tatapannya pun menyeramkan?
"Andrew?" panggil Gwen lemah. Andrew menatap Gwen tajam seakan ingin memakan gadis itu hidup-hidup. Gwen bertambah takut dan hendak berjalan menjauhi Andrew. Tetapi gadis itu kalah cepat. Andrew memegang pundak Gwen dengan kedua tangannya dan tanpa sadar mencengkramnya kuat.
"Agh," ringis Gwen kesakitan. Takut-takut Gwen mendongakkan wajahnya ke atas, melihat manik mata Andrew yang berwarna hitam pekat.
"Andrew, pundakku sakit. Lepas!!" protes gadis berambut pirang itu berusaha melepaskan cengkraman tangan Andrew dipundaknya. Apa daya kasih tak sampai, tenaga Gwen tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tenaga Andrew, seorang Alpha.
"Kapan?" tanya Andrew singkat. Gwen mengerutkan dahinya bingung. Maksudnya apa Andrew bertanya 'Kapan' tadi?
"KAPAN DAMIAN SIALAN ITU MENGGIGIT LEHERMU, GWEN?!!"
Gwen terlonjak kaget saat Andrew berteriak bahkan membentaknya dengan suara amat keras. Baru pertama kali Andrew membentaknya seperti ini. Gwen menggigit bibir bawahnya, menandakan gadis itu takut dan bingung. Dia tidak mengerti maksud arti pertanyaan Andrew barusan. Memangnya kapan Damian menggigit lehernya? Perasaan tidak pernah.
Dilain pihak, Andrew baru menyadari hal itu. Bekas gigitannya beberapa hari lalu ditindih dengan tanda bekas gigitan Damian. Gary, serigala hitamnya itu pun tidak sadar padahal semalaman dia tidur dengan gadis itu. Apalagi tadi Gary menjilat bekas luka itu, sekali lagi pertanyaan terlintas di otak sexy Andrew, mengapa Gary sampai tidak tahu?
"JAWAB AKU!!" bentak Andrew dengan suara khas baritonnya. Terdengar lolongan serigala di dalam hutan mengaum ketakutan saat mendengar suara Alpha mereka.
Gwen berusaha untuk tidak meneteskan air matanya, jujur saja di dalam hatinya baru kali ini dia melihat pria marah sebegitu menyeramkannya! Demi Tuhan.
"Maksudmu apa, Drew?" tanya Gwen lirih. Dia mengalihkan pandangan matanya.
Andrew menghela dan menghembuskan nafasnya kesal, Gary memang marah seperti Andrew tetapi dia berusaha membujuk Andrew supaya tidak terlalu memarahi Gwen. Gary tahu kalau Damian menggigit leher Gwen saat Andrew collapse kemarin. Andrew sempat collapse karena dua urat nadi dipunggungnya putus hasil cakaran kuku tajam Sam. Untung saja dokter ahli segera bertindak dan dibantu dengan waktu penyembuhan seorang Alpha memang cukup cepat.
"Sayang, kapan Damian menggigit lehermu hem?" ucap Andrew pelan tetapi tidak mengubah tatapan matanya yang tajam. Bahkan nada pelannya ini terdengar semakin menyeramkan.
Gwen menggeleng, "Aku tidak tahu..." cicitnya. Gwen memang jujur. Gadis ini tidak tahu kapan Damian menggigit lehernya. Satu kelebihan Damian, dia bisa melupakan ingatan seseorang. Dibandingkan dengan Andrew, kekuatannya hanya teleportasi saja. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam hitungan detik. Luapan marah Andrew kembali naik. Dia tidak tahan melihat bekas klaim-an Damian dileher jenjang gadisnya itu. Bahkan ucapan dan teriakan Gary tidak digubrisnya.
Tiba-tiba Andrew mengangkat tubuh Gwen ke atas pundaknya hingga membuat Gwen menjerit kaget. Dengan cepat, dia membanting tubuh mungil itu ke atas tempat tidurnya yang empuk dan memenjarakan tubuhnya dengan kedua tangan Andrew yang kekar.
"Andrew!! Apa yang kau lakukan!??" teriak Gwen ketakutan. Tangan gadis itu tidak tinggal diam, dia mendorong dada Andrew dan memukul-mukulnya sekuat tenaga. Hasilnya? Nothing. Bukan dada Andrew yang sakit melainkan tangannya sendiri. Dengan sigap, Andrew menangkap kedua tangan Gwen dan menahannya di atas kepala gadis itu.
"Mmpphh!!" Mata Gwen membulat besar saat bibir Andrew menciumnya, melumatnya tanpa ampun bahkan terkadang menggigit kecil bibir Gwen hingga bibirnya bengkak.
Gwen tidak tahan untuk tidak menangis. Andrew sangat kasar dan buas melumat bibirnya. Seakan amarah dan kesalnya tersalurkan dengan ciuman itu.
"Alpha, pasukan Damian menyerang Pack kita melalui gerbang utara."
Saat mendengar kabar dari Devan melalui mindlink Pack mereka, bibir Andrew berhenti bergerak. Tetapi kontak dengan bibir Gwen belum terlepas. Dibukanya kedua matanya dan menatap gadisnya yang sedang menangis sendu itu. Rasa iba dan bersalah langsung mengaliri tubuh Andrew. Tetapi rasa amarah dan kesalnya belum hilang dan malah menjadi-jadi tahu pasukan Damian sudah memasuki area Pack mereka.
"Shit!" umpat Andrew beranjak dari tubuh Gwen dan berjalan cepat keluar kamar meninggalkan gadis cantik itu menangis sendirian. Kedua pergelangan tangannya membiru dan bibirnya terasa kebas. Ulah Andrew, menciumnya tanpa ampun.
"Dia menginginkan perang, akan kuberikan. Devan kerahkan seluruh warrior!"
"Ba..baik Alpha."
Seakan menemukan santapan lezat, Andrew berlari dan tanpa melihat ke belakang, saat dia keluar dari istana itu langsung berubah ke wujud Gary. Mengaum dan melolong kencang seakan memanggil pasukan warriornya untuk berkumpul. Tidak sampai 10 detik, ratusan wolf dengan warna yang beraneka ragam menunduk patuh padanya. Gary terlihat paling besar mengingat dia Alpha disini. Gary ditemani dengan wolf Beta Pack-nya Devan yang berwarna abu-abu itu berbicara dengan para warrior-nya lewat pikiran.
Gary mengaum lagi saat serigala putih dengan ratusan wolf di belakangnya tengah berlari menuju mereka. Tanpa menunggu lama, Gary menggeram keras dan berlari menuju barisan Sam di depannya.
Semua orang di dalam rumah megah Andrew bersembunyi ketakutan. Bahkan pelayan-pelayan ada yang menangis histeris. Jika tidak ada yang bisa menghentikan mereka, perang ini tidak akan berhenti kalau salah satu antar Alpha mereka ada yang mati.
*****
"Gwen!!" panggil Sophie panik dan menghambus masuk ke dalam kamar utama rumah itu. Gwen menghapus air matanya cepat-cepat takut ketahuan oleh Sophie.
"Ada apa, Soph?" tanya Gwen dengan suara serak. Tidak diduga, Sophie memeluk erat tubuh Gwen. Tubuhnya bergetar dan tangisannya meledak.
"Aku.. Hikss.. Ta..takut.." ujarnya seanggukan. Gwen tahu kalau ada perang hebat di depan rumah Andrew yang luasnya bahkan melebihi lapangan sepak bola itu. Dua kali? Tiga kali? Tidak empat kali lipat luasnya.
Gwen memeluk tubuh kecil Sophie dan memejamkan mata dan telinganya rapat-rapat. Seakan ia ingin buta dan tuli tuk sementara daripada harus mendengar geraman-geraman wolf, tubuh-tubuh yang terjatuh keras dilantai dan sebagainya. semoga kamu bisa menyatukan dua hati yang dingin menjadi hangat kembali...
.... Aku sangat berharap padamu, Gwen...
Tiba-tiba suara wanita cantik yang dulu pernah hadir dimimpinya, yang mengaku namanya Moon itu terngiang ditelinganya. Seketika Gwen terkesiap dan memfokuskan kembali pandangan matanya.
Kenapa harus Andrew dan Damian berperang demi dirinya? Bodoh, dasar duo bodoh!!
Kalau bukan aku, siapa lagi yang berani membuat mereka berhenti? Pikir Gwen. Gwen melepaskan pelukan Sophie pelan. Dia menangkup wajah imut Sophie dan berucap lembut.
"Tunggu disini. Jangan pergi kemanapun."
"Gwen, jangan.." cegah Sophie. Gwen kembali tersenyum menenangkan.
"Tenang saja," jawabnya lalu dia berjalan keluar kamar.
"Tolong aku, Moon. Aku butuh kekuatan lebih tuk membuat mereka berhenti." doa Gwen dalam hati.
"Akan kuberikan."
Entah darimana asal suara itu, membuat niat Gwen semakin kuat untuk memberhentikan perang sengit yang terjadi. Pelayan-pelayan rumah megah itu menatap Gwen khawatir. Mereka tahu jika Luna mereka akan bertindak sesuatu, tetapi apa daya mereka untuk mencegah Gwen?
Dibukanya pelan pintu raksasa dua pintu itu dan pemandangan kejam langsung terpampang di depan mata. Perkelahian yang amat-amat hebat.
Gwen berjalan lambat tanpa alas, baju tidur yang berupa dress selutut tanpa lengan berwarna peach itu membuat tubuh mungilnya terlihat rapuh. Belum lagi ditambah perban yang melilit sekeliling kepalanya. Tubuh kecilnya tidak sebanding dengan ukuran wolf diluar sana. Tetapi dia tidak gentar dan terus melangkah maju.
Untuk wolf yang berasal dari SilverMoonPack tahu kalau gadis yang sedang berjalan di tengah-tengah perang tersebut adalah Luna mereka. Jadi, mereka mundur teratur dan menunduk hormat. Tetapi tidak untuk wolf yang berasal dari pasukan Damian. Mereka tidak tahu kalau secara tidak langsung Gwen adalah Luna mereka, tetapi pikiran mereka cukup kalut dan ingin menyerang tubuh mungil itu.
Gwen tidak takut, wajahnya datar dan bola warna matanya biru menyala. Seperti ada seseroang yang merasuki tubuhnya. Satu wolf besar berwarna oranget tua berlari kencang ke arahnya dan berniat menumbur tubuh gadis itu hingga jika kena, tubuh Gwen dipastikan melayang. Tetapi..
"BBRRRUUUUUKKKK!!!" bunyi dentuman keras saat Wolf berwarna orange tua itu terjatuh ke atas tanah. Gwen melayangkan tangan kirinya ke atas saat Wolf itu mendekat dan akhirnya terkulai tak berdaya. Gwen sendiri tidak percaya dengan kekuatannya. Ini mustahil... Dia bisa memukul Wolf sebesar itu hanya dengan melayangkan tangan kirinya? Bahkan dia tadi tidak mengeluarkan tenaga sedikit pun.
Wolf-wolf pasukan Damian kembali ingin menyerang Gwen tetapi selalu ditepis dengan kedua tangannya hingga nasib seluruh wolf itu sama. Terkulai tak berdaya di atas tanah. Seiring dia berjalan, banyak juga wolf-wolf BlackMoonPack menjadi korban pukulan Gwen yang super duper kuat. Dan hingga pada akhirnya, Gwen berhenti saat melihat dua serigala yang besarnya tiga kali lipat dari serigala biasa itu sedang adu kekuatan itu. Serigala hitam putih milik Andrew dan serigala putih milik Damian.
Tepat 5 meter di depannya, dua serigala itu tidak tahu kalau Mate mereka memperhatikan perkelahian sengit itu. Yang ada dipikiran mereka, hanyalah satu. Saling membunuh.
Gwen kembali berjalan lambat dan sekitar dua meter dekatnya dengan tubuh Gary, Gwen berlari. Telapak tangannya sudah mengempal dan siap untuk meninju rahang kokoh Gary hingga wolf itu melayang jauh dan akhirnya terjatuh ke tanah berangsur-angsur. Sam menoleh cepat saat dia tahu Gary terjerembab ke tanah dengan kerasnya. "Mate?"
Satu lagi. Pikir Gwen. Tangan kanannya sudah mengempal kuat dan dalam hitungan detik, tubuh Sam jatuh sama kerasnya dengan Gary tadi. Gary dan Sam beringsut dari posisinya dengan susah payah. Seakan tubuh mereka remuk efek pukulan Gwen tadi.
Sakit. Ini sakit sekali. Kekuatan Gwen seperti kekuatan 1000 Wolf yang disatukan. Entah darimana dia mendapatkan kekuatan itu.
"HENTIKAN PERANG INI!!!!!! HENTIKAN!!!AKU TIDAK MAU SEPERTI INI!!" teriak Gwen kencang. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menangis! Jeritan Gwen seakan jarum yang menusuk-nusuk hati para Wolf yang mendengarnya.
Gary dan Sam mengaum bersamaan semacam kode untuk membuat mundur pasukannya. Kedua wolf itu mendekati Gwen dengan langkah pasti. Setelah mereka tepat berada di depan gadis itu, Gary mengenduskan hidungnya ke wajah Gwen dan Sam menjilati tangan Gwen yang menutupi wajah cantiknya itu.
"Jangan seperti ini lagi, kumohon.." pinta Gwen pelan. Kedua wolf itu mengangguk patuh dan mengenduskan-ngenduskan hidungnya di tubuh Gwen.
"Ayo, obati luka kalian. Suruh mereka juga." suruh Gwen dan entah cara apa, semua Wolf di lapangan luas itu mulai menghilang satu persatu. Tinggallah mereka bertiga disana.
"Damian, aku mau naik punggungmu." pinta Gwen pada Sam, karena Gwen belum tahu nama serigala putih itu. Di dalam hatinya, dia marah pada Damian karena pria itu belum memberitahukan namanya pada Gwen.
Dengan cepat, Sam menunduk dan Gwen duduk di atas punggungnya membuat Gary menggeram marah. Sedangkan Sam mengerang lembut seakan menikmati tubuh Gwen di atasnya.
"Sebentar saja Gary, bukannya kita semalaman sudah tidur berdua?" balas Gwen, dan kali ini Sam-lah yang menggeram. Mereka berdua cemburu dan senang di waktu bersamaan.
Tidak lama dari itu, mereka bertiga sudah kembali ke dalam rumah Andrew. Disana sudah ada Sophie, Devan dan Lucas yang menunggu mereka. Sophie tersenyum puas dan langsung memeluk erat tubuh Gwen saat dia turun dari punggung Sam.
"Kau hebat sekali, Gwen. Bagaimana caramu memukul kedua wolf bengal itu sampai jatuh tersungkur seperti itu!?" seru Sophie. Damian dan Andrew sedang berganti shift mereka di kamar yang berbeda.
"Aku juga tidak tahu pasti, Soph. Yang jelas kekuatan itu langsung ada saat aku memintanya."
"Meminta dengan siapa?"
"Dengan Moon." jawab Gwen polos. Sophie mengerutkan dahinya bingung.
"Moon? Ahh! Moon.."
"Sayang?"
Ucapan Sophie menggantung di udara karena terpotong oleh kehadiran Damian yang tiba-tiba. Pria itu sudah berganti pakaian menggunakan kaos polo berwarna hitam dan celana dasar berwarna sama. Luka-luka disekujur tubuhnya seakan menghilang saat memeluk Gwen dari belakang seperti ini.
Sophie menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan lebih memilih duduk diam melihat kemesraan Damian memeluk Gwen di depannya.
"Sayang, kita pergi hari ini ya?" ujar Damian lembut. Pria itu memeluk tubuh mungil Gwen dari belakang, kepalanya berada dilekukan leher gadis itu. Mencium aroma khas Mate-nya yang berbau Strawberry.
"Iya, Damian. Lepas dulu, kau kan banyak luka begitu. Obati sampai sembuh.." ujar Gwen membalikkan tubuhnya hingga kini tubuh mereka berhadapan. Damian semakin memgencangkan pelukannya dipinggang gadis itu dan mengecupi bibir Gwen dengan gemas.
"Damian!" protes Gwen. Damian hanya cengigisan tidak jelas. Tiba-tiba tubuh mereka terpisah dengan paksa saat Andrew datang dan memisahkan mereka dengan satu hentakan kasar. Lalu direngkuhnya tubuh Gwen ke dalam pelukannya.
"Jangan sentuh milikku!" tegas Andrew. Damian tidak tinggal diam lalu menarik tubuh Andrew hingga melepas pelukannya dengan paksa. Cepat-cepat dia kembali memeluk Gwen tanpa menghiraukan Andrew yang sedang marah besar itu.
"Jangan sentuh milikku!" tiru Damian. Gwen tertawa tidak tahan melihat kedua makhluk tampan ini berebutan dirinya seperti ini. Setidaknya mereka lebih terlihat manusiawi.
"Hari ini aku mau sama Damian, Drew. Jangan ganggu." ucap Gwen tegas.
JLEB! Satu panah menusuk jantung Andrew. Dia menatap wajah Gwen dengan sendu.
"Sayang, Apa kau marah karena tadi pagi? Maafkan aku.."
Terjadilah perdebatan antara mereka bertiga tetapi diselingi canda tawa oleh Gwen. Andrew memohon padanya supaya tidak kemana-mana, sedangkan Damian ngotot mengajak Gwen pergi. Entah sampai kapan, mereka berhenti berdebat seperti itu.
"Aku tidak tahan melihat mereka, pergi saja deh." ucap Sophie dalam hati dan pergi melesat ke dalam kamarnya. Syukurlah, Gwen bisa membuat perang ini berakhir jika tidak, mungkin kedua Pack tidak ada Alpha lagi.

PART 13
"Aku ikut!"
"Tidak!"
"Aku ikut atau Gwen tidak boleh pergi!" ancam Andrew. Damian menghembuskan nafas kasarnya dan mengumpat pelan. Dua pria dewasa berumur 26 tahun itu tidak henti-hentinya berdebat saat Gwen tengah berganti pakaian di kamarnya.
"Baiklah. Kalau ini bukan permintaan Gwen, aku tidak sudi mengajakmu!"
Andrew mencibir, "Cih, aku tidak perlu izin darimu untuk pergi bersama MATE-KU! Pergi ke laut sana!" ujar Andrew dengan menekankan kata 'Mate' dengan suara lantang.
Baru saja Damian ingin membalas ucapan Andrew yang menurutnya kurang ajar itu, Gwen datang dengan penampilan anggunnya membuat dua pria tampan dan tinggi itu menganga lebar. Dia memakai dress berlengan pendek berwarna turquoise yang panjangnya 10 centi di atas lutut. Belum lagi wajahnya yang dipoles make up tipis dan bibirnya dilapisi lipgloss berwarna pink. Rambut ikalnya yang semula berwarna pirang sudah dicat menjadi warna coklat tua, digerai sampai ke punggungnya. Walaupun kepalanya masih diperban tetapi kecantikannya tidak pernah pudar.
"Astaga, Mate-ku. Kau sangat cantik. Auuuuuu.." Gary ikut-ikutan terpana melihat Gwen.
"Kekasihku!! Cantik sekali seperti bidadari.." ucap Sam pelan diikuti dengan anggukan kepala setuju dari Damian.
"Sayang, kau cantik sekali!" seru Damian mendekati gadis itu dengan langkah besar-besar hingga tepat berada di depan Gwen dan hendak memeluknya, tubuh Damian terjatuh keras ke lantai. Andrew mendorongnya dengan satu tangan.
Gwen melotot melihat perlakuannya barusan, tetapi lain dengan Andrew yang menampilkan ekspresi sebaliknya. Pria itu tersenyum puas lalu merengkuh tubuh Gwen ke dalam pelukannya.
"Aku sangat beruntung memiliki Mate secantik dirimu sayang," ucap Andrew lembut, menempelkan dahinya dengan dahi Gwen. Gadis itu menahan senyumnya saat melihat Damian sudah berdiri di belakang Andrew, raut wajahnya masam dan marah.
"Terima kasih Drew, tapi lepaskan aku sekarang." pinta Gwen lembut. Andrew menggeleng dan mendekatkan wajahnya ingin mencium bibir gadis itu, tetapi tubuhnya terlepas paksa karena ditarik kuat oleh Damian dari belakang.
"Sial, apa-apaan kau!" bentak Andrew. Damian bertingkah tidak peduli dan menarik tangan Gwen lalu berjalan ke luar. Mereka berdua sudah berjanji pada Gwen tidak akan saling menyakiti fisik masing-masing seperti perang sebelumnya. Jadi kalau hanya perang mulut, ya tidak apa-apa lah. Gwen maklum.
"Ayo sayang, kita pergi." ucap Damian tak acuh. Saat mereka berdua keluar, sudah ada Lucas menunggu mereka dengan mobil Range rover putih miliknya.
"WOY, DAMIAN!!" teriak Andrew saat Damian mengajak Gwen pergi keluar dari rumahnya.
"Gwen, aku sudah siap!"
"Loh Sophie, kamu juga ikut?" tanya Andrew terkejut ketika Sophie sudah berdandan rapi memakai dress anak kecil untuk serumuran dengannya.
Sophie mengangguk senang, "Iya, Gwen mengajakku. Lagipula aku kangen dengan Uncle Jo dan Auntie Dei."
"Bagus, ayo. Nanti kamu semobil dengan Damian ya, Gwen semobil dengan kakak." modus Andrew menggandeng tangan kecil Sophie.
"Aih alasan, sejak kapan seorang Andrew menyebut dirinya 'Kakak' padaku?" cibir Sophie yang hanya dibalas dengan cengigisan Andrew.
"Please, sugar. Adikku yang tersayang yang paling cantik, tidak sedih melihat kakaknya merana huh? Lebih senang melihat Damian bahagia?" Andrew berbicara sok sedih dan terlalu didramatisir membuat Sophie ingin muntah. "Oke oke, apapun untuk KAKAK tersayang," jawab Sophie kesal dan langsung dihadiahi ciuman Andrew lembut dipipi gembulnya.
Andrew tersenyum puas, "Terima kasih cantik."
****
Gwen's POV
Tanganku terus ditarik pelan oleh Damian, bukan ditarik sih tapi digenggamnya. Dan jujur, tangan besar Damian terasa hangat dan nyaman. Tetapi saat digenggamnya begini, aku tidak merasa apapun. Beda halnya jika sedang bersama Andrew. Jantungku pasti dag dig dug der dan selalu berdetak di atas kenormalan. Aneh kan? Ya walaupun mereka sama-sama tampan sih.
Damian terus mengoceh tentang bagaimana keadaan dan suasana di Pack-nya dan aku hanya menanggapi dengan kata 'Ya' atau 'Benarkah' saja. Sebenarnya, aku mengajak Damian pergi bukan tuk ke Pack-nya tetapi untuk kembali ke rumahku. Huh, nanti saja deh aku bicara dengannya.
"Tunggu, Damian. Aku mengajak Sophie, tidak apa kan?" tanyaku tiba-tiba saat Damian menyuruhku masuk ke dalam mobilnya.
Damian mengernyitkan dahinya, "Ya tidak apa-apa sayang, mungkin Sophie ingin bertemu orang tuaku, tapi kau yakin ingin mengajak Andrew bersama kita?" tanya Damian ragu.
"Ya, kurasa kita harus mengajaknya, Damian. Bukannya dia sudah lama tidak ke Pack-mu?"
"Hem ya, mungkin sekitar 7 tahun. Oke baiklah, buatmu apa yang tidak sayang," jawab Damian sangat lembut menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan hendak mencium bibirku. Oh God, yang benar saja?
"GWEN!!"
Refleks aku menghindar dari Damian dengan cara mendorong wajahnya menjauh. Damian mengaduh membuatku jadi merasa bersalah. Upss, sorry Damian. Andrew hampir saja ketawa melihat reaksiku tadi, dia menutup mulutnya dengan punggung tangannya. Dia suka sekali melihat Damian menderita ya.
Sophie yang memanggilku tadi pun menjadi salah tingkah dan merasa bersalah saat menatap Damian yang wajahnya sudah merasa masam. Heh, maafkan aku..
"Sayang, kau semobil denganku saja ya. Ayo." Andrew spontan menarik tanganku dan hendak memasuki mobil BMW M3-nya, tetapi Damian mendekap tubuhku dari belakang.
Aku tercengang, "Damian?"
"Hari ini dia milikku, Drew." ucap Damian sinis. Andrew menggeram marah, menatap mata Damian tajam. Jika ada laser dari matanya, dijamin Damian pasti sudah tak bernyawa.
"Apa hakmu hah! Dia Mate-ku Damian! Jangan sok memilikinya! Dia milikku!!" Andrew mendorong bahu Damian kuat hingga pelukannya ditubuhku lepas seketika.
Hey! Aku bukan barang tau!
"Andrew!!" protesku. Sungguh, kalau didiamkan saja, mereka pasti akan berkelahi lagi. Sophie sudah masuk ke dalam mobil Damian dan aku yakin dia ketakutan melihat adegan ini.
Aku melihat Damian dan Andrew bergantian, mereka pasti sangat menahan hasrat untuk membunuh satu sama lain. Ya Tuhan, bagaimana ini? Kenapa aku harus begini sih, padahal dulu hidupku tenang-tenang saja deh.
"Bagaimana kalau kita semobil saja? Dev, kamu pergi duluan saja ke Pack Damian ya?" pintaku pada Devan yang setia menunggu kami di samping pintu kemudi. Wajah Devan khawatir melihat Andrew dan Damian yang masih perang mata ini.
"Tidak usah, Dev! Tetap disini. Gwen! Ikut denganku atau kau tidak boleh pergi!" ancam Andrew. Aku menggigit bibir bawahku, aku bingung. Aku menatap Damian, dia seolah tidak ikhlas. Aku kasihan dengannya, memang bukan salah Damian kalau aku ternyata Mate-nya. Tapi mau bagaimana lagi? "Damian?" panggilku tak enak. Damian mengangguk, dia melepaskan tanganku pelan.
"Pergilah dengannya, kita bertemu di Pack-ku nanti." Damian mengecup pipi kananku dan masuk ke dalam mobilnya. Tak beberapa lama, mobil yang ditumpangi Damian melesat pergi.
"Kau egois, Drew!" bentakku. Jujur, dia pria ter-egois yang pernah aku temui. Kasihan kan Damian!
Andrew menarik pinggangku kuat, "Kau milikku, akan kujaga sampai aku mati sayang. Dan tidak akan kubiarkan siapapun mengambilnya dariku. Mengerti?" Andrew mencium pipi kananku beberapa kali seolah ingin menghilangkan bekas kecupan Damian tadi.
Aku melepaskan tangannya yang berada dipinggangku lalu masuk ke dalam mobil dengan cepat. Tak lama kemudian, Andrew pun ikut masuk dan duduk di sampingku. Sedangkan Devan, dia yang mengemudikan mobilnya.
Aku tahu kalau Andrew selalu menoleh ke arahku. Tapi aku masih marah dengannya. Aku tidak mau bicara dengannya sepanjang perjalanan ini. Lihat saja.
"Devan, berapa jam perjalanan kita ke Pack Damian?" tanyaku pada Devan yang duduk di depan.
"Eh, sekitar 3 jam-an Luna." jawab Devam gugup.
"Oh, apakah disana indah? Jangan panggil Luna, Dev. Aku bukan LUNA siapapun." Aku mendengar geraman marah Andrew di sampingku. Biar saja.
"Maaf Luna, aku tidak bisa."
Aku menoleh ke Andrew, dia tersenyum menyeringai. Serem sih tapi tetep tampan.
"Pack Damian dikenal dengan penghasil buah-buahan, Luna. Disana ada anggur, semangka, melon, apel, dll. Tanah disana lebih subur," jawab Devan. Oh membayangkan buah-buahan segar itu saja membuatku menelan ludah.
"Anggur, Dev? Itu buah kesukaanku! Apa sedang berbuah ya?" tanyaku lagi. Devan menggaruk kepalanya.
"Mungkin iya, Luna."
"Terus ada apa lagi, Dev?"
"EHEEEM!!!" Andrew berdeham kuat. Aku seolah tidak mendengarnya. Rasakan! Aku masih marah padamu, kau tahu!
"Apa disana ada danau buatan terus ada perahu untuk menyebrangnya, Dev? Aku tidak sabar.."
"EHEEEMMMMMMMM!!!" Andrew berdeham panjang. Aku menoleh ke samping dan mencibir. Siapa ya? Hantu kali.
Aku melihat jalanan yang menurutku lebih menarik daripada sosok tampan di sampingku ini. Menyebalkan!
"Sayang?" panggilnya lembut. Aku tidak mau menoleh, anggap saja yang bicara tadi jangkrik.
"Darling?"
"Sweetheart?"
"Sugar?"
"Honey?"
"Beautiful?"
"Sweety?"
Aku mendengar desahan Andrew yang sepertinya putus asa itu. Memangnya memanggilku dengan panggilan-panggilan sok sweet itu bisa mengembalikan mood-ku hah!?
"My wife.."
"Kyaa!" Aku terlonjak kaget saat Andrew berbisik tepat di depan telingaku. "Apa-apaan, Andrew Collins!" bentakku. Andrew merengut, wajahnya ditekuk.
"Kau mengacuhkanku. Aku benci," jawabnya seperti anak kecil. Ampun.. Ini pria umur berapa sih?
"Aku masih marah padamu!" ucapku sambil bersilang tangan di depan dada lalu melihat jalanan kembali.
"Sayang, look at me." ujarnya. Aku tetap tidak menoleh. Tapi, tiba-tiba daguku ditarik olehnya dan kini tangannya itu dengan kurang ajar mengangkat tubuhku menjadi duduk di pangkuannya.
"Andrew!" Aku berusaha turun dari pangkuannya karena tidak nyaman, sekaligus malu pada Devan. Belum lagi degupan jantungku yang seketika berdetak seperti berlari marathon. Sebaiknya aku harus menjauhi Andrew untuk menjaga kesehatan jantungku. "Andrew, aku tidak nyaman begini.." ucapku pelan. Andrew tersenyum lalu menurunkanku hingga aku duduk di antara paha Andrew. Astaga, ini malah lebih bahaya.
"Kalau begini, jangan protes lagi. Ini hukumanmu karena mengacuhkanku, sayang." ujar Andrew berbicara di antara lekukan leherku. Nafasnya membuatku geli, Ya Tuhan.
"Maafkan aku, mungkin tadi memang aku sedikit keterlaluan pada Damian. Tapi ketahuilah sayang, itu kulakukan supaya aku tidak kehilanganmu. Aku tidak mau kau di ambil olehnya, kau milikku. Milikku." ucapnya pelan hampir berbisik. Suaranya yang khas itu ditambah dengan kata-katanya barusan membuat jantungku lebih berdetak dua kali lipat dari sebelumnya.
Aku bahkan tidak bisa membalas perkataan Andrew. Sungguh. Seakan stock di otakku ini habis.
"Dengarkan aku baik-baik Gwen Collins--
"Andrew, jangan mengubah nama keluargaku!!"
"Kenapa? Bukannya kau istriku hmm?"
"Dari Hongkong!!"
Andrew tertawa mendengar jawabanku barusan. Kenapa memangnya?
"I love you, sayang."
Tunggu? Itu suara siapa? Aku melihat Andrew yang kini tersenyum tulus ke arahku. Apakah Andrew barusan menyatakan cintanya padaku? Yang benar saja.
"Apa tadi kau bilang?" tanyaku untuk meyakinkan. Andrew menggeleng dan mengecup bibirku sekilas.
"Tidak ada siaran ulang, tidurlah. Perjalanan kita masih cukup jauh sayang." Andrew membenamkan kepalaku di depan dadanya. Satu tangannya mengusap punggungku dan satu tangannya lagi mengusap pelan kepalaku.
Nyaman~~
Wangi harum Andrew menyeruak masuk ke dalam hidungku. Aroma inilah yang menjadi favoritku sekarang. Lama-lama aku pun mengantuk dan memejamkan mataku perlahan.
*****
Tubuhku pegal. Uhh, apa sudah sampai? Lantas aku membuka perlahan mataku dan melihat pemandangan di luar mobil. Hamparan taman bunga yang sangat cantik, beraneka macam bunga, dan Oh! Tulip! Kenapa bunga yang berasal dari Negeri Kincir Angin itu disini? Wow, Daebak.
Tapi aku merasa aneh, mobil ini sudah berhenti dan Devan sudah tidak ada lagi di depan stir mobil. Aku mendongak, wajah Andrew yang tertidur pun masih sangat damai begini. Kemana Devan?
'Tok tok'
Aku menoleh berlawanan arah saat mendengar ketukan di kaca mobil. Terlihat wajah imut Sophie, aku tersenyum lalu melepaskan tangan Andrew yang berada di pinggangku lalu keluar dari mobil. Walaupun awalnya kesusahan karena tubuhku di apit oleh tubuh Andrew.
"Sophie, Andrew masih tidur. Apa kita harus membangunkannya?" tanyaku. Sophie mengerlingkan matanya dan menggeleng cepat.
"Tidak usah, Gwen. Biar saja dia tidur. Tapi pintu ini dibuka saja, kalau ditutup lagi nanti dia mati kehabisan nafas. Ayo!" Sophie menarik tanganku dan kami berjalan pelan melewati taman bunga yang indah ini.
"Apa kita sudah di Pack-nya Damian?"
Sophie mengangguk lalu menunjuk seseorang yang sedang menunggu di depan pintu rumah besar itu. Bukan, bukan rumah. Tapi istana kali ya? Besar banget.
"Aku terkadang iri dengan Pack ini Gwen, lihat. Taman bunganya saja indah bukan? Namanya saja yang 'BlackMoonPack'." ujar Sophie sedih. Ya mau bagaimana lagi sih ya, Pack Andrew berada diwilayah yang dingin, bahkan kadang aku memakai mantel beberapa lapis kalau Andrew tidak memelukku. Ck.
"Tapi tempatmu juga indah Sophie, seperti film di Frozen. Bagus." ucapku menghibur. Sophie tertawa.
"Bisa saja kau ini. Sudah aku mau bertemu Uncle Jo dan Auntie Dei. Aku masuk duluan yah." Sophie berlari-lari kecil lalu masuk ke dalam rumah besar itu setelah melewati Damian dan bertos ria. Seperti mereka sekongkol deh. Zzzz. "Selamat datang di Pack-ku, sayang." Damian menjulurkan tangannya ke arahku. Aku tersenyum simpul lalu menyambut tangannya. Dia mengajakku masuk ke dalam istananya, tapi sebelum itu aku melihat mobil Andrew yang pintunya terbuka itu. Masih belum ada tanda-tanda kehidupan dari sana. Ah biarkan saja kali ya. Chesisisisisisisiisss.
"Mau panen anggur? Sedang berbuah lebat," ucap Damian seraya menggenggam tanganku erat.
"Anggur?! Oh ayo ayo! Aku suka sekali dengan anggur!!" balasku bersemangat. Oh anggur, love you so much.
"Tapi sebelum itu, aku ingin memperkenalkanmu dengan kedua orangtuaku sayang. Kemari sebentar." Damian menarik tanganku lalu kami berjalan menuju ke suatu tempat. Aku tidak tahu mau kemana. Desain rumah ini tidak terlalu jauh berbeda dengan rumah Andrew. Sama-sama mewah.
Terdengar suara candaan dan tawa dari ruangan luas yang ku duga ini ruang keluarga. Dengan TV yang layar LCD 70 inch yang super slim dan jernih itu. Wew. Seandainya dirumahku ada TV sebesar itu. Belum lagi sofa berbentuk melingkar tetapi di depannya ada ambal besar terkulai dilantai marmer itu. Ruang keluarga yang hangat.
Aku melihat Sophie sedang tertawa bersama dua orang pria wanita paruh baya yang tampan dan cantik, walaupun usia mereka sudah tidak muda lagi.
"Ayah, ibu." panggil Damian. Seketika 3 orang itu menoleh ke arah kami. Terkejut, ya ekspresi kedua orangtua Damian saat melihatku.
Damian mengajakku mendekat lalu duduk di sofa itu
"Ayah Ibu, ini yang namanya Gwen Stacy." kata Damian menunjukku. Aku bingung, seperti sedang berada di depan mertua saja.
"Oh, astaga Damian. Dia cantik sekali, beruntungnya anakku bisa bertemu denganmu sayang." ucap ibu Damian memelukku erat. Ah aku jadi rindu dengan ibuku dirumah. Apa kabar mereka ya?
"Damian, apa benar yang kau katakan tadi pagi?"
"Benar ayah, dia Mate-ku."
Aku mendengar dalam diam saat ayah dan anak itu bicara. Sebenarnya aku muak mendengar kata 'Mate' itu. Aku benar-benar tidak mengerti dan aku mau kembali ke kehidupanku yang normal itu!!
"Ehm. Halo? Halo Gwen?"
Eh? Siapa yang bicara padaku? Suara wanita?
"Wuaaaaa!!! Akhirnya aku bisa bersuara!!"
Loh? Siapa yang bicara sih? Astaga, aku takut!! Suara wanita itu seperti berasal dari dalam tubuh dan pikiranku.
"Sayang?" panggil Damian. Dia melambaikan tangannya ke arahku. Apa aku melamun?
"ASTAGA, MATE MATE!?"
Degupan jantungku berdetak amat kencang dan tubuhku bergetar hebat. Aku bisa mencium aroma perpaduan coklat dan kayu-kayuan menjadi satu. Aku menatap Damian, apa ini baunya? Lalu aku mengenduskan hidungku ke arah tubuhnya. Damian hanya menatapku bingung. Bukan, Damian tidak mempunyai bau seperti itu.
"MATE !!! AAAUUUUUUUUU!!"
Aku memegang kepalaku kuat-kuat. Terdengar auman serigala betina dikepalaku, membuat telingaku berdenging kuat.
"GWEN COLLINS, KAU MENINGGALKANKU!?"
Tiba-tiba aku melihat Andrew datang dengan raut wajah marah, dia sedang berkacak pinggang melihatku. Mataku berkunang-kunang, pandanganku kabur. Andrew mendekat ke arahku dan hendak memeluk tubuhku tetapi Damian mencegahnya. Dia sedang berbicara sesuatu dengan Andrew.
"Astaga, Gwen. Matamu berubah warna!!"

PART 14
"Astaga, Gwen. Matamu berubah warna!!" teriak Sophie sambil menunjuk mataku. Kepalaku masih pusing, sedangkan wajah Andrew dan Damian terlihat seperti habis menang lotere. Tersenyum lebar. Mereka berdua serempak menggenggam kedua tanganku.
"Matamu sangat indah, sayang. Berwarna biru cerah." seru Andrew sambil mengelus pipiku. Biru? Perasaan warna mataku hitam deh. Salah lihat kali Sophie dan Andrew ini.
"Bagaimana rasanya sayang?" Nah sekarang Damian yang bertanya. Aku masih bingung maksud arti pertanyaan Damian apa sih?
"Kepalaku sedikit pusing," ucapku melepaskan tautan tangan mereka dan mengucek mata beberapa kali.
"Apa mataku masih berwarna biru?" tanyaku lagi. Andrew dan Damian mengangguk. Ya Tuhan, kembalikan mataku menjadi normal kembali.
"Wuaaahhhhhhhhh Mate-ku tampan sekali.." Entah refleks darimana, mataku beralih ke Andrew. Wajahnya kok berubah ya? Tampan, sexy dan sangat menggoda iman. Astaga, bibirnya itu pasti nikmat dan menggiurkan. Belum lagi tubuh kekar dan six-pack-nya itu, pasti sangat nyaman dan hot. Eh?
WAIT, GWEN !! STOP THAT DIRTY MIND ! Kau bukan wanita mesum seperti ini. No no no, It's not like me.
"Eh, Mate??" ucapku tak sadar saat mendengar kembali suara lembut wanita yang berada di dalam tubuhku.
"Iya sayang?" jawab Andrew dan Damian bersamaan. Memangnya aku memanggil mereka berdua apa?!
"Kenapa pria baju abu-abu ini memanggil kita sayang, Gwen? Padahal kan dia bukan Mate-ku. Tapi aku suka dengannya, dia tampan. Jadi aku suka. Eh?" oceh wanita itu panjang lebar. By the way, Dia membicarakan Damian. Sophie dan kedua orang tua Damian hanya memandangi kami bertiga dengan raut wajah yang sulit ku artikan.
"Damian, ayah ingin bicara denganmu." kata pria paruh baya itu langsung berdiri dari tempatnya. Damian menoleh sebentar lalu beranjak mengikuti kemana ayahnya itu pergi.
"Sebentar sayang, habis ini kita panen anggur, Oke." ujar Damian seperti hendak mencium pipiku tetapi Andrew langsung mendorong pelan wajah Damian agar menjauh. Damian hanya mendengus kesal lalu meninggalkan kami. Tak lama dari itu, ibu Damian pun pergi menyusul mereka. Mau membicarakan apa ya mereka?
"Andrew, apa yang terjadi denganku?" tanyaku bingung. Andrew segera memeluk tubuhku erat. Sophie sudah duduk manis di sampingku. Gadis kecil berumur 10 tahun ini memegang tanganku lembut.
"Kau tahu sayang? Gary sangat senang, dia ingin menggantikanku sekarang. Terima kasih katanya," ucap Andrew disela-sela rambutku.
"Gwen, mau kau beri nama apa Wolf-mu?" tanya Sophie. Aku melepaskan pelukan Andrew walaupun sedikit tak rela dan membelalakkan mataku spontan.
"HAH? WOLF? Maksudmu aku wolf?!" teriakku.
"Hahahaha kau lucu sekali, Gwen. Wolf itu aku."
Bukannya Sophie tapi suara wanita di dalam pikiranku lah yang menjawab. Astaga, aku seperti berkepribadian ganda. Sophie tertawa keras melihat responku yang mungkin baginya itu lucu.
"Andrew, tolong hentikan suara wanita di dalam pikiranku. Aku takut. Apa aku mulai gila!?" tanyaku lagi. Aku mulai panik, aku tidak mau berubah menjadi makhluk serupa seperti Andrew ataupun Damian. Ya Tuhan..
Andrew ikut tertawa, "Itu alamiah sayang, ada wolf di dalam tubuhmu. Mate-ku, Mate Gary juga." jawabnya seraya mengelus kepalaku.
Sejak kapan ya aku jadi suka dengan sentuhan Andrew. Masalah tentang wolf di dalam tubuhku pun hilang begitu saja. Rasanya aku bisa menerima hal se-absurd itu jika Andrew menyentuhku. Tubuhku menggeliat geli dan di perutku seakan ada ribuan kupu-kupu terbang. Tanpa aku sadari, aku meraih tangan Andrew dan menempatkannya di pipiku. Hangat~~
Sophie berdecak dan pergi sambil menggerutu, "Dimanapun kalian berada, bisakah kalian bermesraan jangan di depanku!? Aku masih kecil huh," katanya. Aku tertawa pelan. Maaf Sophie, aku juga tidak tahu kenapa aku bisa sejalang ini.
Andrew mengusap pipiku lembut, matanya yang teduh menatapku intens. Lama kelamaan wajah Andrew mendekat hingga nafasnya menerpa wajahku. Sontak aku menutup mataku, terdengar kekehan pelan dari Andrew. Dasar! Lambat tapi pasti bibir Andrew menempel dibibirku. Dia melumat bibirku hati-hati seakan ingin menunggu balasan dariku. Aku tersenyum simpul lalu mulai membalas perlakuannya itu sedikit demi sedikit. Ciuman-ciuman kecil dan lama pun terjadi. Baru kali ini aku sangat menikmati ciuman Andrew. Hihiw. Tak beberapa lama kemudian, Andrew berhenti melumat bibirku. Tetapi bibirnya masih menempel, dia seperti ingin berbicara sesuatu.
"Mau pulang, sayang? Kita buat si kecil yuk," katanya. Si kecil? Maksudnya? Kecil? Buat? Mungkin anak? Anak kami? Hah!!!
"Andrew mesum!!!" Aku pun mendorong tubuh Andrew dan berlari meninggalkannya. Aku belum siap kalau melakukan itu, bukannya aku tidak mau. Aku mau. Eh!!? Tidak, aku tidak mau, tapi aku ingin. Sama saja, Gwen!! Baka!
*****
Damian's POV
"Ayah, ada apa?" tanyaku saat aku, ayah dan ibu sudah berada dikamar utama rumah ini. Wajah ayah sangat datar menjurus ke marah dan wajah ibu sebaliknya, khawatir.
"Maksud kamu apa? Ayah tidak sebodoh itu melihat apa yang baruan terjadi, Damian! Gadis itu--"
"Dia memang Mate-nya Andrew, ayah." potongku langsung. Wajah ayahku Joseph menggelap, rahangnya mengatup rapat.
"Damian, kamu tidak bermaksud merebut Mate Andrew kan nak?" tanya ibuku pelan. Aku menggeleng ragu.
"Aku tidak tahu bu, aku juga bingung." jawabku lirih.
"Jangan bermaksud untuk balas dendam dengan kejadian 7 tahun lalu, Damian. Ayah tidak senang kamu begitu. Ini sudah kemajuan yang sangat pesat melihat Andrew ingin menginjakkan kakinya dirumah kita lagi." kata ayahku bijak.
Aku berpikir kembali. Sungguh aku juga tidak mengerti maksud semua ini. Aku menyayangi Gwen dan saat pertama kali melihat gadis itu, tubuhku bergetar hebat. Bukankah itu pertanda kalau memang dia Mate-ku?
"Aku tidak tahu, ayah." jawabku. Kulihat ayah mendengus kesal lalu hendak keluar dari kamar ini, sebelum itu dia melihat ke arahku lagi.
"Terserah kamu saja, tapi jangan paksakan kehendakmu. Ikuti alur Moon Goddess ingin bagaimana, Damian. Ingat pesan ayah." ucap nya lalu pergi ke luar. Ibuku mendekatiku dan memeluk tubuhku.
"Bersikaplah selayaknya seorang Alpha yang baik bagi Pack-nya, Nak. Ibu menyayangimu,"
"Baiklah, bu." Ibuku mengelus pipiku lembut lalu pergi menyusul ayah. Aku harus bagaimana? Apa aku harus mengalah demi Andrew? Tidak dipungkiri, Gwen memang lebih memilih lelaki itu daripada aku. Apakah aku harus kehilangan mate-ku lagi?
"Aku ingin dengannya, Damian. Dia kekasihku, apakah kau tidak kasihan padaku huh?"
Tiba-tiba, wolf-ku si Sam melonjak marah dan mengaum keras. Aku tahu dia pasti tidak mau kehilangan Mate-nya untuk kedua kali. Coba saja kalau Gwen bukan Mate-nya Andrew, aku pasti tidak terlalu susah berpikir untuk menikahinya sekarang.
"Jadi kita harus mempertahankan Gwen?" tanyaku balik. Sam mengiyakan dan menjawab jika Gwen me-reject kami sebagai Mate-nya, baru Sam menyerah. Bukankah gadis itu belum menentukan pilihan? Baiklah, akan kucoba. Setelah sedikit berunding dengan Sam, aku pun keluar dari kamar utama itu dan langsung menuju kebun anggur di belakang. Bahkan dari jarak sejauh ini, aku masih bisa mencium aroma Strawberry dari tubuh Gwen. Harum dan menyegarkan. Saat aku sudah sampai, sekali lagi aku harus menahan rasa cemburu beserta iri melihat adegan mesra antara Andrew dan Gwen. Wajah gadis itu terlihat sangat bahagia saat bersama dengan Andrew. Sedangkan saat bersamaku, wajah Gwen terlihat biasa saja dan kadang senyuman dipaksakan. Mungkin dia ingin menjaga perasaanku saja.
"Aku tidak tahan, Sam. Apa aku harus melepaskannya? Tidak apa kalau Gwen memang ingin bersama dengan Andrew, mungkin jalan takdir kita tidak bisa memiliki Mate."
"Aku tidak mau, Damian! Aku mohon, bertahanlah sekali lagi."
"Aku tidak tahu, Sam. Maafkan aku." Aku pun melangkahkan kaki mendekati mereka bertiga, Gwen, Andrew dan Sophie adiknya. Gwen sedang memilih-milih buah Anggur yang mungkin katanya manis. Terkadang dia memakan anggur itu dan menyuapi ke dalam mulut Andrew.
"Sudah banyak anggurnya?" tanyaku ketika sudah berada di belakang punggung gadis cantik ini. Gwen terlonjak kaget saat melihatku tetapi setelah itu dia tersenyum.
"Sudah, kau mau? Ini manis sekali.." katanya sambil menyodorkan satu buah berwarna ungu itu ke arah mulutku. Tanpa ragu-ragu, aku pun memakan buah itu. Ughh, manis sekali jarinya.
Andrew melihatku tajam, aku tahu dia marah melihat Gwen juga menyuapiku. Andai kekuatanku bisa digunakan, pasti aku sudah melupakan ingatan Andrew tentang Mate-nya ini. Sayang sekali tidak bisa, tidak ampuh untuk seorang Alpha yang kuat seperti Andrew.
"Manis kan!?" seru Gwen senang. Dia tersenyum puas lalu ingin menyuapiku lagi tetapi Andrew langsung menaruh mulutnya itu ke depan jari Gwen. Menyerobotku. Kurang ajar huh!
"Iya, sayang. Manis.." ujar Andrew tersenyum pada Gwen dan mencibir ke arahku. Menyebalkan! Iya aku sudah lupa, dia memang menyebalkan dari dulu.
"Andrew! Huh sudahlah." Sepertinya Gwen merajuk, dia meninggalkan kami berdua lalu pergi dengan Sophie ke bagian kebun yang lain.
"Sayang, tunggu!"
Andrew ingin mengejarnya, tetapi aku menahan pundaknya cepat.
"Tunggu, aku ingin bicara." ucapku. Andrew menaikkan satu alisnya ke atas, seakan tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya barusan.
"Apa?" tanyanya. Aku diam sejenak.
"Apakah Gwen sudah berubah?" tanyaku balik.
Andrew tidak mengerti sepertinya.
"Maksudmu?"
"Maksudku, Gwen tadi? Aku yakin ada wolf di dalam dirinya." balasku. Andrew berdeham sebentar lalu menghadap ke arahku.
"Iya, mungkin karena 1 minggu lagi Bulan Purnama jadi kekuatan Wolf-nya semakin kuat." jawab Andrew tenang. Baru kali ini sejak kejadian 7 tahun kami bicara berdua seperti biasa.
"Apakah kau mencintainya?"
"DAMIAN JANGAN!!!" teriak Sam di dalam pikiranku. Serigala putih itu tahu pasti maksudku.
Andrew mengerutkan dahinya tetapi wajahnya menjadi lebih tegas sekarang.
"Tentu saja aku mencintai Gwen! Sangat mencintainya. Dia Mate-ku, Damian." jawabnya mantap.
Aku mengatur nafasku supaya lebih tenang, maafkan aku Sam.
"Berjanjilah untuk menjaganya, Drew."
"Tidak kau suruh pun aku pasti melakukannya."
"Baguslah kalau begitu, Drew. Sekarang, aku me-reject Gwen sebagai Mate-ku." ucapku. Sam menggeram marah dan mengaum kencang. Dia tahu kalau aku ingin bicara seperti itu. Sam mendesak ingin keluar dari tubuhku, tetapi dengan sekuat tenaga aku mengunci dirinya di dalam tubuhku. "Terima kasih, Damian. Dan... Maafkan aku. 7 tahun yang lalu.."
"Sudahlah Drew, aku sudah tahu. Aku tahu kalau Sheila yang merayumu. Maafkan aku juga karena aku langsung salah paham padamu."
Andrew tersenyum lega. Terlihat sekali kalau di wajahnya itu sudah tidak ada lagi tersimpan rasa tak enak padaku. Aku melirik Gwen dan Sophie, mereka berdua tersenyum melihat kami.
Maafkan aku, Sam. Tapi ini mungkin jalan yang terbaik untuk kedua Pack.
"Silahkan bersenang-senang. Aku masuk dulu." ucapku. Aku menepuk pundak Andrew sebentar lalu pergi berjalan ke dalam rumah.
"Thanks Damian dan itu kecupan terakhirmu untuk Gwen!" ancam Andrew setelah melihatku mencium pipi Gwen saat aku melewatinya tadi. Aku terkekeh, sungguh hatiku sekarang sudah lega rasanya.
"Aku benci denganmu!"
Tiba-tiba aku kembali mendengar gerutuan Sam. Rupanya dia berhasil membuka diri dari kunciku tadi. Aku tidak meresponnya, lebih baik diam saja.
"Awwww!!"
BRAAAKK!
Aku menoleh ke belakang, rasanya tadi punggungku terbentur sesuatu. Tapi rasanya apa ya, kok lembut sekali?
"Aduuuuhhhh kenapa ditengah-tengah ada dinding sih?"
Aku melihat ke bawah, ada seorang gadis muda yang tersungkur, ku perkirakan umurnya sekitar 15 tahun-an. Siapa ya? Apa pelayan baru? Aku tidak kenal. Gadis itu mengusap-usap dahinya seperti sangat kesakitan. Padahal dia yang menabrak punggungku.
Dia berdiri dengan susah payah lalu bersikap seakan membersihkan pantat indahnya itu dari debu. Oh Shit! Baru melihat tubuhnya saja, aku bergairah begini. Apa yang salah denganku?
"Eh bukan dinding ya? Wahh ada Paman tampan! Maaf, apa disini ada Tuan Lucas?" tanya gadis bertubuh kecil itu sopan. Dia imut sekali, rasanya ingin ku cubit-cubit pipinya yang gembul itu.
"Lucas biasanya ada dirumah kaca sekarang, kau cari saja disana." jawabku tenang. Dia menggerakkan rambut panjangnya yang dikuncir kuda itu. Lucu!!! Sungguh, gadis ini sangat menggemaskan.
"Terima kasih. Aku kesini untuk mengantarkan bibit bunga Tulip pesanan Tuan Lucas, paman. Dah sampai jumpa!" katanya riang lalu meninggalkanku sambil membawa keranjang kecilnya itu.
Dengan cepat aku meraih tangannya, "Tunggu, apa kau tahu jalannya?"
Dia mengerjapkan matanya lalu menggeleng, dia manis sekali. "Tidak, paman. Aku bahkan daritadi keliling terus. Mau bertanya tapi aku malu, Paman."
Aku tersenyum, "Ayo ku tunjukkan padamu jalannya. Namamu siapa gadis kecil?"
"Paman! Aku bukan gadis kecil, umurku sudah 24 tahun!!!!" teriaknya. Aku sontak terkejut, 24? Bahkan dia lebih tua dari Gwen. Tetapi wajah dan tubuhnya sangat tidak mendukung, wajahnya terlalu imut dan cantik seperti gadis belia.
Melihat raut wajahnya yang marah itu membuatku ingin tertawa. Apalagi dia terus memanggilku Paman, apa wajahku setua itu? Padahal umur kami hanya berbeda dua tahun.
"Iya maafkan aku, namamu siapa Nona manis?" tanyaku lagi. Wajahnya tersipu malu. Cantik!!!!!
"Namaku Della, Paman. Namamu?"
"Damian, Della."

PART 15
Andrew's POV
"Sayang!! Berhenti!! Apa kau tidak lelah hah!?" tanyaku setengah berlari kecil saat mengejar Gwen. Sudah siang hari, terik matahari yang tipis mulai menjalari kebun buah milik Pack Damian ini. Ya walaupun udaranya masih saja tetap dingin. Kekasihku yang cantik jelita itu terus berlarian kesana kemari seperti sedang berada di taman bermain. Padahal kami lagi ditengah buah-buahan yang berukuran besar berwarna hijau garis-garis ini, apa lagi kalau bukan buah Semangka.
"Sebentar saja Andrew!! Kapan lagi coba!" teriak sayangku itu dari kejauhan. Apa dia tidak lelah? Ini pasti kekuatan wolf-nya. Kekuatan wolf akan semakin kuat jika ingin mendekati bulan Purnama. Ah rasanya aku tidak sabar melihat bagaimana wujud dari wolf Mate-ku itu. Pasti cantik sekali.
"Andrew!!"
Aku dikagetkan oleh teriakan Gwen tepat di belakang tubuhku. Eh!!? Kapan dia berlari ke arahku? Kok aku tidak sadar? Perasaan dia tadi masih di ujung sana. Sekitaran 20 m dariku.
"Sayang, kenapa kau bisa di belakangku?" tanyaku bingung. Aku juga baru sadar kalau dia lagi membawa semangka yang berukuran besar di depan perutnya itu. Dengan sigap, aku mengambil semangka itu darinya, aku takut kalau semangkanya terjatuh pasti kaki gadisku akan sakit sekali.
"Ehmm, perasaan aku berjalan tadi. Tidak lihat ya? Eh Andrew, apa boleh kita membawa semangka itu?! Bolehkah? Boleh?" seru Gwen sambil menunjuk semangka yang tengah aku bawa. Dia terlihat gembira sekali.
"Ya, tentu saja boleh sayang. Nanti aku yang bicara dengan Damian."
"Sungguh? Yeay!! Terima kasih, Drew!" Gwen berlonjak kesenangan dan tanpa sadar mengecup pipi kananku. Astaga, untuk pertama kalinya Gwen menciumku! Gary, serigala hitam itu sudah mengaum kencang setelah Gwen mengecup pipiku tadi.
"Aku masuk dulu, mau menyusul Sophie. Katanya dia tadi mau memotong melon. Dah Andrew.." ucap Gwen riang berjalan cepat masuk ke dalam rumah Damian.
Astaga! Dia...
"Tepat sekali, dia mewarisi kekuatanmu Drew. Hahha hebat sekali Mate-ku," kata Gary.
Aku pun sangat terkejut melihat Gwen tadi, mungkin dia tidak sadar kalau dia bisa berpindah tempat secepat kecepatan cahaya itu. Takutnya karena kemarin dia digigit oleh Damian juga, kekuatan Damian pun ikut ke dalam tubuh Gwen. Kekuatan dua Alpha bersatu, apa jadinya? Pasti dia bisa mengalahkan siapapun, termasuk diriku.
"Sebaiknya kita kontrol Mate kita, Drew. Aku tidak mau kemungkinan terburuk itu terjadi."
"Aku tahu, Gary."
Aku yakin Gwen tidak seperti itu, dia tidak sanggup menyakiti orang lain. Gadis itu tipikal gadis yang lembut dan tidak tegaan. Ah sudahlah lihat saja nanti. Aku berharap wolf di dalam tubuhnya itu sama baiknya dengan Gwen.
Uh, untuk apa aku lama-lama melamun di kebun ini, lantas aku pun pergi menyusul Gwen masuk ke dalam rumah Damian sambil membawa semangka berukuran besar di depan perutku ini. Saat aku masuk ke dalam rumah Damian, aku lihat pria menyebalkan itu sedang bercanda dengan seorang gadis kecil yang ku perkirakan berumur 15 tahun-an. Mereka berdua mengobrol sangat dekat, bahkan tak jarang aku melihat Damian tertawa keras. Sudah lama aku tidak melihat tawanya itu. Gadis kecil itu juga seperti sedang memberi guyonan-guyonan lucu hingga bisa membuat Damian tertawa. Mereka cocok sih, tapi bukannya umur mereka jauh berbeda? Aku mendekati mereka dengan terus membawa semangka di depan perutku. Mereka berdua belum menyadari keberadaanku. Ya, aku sedang berada di belakang sofa tempat mereka duduk.
"Terus Paman, kau pasti tidak percaya. Nenek tua itu mampu mengangkat dua pot tanaman sekaligus. Hebat kan!" seru gadis kecil itu. Damian tertawa pelan melihat betapa serunya gadis itu bercerita.
Eh!? Astaga, Damian kau benar-benar!
Aku tercekat saat melihat tanda di leher gadis berkuncir kuda itu. Damian sudah mengklaimnya! Demi Moon Goddess!
"Ehem.." Dehamanku mampu membuat dua insan itu menoleh. Wajah gadis kecil itu imut sekali, tetapi masih cantik kekasihku tercinta. Dia melihatku dengan kerutan di dahinya. Sedangkan Damian merasa kesal karena kegiatannya terganggu olehku.
"Ada apa, Drew?" tanya Damian sinis. Aku tahu dia ingin berkata, "Jangan mempesonanya, dia milikku!"
Haha tentu saja tidak, aku sudah punya Gwen!
"Damian, istriku bilang kalau dia ingin membawa buah ini." ujarku. Gadis kecil itu melihatku sebentar lalu matanya beralih kembali ke Damian. Kurasa gadis itu juga sedikit respect dengan Damian.
"Tentu, silahkan bawa pulang buah apa saja yang kalian mau." jawab pria jelek itu.
"Kau gila! Kau sudah mengklaim anak kecil, Damian." Aku menghubungi Damian lewat mindlink kami yang entah sejak kapan kembali terhubung.
"Anak kecil? Kurasa kau salah, Drew. Dia bahkan wanita dewasa."
"Jangan bercanda, Damian. Apa dia mate-mu?" tanyaku lagi. Damian menggeleng pelan ke arahku lalu terkekeh. Gadis kecil itu melihat kami bergantian, raut wajahnya bingung.
"Dia.. Jodohku." jawab Damian seraya tersenyum ke arah gadis itu.
"Apa Sam setuju kau mengklaimnya?"
Belum sempat Damian menjawab, gadis kecil itu menunjuk kami bergantian. Dia menghela nafas gusar, "Kenapa kalian berdua saling tatap menatap? Jangan-jangan... Astaga, Paman! Kalian gay!?" ucap gadis kecil itu sambil berdiri. Refleks aku dan Damian tertawa.
"Tidak, gadis kecil. Aku sudah mempunyai istri." jawabku.
"Andrew dan aku hanya berbicara lewat pikiran, Della. Aku tidak gay. Aku menyukai wanita, khususnya sepertimu." ucap Damian mengerlingkan matanya, seperti ingin menggoda gadis kecil itu. Siapa namanya tadi? Della. Eh, wajahnya blushing. Oke, kurasa mereka memang saling tertarik.
"Sudahlah Paman. Apa benar kalian berbicara lewat pikiran? Apa aku bisa juga? Eh tunggu, siapa yang kau sebut dengan gadis kecil tadi? Aku sudah 24 tahun!" ujar Della dengan nada meninggi. Dia bohong? Tidak mungkin dia lebih tua dari Gwen! Pantas saja Damian bilang dia wanita dewasa.
"Kau memanggilnya Paman?" Aku menahan tawaku. "Kalian bahkan hanya terpaut dua tahun. Hahaha.." lanjutku diiringi dengan tawa. Della terkejut dan memandangi Damian dengan dahi berkerut. Damian mengulum senyum malu-malu.
"Sudah, lanjutkan obrolan kalian. Aku akan menyusul Sophie dan Gwen di dapur. Kalau aku tidak sempat pulang hari ini, kami akan menginap Damian." ucapku sambil berjalan gontai meninggalkan mereka.
"Ya terserah kalian saja!" Damian sedikit berteriak merespon ucapanku yang hanya ku balas dengan anggukan. Semoga kau bahagia sekarang, Damian.
Aku berjalan mengikuti insting penciumanku yang menangkap wangi alami strawberry dari tubuh Mate-ku. Rumah Damian tidak berubah, aku masih hafal letak-letak tempat di seluruh rumah ini. Mengingat dulu aku hampir tiap minggu menginap di rumahnya dan tidak kesini lagi selama 7 tahun. Ah sudahlah, aku tidak mau mengingat itu lagi toh masalahnya sudah selesai dan hubunganku dan Damian kembali terjalin baik. Bayang-bayang sosok wanita bersama anak kecil yang ku yakin itu Sophie sudah terlihat dari kaca buram ini. Segera kuletakkan semangka ini di atas lantai murmer dapur dan berjalan kembali mendekati kekasihku. Gwen dan Sophie sedang memotong buah melon menjadi bentuk kubus-kubus kecil. Terkadang mereka memakannya dan memuji betapa manisnya buah itu. Mereka berdiri di depan pantry dapur.
"Andrew, mau?"
Aku terkejut saat Gwen tiba-tiba membalikkan tubuhnya ke arahku. Bola matanya belum berubah, masih biru cerah. Aku yakin wolf di dalam tubuhnya semakin kuat.
"Kenapa kau tahu aku di belakangmu, sayang? Padahal tadi ingin ku kasih kejutan," kataku dengan sigap memeluk pinggangnya. Kulirik Sophie, adik kecilku itu memutar bola matanya jengah sambil memakan buah melon.
"Entah, aku bisa mendengar derap langkahmu. Lalu suara wanita di dalam pikiranku bicara MATE MATE terus. Membuat kepalaku pusing," jawab Gwen gusar. Aku tahu manusia biasa sepertinya pasti bingung. Bagaimana nanti saat malam bulan purnama? Saat wolf di dalam tubuhnya mengambil alih sepenuhnya. Aku takut Gwen akan syok. Jujur saja, aku ikut gemetar memikirkannya.
"Sabar sayang, itukan hal wajar. Apa kau sudah beri nama wolf-mu itu?"
Aku melepas pelukanku dan duduk di kursi meja makan. Gwen berinisiatif untuk mengambil sepiring kubus-kubus melon itu lalu menaruhnya di depanku. Gwen juga duduk di sampingku, diikuti Sophie yang duduk di depanku. Tetapi Sophie hanya diam saja.
"Drew, apa aku akan berubah menjadi wolf juga? Sepertimu?" tanya Gwen khawatir. Dia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan kalau dia gugup.
"Aku tidak bertanya padamu!" teriak Gwen. Aku dan Sophie sedikit tercengang melihat Gwen berteriak tadi. "Upss, maaf Andrew. Wanita di dalam tubuhku bilang, 'tentu saja' dengan nada yang menyebalkan." lanjut Gwen. Aku sudah tahu sih sebenarnya.
"Sebaiknya kau mulai terbiasa dengan suara-suara itu, sayang. Aku juga begitu, Gary juga terkadang bicara yang tidak penting-"
"Sialan kau, Drew!"
Aku tertawa pelan mendengar umpatan Gary. Tapi memang benar, Gary sering bicara yang tidak penting untuk didengar. Dia bahkan sering tertawa sendiri dan menangis tanpa sebab. Dulu aku merasa wolf-ku gila tetapi ternyata tidak. Syukurlah.
"Jadi aku harus bagaimana, Drew. Hmm, suara wanita itu bahkan terus bicara. Kau tidak tahu saja kalau dia bilang--" Gwen berhenti bicara, pipinya memerah. "Tidak jadi," lanjutnya.
"Aku rasa, aku tahu apa yang wolf Gwen katakan. Dia bilang tubuhmu sexy, Drew."
"Kenapa kau bisa tahu?"
"Kau lupa, kami terikat hubungan batin, Drew." jawab Gary. Terdengar dari nada bicaranya, Gary sepertinya ikut senang.
"Gwen, sebaiknya kau mulai belajar memahami wolf di dalam tubuhmu." Tiba-tiba Sophie ikut bicara. Nada bicaranya serius. Kadang aku berpikir Sophie dewasa sebelum umurnya, pikirannya terlalu realistis. Tidak seperti anak seumuran dengannya. Ini pasti bawaan gen dari ibuku.
"Bagaimana caranya, Soph?"
Aku hanya menopang wajahku dan melihat kedua gadis cantik di depanku ini.
"Hemm, langkah awal. Coba ajak wolf-mu bicara. Beri nama dia.." tutur Sophie. Aku mengangguk lalu beralih ke Gwen. Dia mengerutkan dahinya dan memejamkan mata. Aku yakin dia mencoba berkomunikasi dengan wolf-nya melalui pikiran. "Dia ingin di panggil Tris." ucap Gwen akhirnya. Aku tersenyum senang, Gwen berhasil bicara melalui mindlink miliknya sendiri. Aku mau mencobanya juga.
"Sayangku cantik." panggilku. Gwen melihat lurus mataku, dia mengerutkan kembali dahinya. Tiba-tiba dia memegang tanganku kuat.
"Andrew, aku mulai gila! Tadi aku mendengar suaramu di pikiranku," serunya. Aku dan Sophie tertawa.
"Itu memang suaraku, sayang. Aku mencoba bicara denganmu melalui mindlink. Dan ternyata bisa tersambung."
"Benarkah? Aku coba ya." katanya polos.
"Andrew jelek,"
Aku melotot padanya, "Dasar kau ya!" aku pun mencubit pipinya gemas sampai dia meringis kesakitan.
"Hebat, kita seperti agen rahasia! Jadi bisa main rahasia tanpa orang tahu. Good!" ucapnya kembali bersemangat.
"Tris? Nama yang bagus. Gary juga menyukainya." ucapku. Mata Gwen berbinar senang, warna biru cerah berganti menjadi biru gelap. Dia.. Cantik. Tapi entah kenapa hatiku was-was menanti pergantian shift Gwen nanti.
Malam itu kami bertiga menginap di rumah Damian. Papa Joseph dan istrinya sangat senang saat aku bilang ingin menginap. Dengan senang hati mereka menjawab iya. Sayangnya, aku tidak suka karena Gwen tidak mau sekamar denganku. Dia lebih memilih sekamar dengan Sophie. Huh, padahal tadi aku lihat sendiri dia melawan ego wolf-nya untuk tidur denganku. Tetapi gengsi Gwen lah yang menang.
Esok harinya, setelah berpamitan dengan kedua orang tua Damian beserta anak tunggalnya yang sok tampan itu, kami pulang ke Silver Moon. Gwen tertidur damai di pelukanku sepanjang perjalanan, seringkali dia mengigau dan berkeringat dingin. Apa dia bermimpi buruk?
"Sayang, kita sudah sampai.." ucapku sembari menepuk pipi Gwen pelan beberapa kali. Dia menggeliat lalu mengerjapkan matanya. Bola matanya masih berwarna biru. Aku rasa kekuatan wolf di dalam tubuhnya kuat sekali, wolf itu selalu ingin mengambil alih tubuh Gwen. Apa ini efek karena tubuhnya kemarin di klaim oleh dua Alpha sekaligus?
"Nghh.. Kita sudah sampai? Aku masih mengantuk.." katanya serak. Tak lama kemudian, dia terlelap lagi. Tidak ada pilihan lain, aku pun keluar dari mobil sambil menggendong Mate-ku ini.
Devan berjalan di belakangku, sedangkan Sophie sudah berlari ke dalam rumah.
"Alpha, di dalam ada Tuan dan Nyonya." kata Devan sopan. Aku terdiam sebentar, tumben sekali orang tuaku itu mengunjungiku. Mereka kan lagi liburan. "Sejak kapan?"
"Dari kemarin, Alpha." Aku hanya mengangguk lalu menyuruh Devan untuk pergi. Setelah itu, aku pun masuk ke dalam rumah, orang tuaku sudah menungguku di ruang keluarga.
"Ayah, ibu?" panggilku. Mereka berdua menoleh ke arahku. Tetapi raut wajahnya terlihat cemas sekali.
"Syukurlah kau sudah pulang, nak. Ibu khawatir sekali." ucap ibuku. Aku bingung awalnya tetapi kata ayahku ada yang harus di bicarakan. Penting. Jadi kutaruh Gwen terlebih dahulu di kamarku lalu kembali bergabung dengan orang tuaku.
"Ada apa, ayah?" ucapku.
"Sebaiknya jangan biarkan siapapun dari Pack kita keluar dari teritory kita, Drew. Sekelompok rogue besar-besaran sedang gencar menyerang." ucap ayahku.
Aku menghela nafas sebentar, "Jangan khawatir, yah. Aku bisa menanganinya, warrior kita jauh lebih banyak daripada sekumpulan rogue." ucapku tenang. Ayahku menggeleng pelan.
"Masalahnya sekumpulan rogue itu sudah berkumpul dengan Pack-Pack kecil. Jumlahnya melebihi warrior kita." balas ayahku. Sial, pantas saja orang tuaku cemas. Memang, bukan satu atau dua pack kecil saja yang iri dengan Pack-ku dan Pack Damian. Tapi ratusan. Aku tidak percaya kalau mereka bisa sampai berpikir pendek untuk berkumpul dengan para rogue. Bodoh! "Tenang saja, ayah. Hal ini aku akan bicarakan dengan Damian. Ayah dan ibu tenang saja." ucapku mantap. Ibuku tersenyum lalu memelukku lembut.
"Ayah senang kau dan Damian sudah berbaikan seperti dulu, Drew. Setidaknya masalah sudah berkurang satu,"
Seharian itu, aku mengobrol dengan orang tuaku sampai jam makan siang. Herannya, Gwen belum terbangun juga. Dia tidur lelap sekali. Aku tidak tega untuk membangunkannya, dia seperti kelelahan.
"Sayang, bangun. Makan siang dulu.." bisikku tepat di depan telinganya. Dia bergeming. Mau bagaimana lagi aku bangunkan? Hmm..
Aku mendekati wajah pulasnya itu lalu menciumi seluruh permukaan wajahnya. Terdengar erangan pelan dan saat aku mencium bibirnya, Gwen spontan bangun. Dia mengucek matanya beberapa kali dan mata biru itu kembali menatap mataku.
"Andrew! Hentikan.." ucapnya pelan.
"Bangunlah, terus mandi sayang. Aku tunggu di meja makan." Aku pun mencium pipinya sekilas lalu keluar dari kamar.
"Gary, apa kau tidak khawatir? Matanya tidak berubah dari kemarin." Aku menghubungi Gary, wolf itu juga dari tadi hanya diam saja, biasanya mengoceh tak karuan.
"Entahlah, Drew. Aku juga bingung, baru kali ini aku merasa khawatir jika dia berubah menjadi wolf. Aku memikirkannya seharian." balas Gary. Oh pantas saja dia diam saja. Gary pun merasakan hal yang sama denganku. Semoga tidak terjadi hal yang buruk pada kekasihku itu.
****
Satu minggu kemudian..
"Alpha, tuan Damian datang." sapa Devan saat masuk ke dalam ruang kerjaku. Gwen sedang asyik menonton televisi di temani dengan Sophie. Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam, kenapa Damian berkunjung malam hari?
"Dimana, Dev?" tanyaku. Devan menyingkir sedikit lalu Damian datang dengan membawa ck kekasih barunya itu, si Della.
"Andrew, ada yang ingin kubicarakan. Penting." kata Damian serius. Aku mengangguk lalu berdiri. "Sayang, kau bisa menunggu?" tanya Damian ke Della. Mereka berdua bicara sebentar lalu tak lama Della bergabung dengan Gwen dan Sophie. Aku dan Damian keluar dari ruang kerjaku lalu keluar dari rumahku. Kami berdiri di depan pintu. Bulan purnama sebentar lagi.
"Hari ini kan?" Damian bertanya tentang Gwen. Aku mengangguk pasti.
"Bukan menakutimu, Drew. Aku punya firasat aneh. Aku melihat Gwen tadi, ada yang berbeda darinya." lanjut Damian. "Maksudmu?" tanyaku seolah tidak mengerti. Padahal aku tahu, ada yang aneh memang. Dilihat dari warna bola mata Gwen yang tak berubah seminggu ini.
Damian menaikkan pundaknya acuh, "Berdoalah Mate-mu itu tidak pembangkang, Drew. Aku yakin dia kuat."
"Itu karenamu juga, kenapa kemarin kau ikut mengklaimnya. Kau tahu, tidak jarang Gwen melupakan ingatanku walaupun tanpa dia sadari." ucapku kesal. Damian terdiam sebentar, dia kelihatan terkejut mendengarku barusan.
"Kau serius?" tanya Damian yang ku jawab dengan anggukan. Dia pasti bingung, seorang Alpha seperti dirinya saja tidak bisa menggunakan kekuatannya padaku, tetapi Gwen bisa. Aneh kan?
Damian juga tidak tahu kalau Gwen juga kuat, kemarin dia tidak sengaja menabrak pohon karena berlarian main dengan Sophie. Bukannya tubuhnya yang sakit malah pohon itu yang tumbang. Gwen sendiri terkejut tetapi habis itu dia tertawa keras karena baginya itu mustahil. Dia berpikir pohon itu hanya gabus saja.
Bulan semakin menerangi kami, terdengar beberapa auman serigala dari hutan. Mereka pasti merasakan kekuatan mereka bertambah saat bulan purnama ini. "Andrew!"
Aku dan Damian dikejutkan oleh pintu terbuka tiba-tiba menunjukkan sosok Sophie dan Della berlari ke arah kami.
"Kenapa, Soph? Dimana Gwen?" tanyaku panik.
Sophie diam saja, sedangkan Della memeluk tubuh Damian ketakutan.
"Ada apa, sayang?" tanya Damian lembut. Della memeluk tubuh Damian lebih erat lagi.
"Damian, Gwen berlari ke arah hutan lewat jendela tadi. Larinya kencang sekali." jawab Della pelan.
Tubuhku menegang, ini bahaya! Gary terlihat sangat khawatir dan berusaha mengambil alih tubuhku.
"Sophie, ajak Della masuk. Aku dan Damian akan mencari Gwen." ucapku dibalas dengan Damian yang mengangguk. Lalu dia mencium kekasihnya dan berjalan di belakangku.
"Sayang, masuklah. Aku akan kembali." kata Damian. Della dan Sophie akhirnya masuk ke dalam rumah. Setelah menutup pintu, aku dan Damian berubah menjadi wolf kami. Sebelum itu, aku me-mindlink Devan untuk menjaga Pack sementara waktu saat aku pergi.
****
Gary's POV
Setelah aku berganti shift dengan Andrew, aku berlari kencang di ikuti Sam di belakangku. Mengikuti insting penciumanku, aroma strawberry dari tubuh Gwen tak jauh dari sini. Wilayah ini menuju tebing curam di ujung hutan dan langsung menghadap lautan luas pembatas negara Alaska dengan benua lain. Jangan sampai, Gwen terjatuh. Aku takut sekali.
Semakin mendekati sosok Gwen yang tengah berdiri di atas tebing, aku menyuruh Sam untuk ikut naik ke atasnya. Tetapi Sam menyuruhku tetap disini. Mengawasi perubahan Gwen dari jauh saja.
Tidak diragukan lagi, kekasihku itu cantik sekali. Aku beruntung mendapatkan Mate secantik dan sebaik dirinya. Apalagi seluruh tubuhnya di sinari bulan purnama malam ini. Membuat Gwen seperti bersinar dan bertambah cantik berkali-kali lipat.
"Awas saja, kau menyukai Gwen lagi, Sam!" ancamku. Sam tertawa mengejek.
"Tenang saja, aku sudah punya Della." jawabnya sombong. Cih.
Tak lama kemudian, kami melihat tubuh Gwen meluruh. Dia seperti pingsan tetapi sedetik kemudian dia berubah menjadi wolf yang.. ASTAGA !!!!
"AAAAUUUUUUUUUUUU...." Terdengar auman pertama kali dari serigala Gwen. Tris. Tubuhku bergetar hebat. Sensasi ini tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku melihat Sam, dia juga sama sepertiku, kagum bercampur takut.
"Gary, Mate-mu berbahaya!" Sam mengaum kencang lalu berlari kencang menaiki tebing itu.
Sial!

1 comment: